Saat itu orang-orang berkumpul di Ji’ranah, satu tempat dekat Hunain. Mereka menanti pembagian ghanimah (harta rampasan perang) yang dibagikan sendiri oleh panglima pasukan, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ghanimah yang diperoleh dari hasil Perang Hunain adalah yang terbesar sejauh ini. Ribuan sampai puluhan ribu ekor unta dan 4000 uqiyyah perak.
Pada pertempuran Hunain, umat Islam yang banyak jumlahnya hampir saja dikalahkan oleh musuh yang terdiri atas beberapa kabilah Arab yang belum masuk Islam. Di antara mereka adalah suku Tsaqif, penduduk kota Thaif. Allah menegur mereka:
“Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu. Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun. Dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.“ (Qs. At-Taubah: 25)
Menunggu ghanimah tentu menjadi suatu kebahagiaan bagi pasukan setelah bergelut dengan pertempuran yang melelahkan, darah yang mengalir deras taruhannya, nyawa. Ibarat mereka hampir mati kehausan di padang sahara yang luas, tiba-tiba di hadapan mereka terdapat oase yang luas.
Di Ji’ranah telah menunggu pasukan Muhajirin dan Anshar. Mereka sahabat-sahabat yang lebih dulu masuk Islam. Uniknya, Rasulullah memberikan ghanimah kepada orang-orang Anshar jauh lebih sedikit dari mereka yang baru masuk Islam. Padahal orang-orang yang baru masuk Islam adalah orang-orang yang tidak kekurangan harta. Abu Sufyan dan putranya Muawiyah yang baru berislam setelah Fathu Makkah diberi masing-masing 100 unta. Hakim bin Hizam -keponakan Khadijah Ummul Mukminin- dan Shafwan bin Umayyah, juga mendapat 100 ekor unta. Begitu pula yang lain semisal Al-Harits bin Hisyam, Huwaithib bin Abdul Uzza, Malik bin Auf, Aqra bin Habis mendapatkan ghanimah dalam jumlah semisal. Padahal mereka belum berjuang apa-apa untuk Islam. Mereka itulah yang disebut orang-orang muallaf, yang dilunakkan hatinya.
Rasulullah memberi mereka bagian lebih banyak agar hati mereka menjadi mantap memilih Islam. Mereka adalah orang-orang terpandang dari kalangan Quraisy, memiliki hasrat yang besar pada harta. Maka tidak salah Rasulullah menarik hati mereka melalui harta lebih dulu, baru kemudian memberi pencerahan melalui Al Qur’an dan sabda-sabda beliau sehingga hati mereka menjadi kokoh.
Buktinya, ketika keimanan mereka kuat. Harta itu menjadi kecil di hadapan mereka. Hakim bin Hizam contohnya, di masa Abu Bakar, ia diminta untuk mengambil bagiannya di Baitulmal, tapi ia menolaknya. Begitu pula di masa Umar, berkali-kali diminta oleh khalifah untuk ke Baitulmal, tapi tetap menolak. Ia puas dengan apa yang ia miliki. Adapun harta di Baitulmal, ada yang lebih berhak selain dia.
Melihat Rasulullah membagikan ghanimah kepada para muallaf demikian, muncul suara-suara sumbang dari sebagian kalangan Anshar. Mereka merasa sedih sebab Rasulullah tidak memberi lebih kepada mereka. Hal itu diungkapkan oleh Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu, tokoh dari kalangan Anshar.
Rasulullah pun meminta Sa’ad mengumpulkan orang-orang Anshar. Ketika mereka telah berkumpul, setelah mengucapkan tahmid dan pujian bagi Allah, Rasulullah berkata kepada mereka:
“Wahai sekalian kaum Anshar, aku telah mendengarkan tentang ucapan-ucapan kalian serta kesedihan yang kalian rasakan.”
Kemudian beliau mengetuk pintu hati mereka dengan pertanyaan: “Bukankah aku dulu datang pada saat kalian sesat, lalu Allah menunjukkan jalan bagi kalian? Pada saat kalian dulunya miskin, lalu Allah menjadikan kalian sejahtera? Pada saat kalian bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hati kalian?”
Orang-orang Anshar tertunduk, dan hanya bisa mengucapkan, “Benar, wahai Rasulullah.”
Kemudian beliau membuka pintu-pintu hati mereka, orang-orang yang sudah menolong beliau ketika hijrah dan dalam perjuangan menyebarkan risalah beliau. Beliau berkata:
“Wahai sahabat Anshar, masihkah tersisa rasa cinta kalian terhadap dunia, meski sebesar ujung jari kelingking? Aku hanya ingin hati mereka (para muallaf) tertarik sehingga mau masuk islam. Dan aku percaya sepenuhnya pada keimanan kalian.”
“Wahai sekalian Anshar, tidakkah kalian ridha, mereka pulang dengan kambing dan unta, sedangkan kalian wahai Anshar, pulang bersama Rasulullah?”
Para sahabat Anshar terisak hingga janggut mereka basah karena air mata.
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, jika bukan karena hijrah aku pasti termasuk kaum Anshar. Sekiranya semua orang menempuh suatu jalan, sedangkan kaum Anshar menempuh jalan lain, aku pasti menempuh jalan Anshar.”
Kemudian beliau mendoakan mereka, “Wahai Allah, berikanlah rahmat-Mu kepada kaum Anshar, kepada anak-anak mereka, dan kepada cucu-cucu mereka.”
Para sahabat Anshar sibuk menyeka mata dan wajah mereka yang basah. “Kami rela dan menerima ketetapan pembagian Rasulullah sepenuh hati,” sahut mereka.
Rasulullah pergi, mereka pun bubar.
***
Dari sejarah kita dapat melihat bahwa beragam penaklukan yang dilakukan oleh Rasulullah, para khulafa ar-rasyidin, dan pemimpin-pemimpin setelah mereka, tujuan utamanya adalah agar tercipta kejayaan Islam. Emas, perak, ternak, sampai budak-budak wanita, hanyalah kenikmatan berikutnya setelah Islam dapat disebarkan ke berbagai negeri. Keislaman penduduk negeri yang ditaklukkan menjadi prioritas utama, ghanimah adalah bonus.
Para penjajah Eropa mendatangi negeri-negeri di dunia dengan slogan Gold, Glory, Gospel. Gold (Emas atau harta) menjadi prioritas mereka.
Pada 1519 misalnya, saat Hernan Cortes dari Spanyol dan prajuritnya menyerbu Meksiko, yang dulu dihuni oleh bangsa Aztek. Orang-orang Aztek heran melihat para pendatang itu sangat berhasrat pada emas yang ada di negeri mereka. Bagi orang-orang Aztek, logam mulia itu mereka gunakan untuk membuat perhiasan dan patung. mereka umumnya menjadikan kakao atau kain sebagai alat tukar, bukan emas atau logam semisalnya.
Jadi apa gunanya logam berwarna khas itu bagi Cortes dan pasukannya? Ia tidak bisa dimakan, tidak diminum, ditenun, bahkan terlalu lunak untuk dijadikan pedang dan tombak.
Mereka, penduduk pribumi itu, bertanya kepada Cortes mengapa orang-orang Spanyol sangat berhasrat pada emas. Sang penakluk Meksiko itu menjawab, “Sebab aku dan rekan-rekanku menderita penyakit hati yang hanya bias disembuhkan dengan emas.”
Bagi para penjajah Eropa, emas tentu menjadi penunjang kehidupan mereka. Bahkan untuk menguasai dunia, mereka membutuhkannya. Dengan emas, penjajah Eropa dapat membeli aneka kain sutera dan berbagai keramik di Tiongkok serta memborong rempah-rempah di Nusantara yang dulu menjadi komoditas utama di dunia.
Karena itu, mereka tidak segan membunuh penduduk-penduduk negeri yang mereka datangi demi memperoleh harta paling berharga di dunia itu. Buktinya, saat ini bangsa Aztek, Inka, Maya, bahkan Aborigin dan Maori di Australia dan Selandia Baru hanya kita tahu karena membaca buku-buku sejarah.
Penulis: Mahardy Purnama, penulis buku “Sejarah Islam untuk Pemuda Muslim”