Peran Ulama dalam Sejarah Hari Santri Nasional

Date:

Peran Ulama dalam Sejarah Hari Santri Nasional
Oleh: Mahardy Purnama, Penulis dan Pemerhati Sejarah Islam

Hari Ahad kemarin tepat jatuh pada tanggal 22 Oktober 2017. Oleh pemerintah, 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional.

Menurut fakta sejarah, tanggal tersebut adalah tanggal di mana KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama mengeluarkan resolusi jihad agar para ulama, tentara, santri, dan pemuda Islam berjihad fi sabilillah melawan penjajah sekutu Inggris dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang hendak menduduki Surabaya, Jawa Timur.

Resolusi Jihad, ditambah dengan pekikan Takbir Bung Tomo lewat Radio Pemberontakan di Surabaya membangkitkan semangat juang umat Islam Surabaya. Para ulama dan santri dari Jawa Barat dan Jawa Tengah berkumpul di Surabaya untuk menghadapi tentara sekutu dan NICA.

Meletuslah pertempuran dahsyat antara pejuang Indonesia melawan para penjajah di akhir bulan Oktober. Dengan bersenjatakan bambu runcing, tombak, parang, keris, umat Islam menghadapi tentara-tentara sekutu yang telah berpengalaman di Perang Dunia II. Atas, izin Allah, umat Islam berhasil membunuh pimpinan musuh, Brigjen Mallaby pada 31 Oktober 1945. Puncaknya, ketika perang dahsyat pecah pada tanggal 10 November di Surabaya, Perang Sabil. Banyak yang gugur dari kalangan umat Islam, begitu juga dari tentara Inggris. Peristiwa hebat ini sampai sekarang masih sering dikenang dan dijadikan sebagai Hari Pahlawan.

22 Oktober, menunjukkan bahwa pentingnya peran ulama di tengah-tengah umat. Mereka yang mendidik umat, mengajarkan Islam yang benar, dan menggerakkan umat untuk menghadapi para penjajah yang ingin menguasai dan menginjak harga diri bangsa ini.

Sebenarnya, jumlah ulama dan santri tidaklah seberapa dibanding seluruh penduduk Pulau Jawa. Namun, kehadiran mereka di barisan terdepan umat Islam dapat membakar semangat masyarakat untuk melawan penjajah kafir. Mereka berani mati membela tanah air dan agamanya.

Dengan satu kalimat dari KH Hasyim Asy’ari lalu gema Takbir Bung Tomo, mampu menggerakkan umat Islam di seluruh Pulau Jawa untuk menghadapi penjajah kafir. Bambu yang biasa dipakai untuk bahan bangunan, digunakan sebagai senjata melawan penjajah. Sungguh luar biasa!

Tak pelak, keberadaan ulama di antara masyarakat Indonesia selalu menjadi ancaman terbesar bagi bangsa Eropa yang ingin menjajah Indonesia di setiap zaman. Dalam bukunya History of Java, Thomas Stamford Raffles menyebutkan bahwa ulama dan santri walaupun merupakan kelompok minoritas, hanya sepersembilan belas dari populasi di Pulau Jawa. Tapi jika mereka bekerjasama dengan para sultan atau pemegang kekuasaan politik Islam, menjadikan kaki penjajah Barat tidak dapat tegak berdiri dan aman.

Tenaga dan pikiran dikerahkan sepenuhnya oleh penjajah. Dana yang tidak sedikit mereka gelontorkan untuk menyingkirkan para ulama dari tengah-tengah umat Islam. Mulanya gerak-gerik para ulama dibatasi. Di antara mereka dilarang berkhutbah di surau dan masjid-masjid karena dapat menggerakkan rakyat melawan penjajah.
Kemudian dalam bidang pendidikan, para penjajah mendirikan sekolah ala Eropa, dengan maksud menandingi pesantren-pesantren yang dibangun serta dibina oleh para ulama. Anak-anak bangsawan dan pejabat disekolahkan di sekolah Eropa sehingga semakin jauh dari nilai-nilai Islam dan di kemudian hari dapat menjadi penentang utama para ulama.

Saat penjajah kafir menguasai kota-kota pelabuhan, umat Islam termasuk para ulama dan santri terdesak menuju pedesaan atau pedalaman. Tapi para penjajah tidak kehabisan akal, diterapkanlah sistem Tanam Paksa yang sangat menyengsarakan rakyat Indonesia selama hampir sembilan puluh tahun (1830-1919).

Dengan cara tersebut, selain memberikan keuntungan kepada penjajah, juga efektif untuk menjauhkan umat Islam dari ulamanya. Mereka dipaksa menanam kopi, tebu, tembakau, dan lainnya sepanjang hari, setiap hari, sehingga tidak ada waktu lagi bagi umat Islam untuk belajar dari ulamanya.

Penjajah kafir tak hentinya menangkap para ulama dan pejuang Islam kemudian mereka dengan cara sistem silang wilayah pembuangan, yang berasal dari Pulau Jawa dibuang ke luar Jawa. Yang dari luar Jawa, dibuang ke Pulau Jawa dan sebagainya.

Imam Bonjol, ulama dan tokoh Perang Padri tahun 1821 sampai 1837, dari Sumatera Barat dibuang ke Minahasa, Sumatera Utara. Kota yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Pangeran Diponegoro, tokoh utama Perang Diponegoro dari tahun 1825-1830 yang mengakibatkan kerugian besar bagi pihak kafir Belanda, dari Jawa Tengah dibuang ke Manado, Sulawesi Utara. Lalu dibuang lagi ke Makassar, Sulawesi Selatan hingga wafat di sana. Bahkan, di masa yang jauh sebelum itu, ada Syekh Yusuf Al-Makassari yang dibuang ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan.
Memang dalam beberapa kasus, tindakan pembuangan berdampak pada menyebarnya Islam ke wilayah pembuangan. Tapi, di wilayah sebelumnya, masyarakat kehilangan sosok panutan yang bisa membangkitkan semangat mereka untuk berjuang melepaskan diri dari penjajahan.

Pentingnya Ulama di Tengah Umat
Resolusi Jihad yang digemakan oleh Kyai Haji Hasyim Asy’ari menunjukkan betapa pentingnya peran ulama di tengah-tengah masyarakat Islam. Mereka adalah tokoh sentral dalam menghadapi para penjajah kafir.
Dapat dibayangkan bagaimana jika di negeri ini tidak ada lagi ulama yang mendidik umat. Manusia akan jauh dari agamanya, tersesat, menjadi lemah, bodoh, dan mudah dijadikan budak para penjajah kafir. “Kalau bukan karena ulama,” ucap Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, “manusia akan menjadi seperti binatang ternak.”

Sangatlah pantas, jika pada hari ini umat Islam murka saat ulamanya dihina oleh orang-orang bodoh yang tidak paham akan sejarah bangsanya. Ulama tidak bisa dihapus dalam sejarah panjang bangsa Indonesia. Sejak pertama kali penjajah Portugis datang ke Nusantara abad ke-16, para ulama dan sultan lah yang dengan gagah berani menghadapi mereka. Menggerakkan rakyat untuk mengangkat senjata. Bukan yang lain, bukan para pembangun candi dan stupa, apalagi para penyembah kayu salib.

Sayangnya, peran ulama pada hari dikaburkan dalam sejarah bangsa kita. Generasi muda bangsa asing dengan nama-nama pejuang Islam semisal Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Wahid Hasyim, Haji Umar Said Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Jenderal Sudirman, dan masih banyak lagi. Peran mereka terlupakan oleh generasi Islam pada hari ini. Kita melupakan sejarah bangsa kita.

Jihad Andalusia
Berbicara tentang peran ulama kita menggerakkan umat untuk berjihad mengingatkan kembali dengan peristiwa yang terjadi di bumi Andalus, negeri Islam yang hilang. Saat itu, pada tahun 456 Hijriyah (1064 M), pasukan Kristen Norman dan Prancis menyerang Bobastro, salah satu kota Muslim di Andalusia dan membantai lebih dari 40 ribu penduduk Musim di sana.

Bani Umayyah yang pernah berjaya dengan Kota Cordoba-nya telah runtuh. Umat Islam terpecah belah, masing-masing pemimpin Islam memiliki wilayah kekuasaan sendiri. Masa ini dikenal dengan masa Muluk Ath-Thawaif. Islam terbagi menjadi lebih dari 20 wilayah dengan penguasa masing-masing yang saling berselisih. Pemimpin-pemimpin Islam tak bergerak menghadapi serangan Kristen. Mereka tak berdaya, disibukkan oleh dunianya masing-masing.
Lalu hadirlah seorang ulama besar Andalusia yang lama belajar di Timur Tengah, Abu Al-Walid Al-Baji. Al-Baji menggerakkan rakyat dan menyeru penguasa dan umat Islam agar berjihad melawan kaum Kristen.

Seruan Al-Walid membuat penguasa Muslim bergerak diikuti oleh penduduk Muslim lainnya. Di antara mereka yang ikut berjihad adalah Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Hazm. Ulama lainnya yang bergabung adalah kakek dari Ibnu Rusyd (Ibnu Rusyd penulis Bidayatul Mujtahid). Umat Islam berjihad melawan kaum Salib selama sembilan bulan dan dengan pertolongan Allah umat Islam berhasil merebut kembali Bobastro.

Abul Walid Al-Baji, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Hazm, adalah sederet ulama yang berjasa memperbaiki umat di saat umat telah terlenakan dengan dunianya. Hampir saja Andalusia runtuh, tapi, berkat kegigihan para ulama Rabbani semisal mereka menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar, Andalusia yang hampir runtuh dapat bertahan hingga empat ratus tahun lagi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

170 Jiwa Terdampak, Relawan Wahdah Peduli dan WIZ Bantu Evakuasi Korban Banjir di Makassar

MAKASSAR, wahdah.or.id - Banjir kembali menerjang dua kecamatan di...

Spesial! Angkat Tema “Bahagia”, PSR di Makassar Hadirkan Enam Pemateri Doktor Lulusan Timur Tengah

MAKASSAR, wahdah.or.id - Bulan Ramadan 1446 H/2025, kehadirannya kini...

Musyawarah Kerja Ke-XIV, Pejabat Bupati Apresiasi Peran Wahdah Islamiyah Bone di Bidang Keagamaan dan Sosial

BONE,wahdah.or.id - Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda) ke-XIV Wahdah Islamiyah...

Dihadiri Hingga 450 Peserta, Muslimah Wahdah Islamiyah Kendari Gelar Daurah Serentak di Depalan Kecamatan

KENDARI, wahdah.or.id - Menyambut bulan suci Ramadan 1446 H,...