Penawar Jiwa Yang Rapuh

Date:

Aku dan Wahdah Islamiyah
(Penawar Jiwa Yang Rapuh)
Cuplikan naskah peserta lomba menulis Wahdah Islamiyah 2016
Oleh: Achmad Firdaus

Suatu saat dikemudian hari ketika semua telah menjadi masa lalu, aku ingin berada di antara para pejuang sejati yang bercerita tentang perjuangan yang indah.(AF)

Ada kalanya waktu ibarat dimensi yang terlihat, layaknya orang yang bisa menatap gedung-gedung yang tinggi, pepohonan dan puncak gunung dikejauhan sana. Setiap orang bisa menatap waktu ke arah yang berlawanan dan tampaklah kejadian penting masa lalu, kelahiran, pernikahan dan kematian terlihat sebagai pertanda adanya dimensi waktu. Begitupun dengan rentetan kejadian di masa yang akan datang, merentang penuh hayal dan tanya di masa depan yang jauh. Kita semua akan berpindah tempat, namun setiap orang bisa memilih gerak pada poros waktu. Mungkin banyak diantara kita yang merasa takut meninggalkan saat-saat yang membahagiakan, ada memilih berlambat-lambat berjingkat melintasi waktu, mencoba mengakrabi kejadian demi kejadian, sementara yang lain berpacu menuju masa depan dengan berjuta harapan, memasuki perubahan yang cepat dari peristiwa-peristiwa yang melintas.

Setiap insan ditakdirkan bersama rentetan peristiwa yang telah dan (akan) menemani hari-harinya. Tak terkecuali dengan petualangan hidupku yang telah menyisakan beragam goresan kisah yang indah. Terlebih lagi disaat aku mencoba memainkan memori dalam ingatanku yang melayang jauh ke masa lalu, belasan tahun silam, saat aku pertama kali menginjakkan kaki di Kampus Merah, kampus yang dikenal sebagai perguruan tinggi terfavorit di Kawasan Timur Indonesia. Sedikit bangga dan bersyukur bisa mengenyam pendidikan di kampus ternama itu, terlebih lagi saat mengingat masa-masa indah datangnya cahaya hidayah. Iya, kampus itulah yang menjadi saksi bisunya.

Aku merasa rindu sekali berada pada masa itu, rindu pada sosok yang ketika itu, tujuh, delapan, atau sembilan tahun yang lalu merombak kotak-kotak ‘nafsu duniawi’ dalam hidupku. Beliau adalah seorang guru yang sangat sederhana, ramah dengan senyum khas dan sapaan lembutnya saat menjumpai kami murid-muridnya. Sekilas, tak ada yang istimewa dengan penampilannya sebagai seorang guru, mungkin berbeda dengan professor-doktor dengan perawakan angkuh dan gaya modis masa kini yang sering aku jumpai dikampus. Beliau selalu ceria bersama kami, meskipun terkadang matanya nampak sayu pertanda beliau dalam kondisi lelah dengan beragam aktivitas dakwahnya, apalagi beliau adalah ‘orang penting’ di Wahdah Islamiyah kala itu.

Iya, Wahdah Islamiyah. Beliaulah yang memperkenalkan kepadaku lebih jauh tentang ormas ahlussunnah tersebut, meskipun sebenarnya organisasi dakwah itu sudah tidak asing lagi bagiku, karena kebetulan disaat awal menjadi mahasiswa, aku beberapa kali ‘terjebak’ ikut dalam ta’lim pekanan di masjid milik Wahdah Islamiyah yang terletak dikawasan pondokan mahasiswa. Beliau selalu mengajari kami dengan tutur kata yang lembut dan santun, sehingga nasehat yang beliau sampaikan lebih mudah ‘nyantol’ dihati murid-muridnya. Beliau juga yang tak pernah bosan mengingatkan kami untuk selalu menghadiri majelis ilmu di masjid-masjid binaan Wahdah Islamiyah di Kota Makassar.

Masih tercatat begitu jelas, hari itu Kamis 8 November 2007, ketika beliau memaparkan dengan gamblang di hadapan aku dan teman-temanku, bagaimana pentingnya menjaga keikhlasan untuk menjadi seorang aktivis dakwah yang baik. Hari itu memang bukan kali pertama aku bermajelis dengan beliau, namun nasehat-nasehat yang disampaikan kepada kami sangat bermakna buatku, karena kebetulan di tahun itu aku dipercayakan untuk menempati posisi ‘penting’ dalam  mengemban amanah dakwah. Suasana hangat dalam majelis ilmu bersama beliau pun terus berlanjut dalam episode-episode yang panjang.

Setiap Kamis ba’da Ashar, dengan ditemani lampu yang tak terlalu terang, beliau selalu sabar dan setia menanti kami (murid-muridnya) di pojok masjid kampus lantai dua. Terkadang beliau juga yang ‘membangunkan’ ketika kami bermalas-malasan atau keasyikan nongkrong sehingga lupa akan jadwal tarbiyah. Sekali lagi, dengan sabarnya menanti kami yang sementara antri untuk mandi, sikat gigi, berwudhu, atau mempersiapkan segala sesuatunya. Lalu setelah satu demi satu hadir, dimulailah pembelajaran itu, sebuah lingkaran kecil dengan lima, enam, tujuh, sampai sepuluh orang lebih (tak menentu) peserta dan seorang guru. Dengan sabar dan tekun ia sampaikan materi demi materi setiap pekannya.

Ah, aku rindu dengan orang ini, aku rindu dengan sentuhan lembutnya ketika membangunkan kami saat tertidur disela-sela materi yang disampaikan. Aku rindu suara khasnya yang selalu mengingatkan kami “Akhi, jangan lupa hari ini jadwal tarbiyah ya, ingatkan ikhwa yang lain, kumpul di masjid kampus Unhas.” Ujarnya lembut. Aku benar-benar rindu bermajelis dengannya, walaupun mungkin seringkali kami membuat beliau kecewa, dengan datang telat, sering ‘ngantuk’ saat belajar, dan lain sebagainya. Tapi sekali lagi, beliau tidak pernah marah dan selalu sabar mengajari kami tentang Islam yang sesungguhnya.

Menurut aku, beliau adalah guru paling sabar yang pernah aku temui, dengan telaten menasehati kami yang masih berlumur dosa kemaksiatan dan kegelapan jahiliyah, untuk kemudian membimbing menuju cahaya hidayah Allah. Beliau tak pernah bosan mengarahkan kami agar menjadi seorang Muslim sejati yang senantiasa mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah. Sehingga saat itu aku benar-benar yakin bahwa disinilah aku menemukan jalan kebenaran yang akan menuntun hidupku menuju negeri keabadian kelak.

Tak terasa bulir-bulir air mata menetes membasahi pipi (bukan terkesan lebay) tatkala aku mengingat setiap rentetan peristiwa penuh makna itu. Ya, kebersamaan yang begitu indah dengan saudara tercinta dalam satu halaqah tarbiyah, meskipun tak bisa dipungkiri dalam sepekannya terkadang peserta tarbiyah berganti-ganti dan kadang ada juga ‘bintang tamu’ sebagai peserta baru yang bergabung bersama kami. Tapi itulah kekuatan kebersamaan dalam majelis ilmu yang dengannya dapat mempersatukan kami dalam ikatan ukhuwah meskipun dari beragam karakter yang berbeda.

Sungguh benar apa yang pernah diungkapkan oleh sang guru, bahwa keimanan benar-benar telah mengikat hati para hamba Allah dalam kasih sayang yang menggetarkan. Bukan lagi ikatan-ikatan semu (garis darah, kabilah, kewilayahan, ras, dan warna kulit) karena sejarah peradaban Islam telah memproklamirkan sebuah mejelis mulia yang disana duduk mesra Abu Bakar seorang bangsawan Arab, Shuhaib seorang imigran Romawi, Salman sang pengembara Rusia, dan tentu juga Bilal, bekas budak Negro Habasyah. Mereka selalu merasa indah dalam bingkai kebersamaan.

Indahnya kebersamaan itu masih teringat jelas saat aku bersama sebelas orang mendengarkan materi dari Sang Murabbi (begitu biasa kami memanggilnya) di rumah panggung milik salah seorang ikhwan (karena atas undangannya, sehingga tempat tarbiyah saat itu dipindahkan untuk sementara waktu), dan malam itu kami menikmati hidangan makan malam dengan indahnya kebersamaan. Begitu pun ketika duduk bermajelis di warung makan salah seorang teman tarbiyah kami yang dilanjutkan dengan jamuan hidangan Coto Makassar yang semakin menghangatkan suasana kebersamaan kami saat itu.

Cerita kebersaman itu terus berlanjut, masih terukir begitu indah dalam ingatanku disaat mendengarkan materi tarbiyah di tengah dinginnya pegunungan Malino Sulawesi Selatan, sambil sesekali menatap wajah saudara tercinta, ada yang matanya memerah karena kelelahan, ada yang teklak-tekluk karena mengantuk dalam kedinginan malam, ada yang dengan seriusnya mendengarkan hingga tak terasa matanya terpejam, ada yang senyam-senyum sambil sesekali memegang HP mengecek SMS masuk, ada yang berpakain rapi, berkopiah, begitu serius mendengarkan materi dari sang guru, dan berbagai keunikan lainnya yang membuat bibir ini tak kuasa menahan senyum.

Kebersamaan saat itu terasa lengkap ketika kami menikmati panorama alam di air terjun Takapala, sebuah kawasan wisata yang terletak  kurang lebih 5 kilometer dari pusat Kota Malino, Kabupaten Gowa. Tempat tersebut memang telah menjadi salah satu destinasi favorit bagi para penikmat pesona keindahan alam, begitupun bagi mereka yang ingin menenangkan pikiran sehabis bergelut dengan kertas-kertas legal dikantor masing-masing. Tapi tidak bagi kami saat itu, kami tidak mencari ketenangan disana, kami hanya ingin sekedar membuat suasana baru bagi kelompok tarbiyah kami, sekaligus melihat keluarbiasaan Maha Karya Sang Pencipta kehidupan ini. Kami menikmati kebersamaan itu dibawah percikan air terjun yang sangat dingin, menusuk hingga ke lapisan kulit terdalam. Belajar berenang bersama ustadz hingga kami menggigil kedinginan yang memaksa kami untuk sejenak berjemur dan menikmati ubi goreng diatas bebatuan yang berserakan, semua terasa sangat indah saat itu.

Ingin rasanya kembali ke masa itu, kembali bermajelis dengan Sang Murabbi, Ustadz Muhammad Nur Ihsan, Lc., rindu kembali bersama sosok yang telah mengajarkan arti sebuah kesabaran, keihklasan, kesungguhan, dan semangat dalam berjuang, ber’amar ma’ruf nahi mungkar. Rindu kembali bekumpul bersama saudara-saudaraku tercinta dalam satu halaqah tarbiyah, mereka semua telah memberi arti dalam hidup ini, Putra Alam, SE., MEI – Affandy Hamid ST., M.Eng. – Adnan Nur, SKM. – Muhammad Rachmat, SKM., M.Kes. – Supriandi Karim, S.Pi. – Abdul Kadir, ST. – Mursalam, ST. – Mursalim, ST. – Wardin Ubaidillah, ND. – Amar Ichsan Amin, SE., Ak. – Akmal, SKM., – Munawar, – Kaisar, SE., – Hengki Fajar, S.Ked., Ns., dan yang lainnya.

Sungguh benar adanya bahwa kebersamaan dalam perjuangan itu sebening prasangka, sepeka nurani, sehangat semangat, sekokoh janji, dan senikmat berbagi dengan berjuta kenangan yang selalu mengundang kerinduan. Rindu kembali suasana canda tawa ketika ada di antara kami yang belum tuntas setoran hafalannya, kangen  suasana hangat ketika makan bersama sehabis tarbiyah, dan rindu menikmati keseruan saat ditugaskan jadi ‘tukang parkir’ Ta’lim malam Ahad di Masjid Wihdatul Ummah. (Ah, seandainya waktu bisa dihentikan saat menikmati kebersamaan itu, maka seakan aku tak ingin ada hari esok lagi). Namun kini, ruang dan waktu telah memisahkan kami semua, ada yang masih menetap di Kota Makassar, namun ada juga yang telah berpencar ke daerah lain, ada yang menjalankan tugasnya ke tanah Jawa, dan ada pula yang telah merantau jauh dan menjalani hari-harinya di luar negeri.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa kebersamaan kami telah menjadi satu kenangan terindah yang tidak akan pernah lapuk ditelan zaman. Hanya do’a kepada Allah yang dapat kupanjatkan, semoga keistiqamahan di atas sunnah dan perjuangan dakwah selalu mengiringi langkah-langkah kami saat ini dan selamanya. Jika dulu mereka adalah pejuang-pejuang tangguh yang rela mengorbankan waktu dan tenaganya di jalan Allah, semoga saat ini pun mereka tetap tangguh dan lebih tangguh lagi dalam berjuang. Dan semoga suatu saat nanti kami bisa bertemu kembali dalam suasana yang lebih indah lagi, jika tidak di dunia ini, Insyaa Allah, semoga aku dan mereka menjadi golongan yang akan dikumpulkan oleh Allah untuk bernostalgia tentang perjuangan yang indah di dalam surga kelak.

*****

Di tengah indahnya romantisme kebersamaan dan perjuangan itu, terkadang ada kerikil-kerikil kecil penguji keikhlasan yang menghampiri kami, ditambah dengan kerasnya kehidupan dan beragam fitnah yang menggiurkan untuk berhenti atau bahkan berpaling arah. Tapi nasehat-nasehat berharga dari Sang Murabbi selalu terngiang mengalir dan menyejukkan hati, seakan beliau mengerti akan kondisi kami saat itu, sehingga tak bosan-bosannya memberi motivasi bagi jiwa yang lelah ini.

Nasehat demi nasehat selama beberapa tahun berguru dengan beliau, kini masih tertulis rapi dalam buku catatan tarbiyahku. Sebuah buku kecil yang selalu menyertaiku dan tak pernah kubiarkan ketinggalan kemanapun aku pergi, bahkan ke luar negeri sekalipun, karena didalamnya  banyak ‘harta warisan Rasulullah’ yang telah dibagikan oleh Sang Guru beberapa tahun lalu. Goresan pena dengan kata-kata yang mengalir indah penuh hikmah selalu memberi banyak inspirasi atau setidaknya bisa membuat aku tetap ‘bertahan’ hingga saat ini.

Bukan hanya itu, dalam buku tersebut tercatat juga beberapa kejadian penting masa lalu beserta dengan tanggal yang masih sangat jelas pada hari itu. Menggiring memori ini kembali terbang jauh kemasa lalu, saat dimana pertama kali berjumpa dan melewati hari-hariku bersama saudara-saudara tercinta. Teringat saat malam-malam, dini hari, tatkala orang-orang mungkin terlelap dalam tidurnya, justru kami melakukan musyawarah dengan beberapa orang yang belum terlalu lama aku kenal waktu itu, memikirkn nasib orang-orang yang belum mengenal Islam dengan baik. Kami biasa berkumpul di sana, meskipun kami tidak berasal dari derah yang sama, kami pun mempunyai latar belakang yang berbeda. Kami bertemu karena satu pemikiran, kami bertemu karena satu pemahaman, dan kami bertemu karena satu tujuan yakni mengajak kepada kebaikan.

Namun ada satu cerita yang begitu berkesan dalam ingatanku hingga hari ini, saat-saat aku bersama sahabat-sahabat di Wahdah Islamiyah Makassar lebih sering menghabiskan siang dan malam dengan musyawarah dibagian pojok belakang masjid Wihdatul Ummah. Dan saat-saat itu pula aku bersama Andi Muhammad Irfan (Ketua Departemen Kominfo DPC WI Makassar saat itu) sering bolak-balik dan menunggu berjam-jam di kantor Gubernur untuk bertemu dengan Ketua KPID Sulsel. Ya, saat itulah detik-detik menjelang re-launching radio Suara Wahdah.

Mungkin tidak banyak yang tau tentang hal tersebut, apalagi saat itu penyebaran informasi lewat jejaring sosial belum ‘seheboh’ hari ini. Namun disitulah berawal perubahan logo dan relaunching Suara Wahdah sekitar Delapan atau Sembilan tahun yang lalu, saat dimana kanda Zainal Abidin banyak menghabiskan waktu luangnya untuk mempersiapkan acara penting tersebut, saat-saat Akh Sudirman Tahir dan Ahwan Muru menjalani shooting iklan Suara Wahdah yang mengusung konsep On-Off. Aku bersama mereka sebagai stereeng commite acara launching terpaksa harus memainkan peran ganda (sebagai konseptor, script writer, sekaligus penyiar) karena keterbatasan personil kala itu. Tapi atas izin Allah, kami pun sukses menggelar acara relaunching Radio Suara Wahdah di Lantai dua Masjid Wihdatul Ummah dengan mengusung tema “Mencurah Dakwah di Balik Frekuensi” yang dihadiri oleh Bapak Aswar Hasan (Ketua KPID Sulsel).

Sejak hari itu, maka resmilah Suara Wahdah 107.9 FM mengudara (kembali) sebagai radio komunitas, meskipun saat itu harus diakui bahwa program acara yang kami buat masih sangat sederhana, mungkin sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan ‘wajah’ Suara Wahdah yang telah ‘bertransformasi’ ke konsep yang lebih modern, atau mungkin tidak ‘sekeren’ dengan Radio Makkah yang dikelolah oleh orang-orang yang lebih professional. Tapi ya, itulah sebuah perjuangan, paling tidak, kebersamaan di masa-masa sulit itu telah menyisakan cerita tersendiri bagi aku dan saudara-saudara seperjuanganku.

Hari-haripun terlewati dengan beragam aktivitas dakwah dengan segala suka-dukanya, dan telah melahirkan pejuang-pejuang super heroik. Mungkin tidak seheroik perjuangan Bilal ketika disiksa oleh tuannya, juga tidak seheroik sekelompok pasukan Badar saat menghancurkan ribuan kaum Musyrikin Quraisy, dan tidak sehebat Khalid bin Walid ketika memimpin peperangan, namun setidaknya perjuangan dakwah dalam kebersamaan telah menorehkan kisah yang indah dan selalu mengundang kerinduan yang mendalam.

Meskipun saat ini, kami telah terpisah jauh satu sama lain, namun cerita tentang hangatnya kebersamaan dalam dakwah dan tarbiyah di Wahdah Islamiyah akan tetap terpatri dalam hati yang terdalam dan akan terukir indah di atas prasasti kejayaan Islam. Indahnya kebersamaan dalam merenda dan memintal benang-benang peradaban bersama orang-orang yang ikhlas masih akan terus berlanjut sampai kapan pun, meskipun sangat sulit dan butuh perjuangan. Namun hasil dari perjuangan ‘sekecil apapun’ akan terasa, walaupun hanya sekedar mengajar orang ‘ngaji’ tapi setidaknya telah mempersiapkan generasi terbaik untuk kejayaan Islam.

Akhir kata, dunia ini bukan tempat istirahat, sejatinya tidak pernah ada kata berhenti untuk terus belajar dan berjuang, karena ilmu dan dakwah adalah warisan para rasul Allah, serpihan-serpihan kebenaran yang kita pungut disepanjang perjalanan hidup ini akan mengajarkan kita menjadi manusia yang berakhlak. Semoga catatan ini dapat menjadi penawar bagi jiwa-jiwa yang rapuh agar tetap semangat dalam berjuang, dan semoga kebersamaan masa lalu akan menjadi sebuah cerita yang indah, antara aku, antum, dan kita semua. Insyaa Allah.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Menghadapi Tantangan Dakwah, Wahdah Sulbar Adakan Lokakarya Tuk Tingkatkan Kapasitas dan Komitmen Kader

MAMUJU, wahdah.or.id – Dalam upaya memperkokoh dakwah yang berbasis...

Programkan Gerakan 5T, Mukerwil VII DPW Wahdah Banten Siap Wujudkan Banten yang Maju dan Berkah

BANTEN, wahdah.or.id – Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Wahdah Islamiyah...

Capai Skor IIWCP Kategori “BAIK”, Nazhir Wahdah Islamiyah Raih Piagam Apresiasi Dari Badan Wakaf Indonesia

MAKASSAR, wahdah.or.id - Ketua Badan Wakaf Wahdah Islamiyah, Ustaz...

Susun Visi Misi Kota Wakaf, Musyawarah BWI Kab. Wajo dan Kemenag Libatkan Wahdah Wajo

WAJO, wahdah.or.id – Perwakilan Dewan Pengurus Daerah Wahdah Islamiyah...