Penguasa Kristen yang mengambil alih Granada mengusir orang-orang Moor (Islam) dan Yahudi dari Granada. Jika ingin tetap tinggal, mereka harus mengganti keyakinan mereka. Maka tidak ada cara yang lebih baik selain keluar dari Granada.
Afrika Utara menjadi negeri tujuan mereka mengungsi. Sebagian lagi ke wilayah Timur Tengah. Sejak itu, mereka meninggalkan istana Al-Hamra mereka yang menjadi kebanggaan mereka, sebagaimana sebelumnya orang-orang Cordoba meninggalkan landmark kota mereka, La Mezquita.
Bergulirnya waktu, perlahan, membuat umat Islam di Timur melupakan kejayaan Islam di Andalusia. Mereka tidak lagi mengetahui Al-Hamra, melupakan Cordoba yang pernah menjadi pusat peradaban dunia, melupakan Abdurrahman Ad-Dakhil, Al-Hakam, dan An-Nashir- pemimpin-pemimpin yang pernah membuat Islam berjaya di Semenanjung Iberia itu.
Kenangan mengenai keindahan kota-kota di Andalusia dan kemajuan peradaban di dalamnya hanya diceritakan dari mulut ke mulut oleh generasi-generasi awal mereka yang mengungsi ke Afrika Utara. Kemudian, cerita indah itu mulai lenyap dari mulut generasi-generasi setelahnya. Sementara di wilayah Timur Tengah, sejarah kejayaan Islam di Andalusia berangsur-angsur dilupakan. Hilang dari ingatan kaum Muslimin. Orang-orang Barat pun menyimpan rapat-rapat sejarah Islam Andalusia dari umat Islam.
Pada abad ke-17, Al-Maqqari, sejarawan muslim asal Maghrib (Maroko) yang tidak ingin Andalusia hilang dari ingatan kaum muslimin, akhirnya menulis “Nafh Ath-Thibb min Ghasn Al-Andalus Ar-Rathib” kitab- ensiklopedi- berjilid-jilid mengenai sejarah dan kesusastraan Islam di Andalusia. Sayangnya ensiklopedi tebal Al-Maqqari asli berbahasa Arab pertama kali ditemukan di Leiden, Belanda. Para sarjana Eropa-lah yang menerjemahkannya pertama kali di London pada 1840. Sampai saat itu, umat Islam masih belum mengetahui bahwa Islam pernah memimpin peradaban dunia di Andalusia.
Barulah pada 1880, setelah kajian tentang Islam Andalusia (Spanyol) tersebar di kalangan para sarjana muslim, Sultan Abdul Hamid II mengirim utusan ke Spanyol untuk melacak monumen-monumen dan situs-situs warisan peradaban Islam di sana. Para sarjana Arab, Turki, bahkan India mengunjungi Spanyol lalu menulis sejarah kejayaan Islam di Spanyol ke dalam bahasa mereka. Dan sejak itu, sampai hari ini, kita dapat membaca sejarah peradaban Islam di negeri Islam yang hilang tersebut.
***
Pentingnya Menulis Sejarah
Sejarah merupakan ilmu yang sangat penting yang banyak diremehkan oleh generasi muda Islam saat ini. Karena dianggap sebagai ilmu yang tidak begitu penting, sehingga para orientalis dan murid-murid para orientalis yang menulis sejarah keislaman kita. Ada yang berusaha objektif dalam menulis, dan tidak sedikit yang mendistorsi.
Jika tidak ada perhatian dari orang-orang Islam yang baik aqidah dan pemikirannya untuk menulis sejarah, maka orang-orang yang buruklah yang akan menulis sejarah kita. Dan itu tentu saja suatu musibah.
Sebenarnya, kondisi generasi muda Islam di negeri kita saat ini dijauhkan dari sejarah perjuangan Islam di negeri ini. Perjuangan panjang para ulama, para sarjana muslim, para santri, hendak dihilangkan dari otak generasi Islam pada hari ini. Sehingga, semangat keislaman mereka pudar. Penghormatan kepada ulama hilang.
Generasi kita disuguhkan dengan Islam yang tertinggal, jauh dari peradaban. Dalam buku-buku sejarah anak-anak, adik-adik kita di sekolah umum bahkan disuguhkan Islam yang keras. Islam yang disebarkan dengan pedang dan senjata. Penulis-penulis buku pelajaran sejarah kita misalnya, menggambarkan masa khulafa ar-rasyidin sebagai masa-masa berdarah, di mana Ali berseteru dengan istri Rasulullah, Aisyah, atau Ali dengan Muawiyah hanya untuk memperebutkan kekuasaan.
Buku-buku sejarah kita juga menyebutkan masa kejayaan Nusantara (Indonesia) adalah pada masa kerajaan Majapahit dengan Patih Gajah Mada-nya yang tersohor. Adapun kesultanan Islam beserta para pemimpin dan ulamanya, hampir-hampir menjadi pelengkap dalam buku sejarah anak-anak kita di sekolah. Padahal, yang berjuang menghadapi penjajah dengan darah dan harta, tidak lain adalah umat Islam yang dipimpin langsung oleh para sultan dan ulamanya.
Lihat pula bagaimana para penulis sejarah yang tidak bertanggung jawab menggambarkan Islam di Timur Tengah sebagai Islam yang berdarah. Padahal Khalifah Umar bin Khattab memasuki Baitul Maqdis tanpa membunuh seorang pun. Tanpa menghancurkan satu pun gereja dan sinagog. Hal yang sama dilakukan Shalahuddin Al Ayyubi dalam pembebasan Baitul Maqdis jilid kedua. Orang-orang Yahudi yang terusir dari Spanyol dapat dengan tenang hidup di wilayah kekuasaan Turki Utsmani. Di mana pada akhirnya, merekalah yang meruntuhkan kekhilafahan di sana.
Jangan heran jika pada hari ini masih terdengar teriakan bahwa Islam itu identik dengan terorisme. Umat Islam intoleran dan para ulamanya mengajarkan umatnya untuk bersikap keras terhadap non muslim.
Jika kita benar-benar membuka mata dan melihat sejarah, siapa sebenarnya yang intoleran dan menyebarkan kekuasaan dengan pedang? Jawabannya tentu saja penjajah Eropa yang membawa agama mereka: Katolik dan Protestan.
Lihatlah bagaimana mereka memasuki dan menjajah Nusantara. Lihatlah bagaimana mereka menguasai Baitul Maqdis pada Perang Salib. Tidak ada yang tersisa dari umat Islam baik laki-laki, perempuan, dewasa, maupun anak-anak.
Digambarkan oleh Fulcher, seorang prajurit Perang Salib dari Chartres: “Sungguh, seandainya Anda berada di situ, Anda akan menyaksikan tumit kaki-kaki kami basah dengan darah orang yang terbunuh. Tetapi, apalagi yang bisa saya ceritakan? Tak seorang pun dari mereka tersisa hidup-hidup; kaum wanita ataupun anak-anak tidak ada yang disisakan.” (Fuller, 2014: 129)
Mungkin itu perwujudan dari pesan Kristus: Janganlah kamu mengira bahwa Aku datang membawa perdamaian di dunia. Aku tidak membawa perdamaian, melainkan pedang. (Matius: 10: 34).
Penjajah Eropalah yang datang membawa “pedang”, tapi mengapa ia justru melekat pada Islam?
Dengan demikian, tugas generasi Islam untuk memahami sejarah dengan benar, menggerakkan tangan untuk menulis sejarah Islam, serta membantah tulisan-tulisan orang-orang yang hendak mengaburkan sejarah Islam yang benar.
“Sejarah…,” tutur Syaikh Dr. Abdul Azhim Mahmud Ad-Dib, “adalah pengetahuan tentang masa kini dan masa depan. umat yang mampu bertahan adalah umat yang memiliki kesadaran akan sejarahnya. Mereka selalu memperhatikan masa lalu, memahami masa kini, dan menentukan masa depannya.”
Oleh: Mahardy Purnama, Penulis dan Pemerhati Sejarah Islam