Seiring perkembangan zaman,semakin beragam pula permasalahan terkait fiqh ibadah,termasuk ibadah puasa.
Diantara yang wajib diketahui oleh setiap kita adalah ilmu tentang pembatal-pembatal puasa,apa saja yang dapat membatalkan,sebab puasa barulah sah dan diterima jika kita meninggalkan pembatalnya.
Ada lima hal yang disepakati (ijma’) para ulama yang dapat menbatalkan puasa :
1. Makan
2. Minum
3. Berhubungan suami istri (termasuk dalam hal ini mengeluarkan mani dalam keadaan sadar)
4. Haid & Nifas
5. Muntah dengan sengaja
Adapun makan,minum dan berhubungan suami istri dijelaskan dalam firman Allah 2 : 186
“..Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang Allah telah ditetapkan Allah untuk kalian,dan makan minumlah kalian hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam pertanda fajar (telah terbit) kemudian sempurkanlah puasa sampai datangnya malam….
Sedangkan dalil pembatal yang keempat adalah hadits yang riwayatkan oleh sahabat yang mulia Abu Sa’id Al Khudri di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79).
Dasar pembatal kelima :
ذكره الخطابي وابن المنذر . وانظر “المغني” (4/368) .
ودليل ذلك من السنة ما رواه الترمذي (720) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ – أي : غلبه- فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ ، وَمَنْ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ) . صححه الألباني في صحيح الترمذي .
Diluar lima hal diatas ada beberapa hal lain yang dapat membatalkan puasa yang merupakan permasalahan kontemporer,kami angkat dari buku pembatal-pembatal puasa kontemporer ( (مفسدات الصيام المعاصرة ditulis oleh DR.Khalid bin Ali Al-Musaiqih –hafizhohullah- dosen di Universitas Al-Qoshim,Arab Saudi.
PENJELASAN HUKUM TERKAIT PERMASALAHAN KONTEMPORER
1. Obat tetes hidung
Hidung memiliki saluran menuju kerongkongan sebagaimana dibuktikan pula dengan hadits, realita dan penelitian dokter terkini.
Dalil hadits yang membuktikan hal di atas adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
“Masukkanlah air dengan benar kecuali jika dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 2366, An Nasai no. 87, Tirmidzi no. 788, Ibnu Majah no. 407. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini menunjukkan bahwa hidung punya hubungan ke kerongkongan lalu ke perut. Hal ini dibuktikan pula dalam penelitian kedokteran saat ini.
Para ulama yang empat bersepakat apabila obat tetes hidung itu mencapai kerongkongan maka itu membatalkaan puasa.
2. Penggunaan obat tetes telinga,apa hukumnya?
Mengenai hukum menggunakan obat tetes telinga, para ulama berselisih pendapat.
Pendapat pertama: Jika memasukkan minyak atau air melalui lubang telinga, puasanya batal. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, ulama Malikiyah, dan pendapat yang lebih kuat dalam madzhab Syafi’iyah. Sedangkan menurut madzhab Hambali, batal jika sampai pada otak.
Alasan mereka: Sesuatu yang dimasukkan dalam telinga akan mengalir hingga ke kerongkongan atau ke otak.
Pendapat kedua: Tidak membatalkan puasa. Inilah salah satu pendapat Syafi’iyah dan pendapat Ibnu Hazm.
Alasan mereka: Tetes telinga tidaklah sampai pada otak dan cuma sampai ke pori-pori.
Untuk menjawab apakah tetes telinga membatalkan puasa ataukah tidak mesti dibuktikan dengan penelitian mutakhir. Dan telah terbukti bahwa tidak ada saluran yang menghubungkan antara telinga dan perut atau antara telinga dan otak di mana saluran tersebut bisa diairi kecuali jika ada sobek pada gendang telinga.
Kesimpulan : obat tetes telinga tidak membatalkan puasa
3. Obat tetes mata
Jika kita meninjau pendapat para dokter saat ini, mereka menyatakan bahwa terdapat saluran antara mata dan hidung, kemudian akan bersambung ke kerongkongan.
Pendapat pertama: (jumhur) tidak membatalkan puasa. Yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, dan Dr. Wahbah Az Zuhaili.
Alasan mereka:
1. Tetes mata yang masuk pada lubang mata hanyalah sedikit, cuma satu atau dua tetes. Jika hanya sedikit, berarti dimaafkan sebagaimana berkumur-kumur ketika puasa.
2. Tetes mata ketika masuk dalam saluran maka ia langsung terserap dan tidak mengalir terus hingga kerongkongan.
3. Tetes mata tidaklah membatalkan puasa karena tidak ada nash (dalil tegas) yang menyatakannya sebagai pembatal. Ditambah lagi mata bukanlah saluran tempat masuknya zat makanan dan minuman.
Pendapat kedua: Tetes mata membatalkan puasa. Ulama belakangan yang berpandangan seperti ini adalah Syaikh Muhammad Al Mukhtar As Sulami dan Dr. Muhammad Alfiy.
Alasan mereka:
1. Diqiyaskan (dianalogikan) dengan celak mata karena pengaruhnya sampai ke kerongkongan.
Sanggahan: Mengenai celak sebagaimana disebutkan sebelumnya terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Yang tepat, celak mata tidaklah membatalkan puasa. Maka tidak tepat tetes mata diqiyaskan dengan celak mata.
2. Allah sendiri telah menetapkan bahwa ada saluran yang menghubungkan mata dan hidung hingga ke kerongkongan.
Sanggahan: Tetes mata yang masuk pada lubang mata hanyalah sedikit dan jika hanya sedikit, berarti dimaafkan sebagaimana berkumur-kumur ketika puasa.
Kesimpulan : Pendapat yang tepat, tetes mata tidaklah membatalkan puasa karena melihat beberapa alasan yang dikemukakan di atas.
4.Apa hukum Anestesi ?
Anestesi adalah hilangnya rasa pada tubuh yang disebabkan oleh pengaruh obat bius atau kita dapat katakan mati rasa. Tanpa adanya anestesi, pembedahan tentu sangat menyiksa pasien.
Bagaimanakah pengaruh anestesi terhadap puasa seorang muslim? Masalah ini perlu adanya rincian karena ada beberapa macam anestesi dan beberapa cara yang dilakukan.
Macam dan Cara Anestesi
Anestesi (pembiusan) ada dua macam: (1) anestesi total, yang membuat pasien tidak sadarkan diri; dan (2) anestesi lokal, yang membuat mati rasa bagian tubuh yang akan diambil tindakan.
Anestesi bisa dilakukan dengan beberapa cara:
(1) Anestesi melalui jalur hidung, di mana orang yang sakit akan menghirup gas yang akan mempengaruhi syarafnya sehingga terjadilah anestesi.
(2) Anestesi kering atau akupuntur Cina. Yaitu, dengan memasukkan jarum kering ke pusat syaraf perasa yang ada di bawah kulit sehingga akan menghasilkan semacam kelenjar untuk melakukan sekresi terhadap morfin alami yang ada dalam tubuh. Dengan itu, si pasien akan kehilangan kemampuan untuk merasa. Secara umum anestesi semacam ini termasuk anestesi lokal dan tidak ada zat yang masuk ke dalam perut.
(3) Anestesi melalui suntikan.
– Anestesi ini bisa jadi berupa anestesi lokal melalui suntikan pada gusi, otot dan semacamnya.
– Anestesi ini bisa pula berupa anestesi total dengan cara injeksi melalui pembuluh darah dan beberapa saat langsung tidak sadarkan diri. Boleh jadi suntik yang diberikan terdapat zat makanan dan ada hukum tersendiri mengenai hal tersebut.
Pengaruh Anestesi terhadap Puasa
– Anestesi dengan cara pertama yaitu melalui hidung tidaklah membatalkan puasa. Karena gas yang dihirup melalui hidup tidaklah mempengaruhi puasa sama sekali, juga bukan merupakan zat makanan, sehingga jelaslah tidak membatalkan puasa.
– Anestesi akupuntur Cina juga tidak berpengaruh pada puasa. Karena tidak ada sesuatu yang masuk hingga ke perut. Begitu pula anestesi lokal lewat suntikan berlaku hukum yang sama.
– Sedangkan anestesi total dengan injeksi melalui pembuluh darah bisa jadi dengan memasukkan zat cair pada pembuluh darah. Atau bisa jadi menyebabkan hilangnya kesadaran. Yang kita tinjau saat ini adalah kondisi yang kedua yaitu hilangnya kesadaran karena pembiusan.
Para ulama berselisih pendapat mengenai batalnya puasa karena hilangnya kesadaran. Kita dapat meninjau bahwa hilangnya kesadaran itu ada dua macam:
Pertama: Hilangnya kesadaran pada seluruh siang. Yang dimaksud seluruh siang adalah tidak sadarkan diri selama waktu diwajibkannya puasa, yaitu mulai dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari.
Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menyatakan bahwa siapa yang pingsan pada seluruh siang, puasanya tidaklah sah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى ، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
“Setiap amalan anak Adam untuknya kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku nantinya yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151). Dalam riwayat lain disebutkan,
يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى ، الصِّيَامُ لِى ، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Dia meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena-Ku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku nantinya yang akan membalasnya. Satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal.” (HR. Muslim no. 1894). Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa puasa adalah menahan diri dari makan-minum dan syahwat. Sedangkan orang yang pingsan tidak melakukan demikian.
Ulama Hanafiyah dan Al Muzani dari kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa puasanya sah. Karena keadaan seperti itu semisal dengan orang yang tidur dan tidak membawa dampak apa-apa dan ia sudah berniat berpuasa.
Kesimpulan : Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat jumhur atau mayoritas ulama karena jelas terdapat perbedaan antara orang yang pingsan dan orang yang tidur. Orang yang tidur bisa terbangun ketika diingatkan, namun berbeda halnya dengan orang yang pingsan. Oleh karenanya jika ada yang dibius dan tidak sadarkan diri pada seluruh waktu saat diwajibkannya puasa, puasanya tidaklah sah dan wajib qodho’ (mengganti puasa di hari lain).
Kedua: Hilangnya kesadaran bukan pada seluruh siang (waktu saat diwajibkannya puasa). Artinya, bisa mendapati waktu untuk menjalani puasa pada hari tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa jika telah sadar sebelum waktu zawal (saat matahari tergelincir ke barat), maka harus memperbarui niat.
Imam Malik berpendapat bahwa puasanya tetap tidak sah.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa jika ia mendapati sebagian waktu siang (waktu diwajibkannya puasa), puasanya sah.
Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Jika seseorang mendapati sebagian dari waktu siang, puasanya sah. Karena tidak ada dalil yang menyatakan batalnya dan masih ada niat untuk imsak (menahan diri dari makan dan minum) pada sebagian siang. Sebagiamana juga pendapat Ibnu Taimiyah bahwa tidak disyaratkan imsak (menahan diri dari makan dan minum) pada seluruh siang (waktu saat diwajibkannya puasa). Cukup imsak itu ada pada sebagian siang, puasanya sudah sah. Seperti ini telah tercakup dalam hadits qudsi,
يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى
“Dia meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena-Ku.” (HR. Muslim no. 1894).
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa jika seseorang dibius dan tidak sadarkan diri bukan pada seluruh siang, maka pembiusan tadi tidaklah merusak puasa dan tidak menunjukkan batalnya puasa. Adapun jika pembiusan sampai membuat tidak sadarkan diri pada seluruh siang (waktu saat diwajibkannya puasa), maka puasanya batal. Wallahu a’lam.
Semoga pembahasan ini bisa menjawab beberapa permasalahan seputar pembiusan. Misalnya saja, ada yang ingin dikhitan ketika puasa dan terang saja butuh dengan bius saat itu. Karena pembiusan yang dilakukan bukanlah bius total, maka sebagaimana keterangan di atas tidaklah membatalkan puasa. Ini contoh sederhana yang bisa dipraktekkan.
5.Apa hukum suntik untuk tujuan pengobatan?
Suntik pada saat puasa barangkali sebagian orang membutuhkannya. Namun apakah semua jenis injeksi lewat suntik membatalkan puasa?
Intinya, suntik itu ada tiga macam:
1- Suntik pada kulit
2- Suntik pada otot
3- Suntik pada pembuluh darah
Dari tiga macam tersebut, kita dapat bagi menjadi dua:
1- Suntik pada kulit, otot dan pembuluh darah dengan injeksi non-makanan.
Untuk yang pertama ini, maka menurut para ulama kontemporer tidaklah membatalkan puasa, bahkan tidak terlihat khilaf (perbedaan pendapat) dalam hal ini. Di antara ulama yang memilih pendapat ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Syaikh Muhammad Bakhit, dan Syaikh Muhammad Syaltut.
Alasannya karena yang dimasukkan bukanlah makan dan minuman, juga tidak diartikan sebagai makan atau minum.
2- Suntik pada pembuluh darah dengan injeksi makanan.
Ada perselisihan para ulama dalam hal ini menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama: Membatalkan puasa. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.
Alasannya bahwasanya suntik semacam ini bermakna makan dan minum dan pasien yang mendapatkan suntikan tersebut sudah mencukupi dari makan dan minum.
Pendapat kedua: Tidak membatalkan puasa. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Muhammad Bakhit, Syaikh Muhammad Syaltut, dan Syaikh Sayyid Sabiq.
Alasannya bahwasanya suntik semacam ini tidak mempunyai pengaruh apa-apa sampai ke bagian dalam tubuh. Namun hal ini bisa disanggah dengan kita katakan bahwa alasan membatalkan itu bukan karena sesuatu yang masuk dalam tubuh saja lewat jalur yang biasa makanan disalurkan. Dihukumi sebagai pembatal karena dapat menguatkan badan dan ini dihasilkan dengan injeksi suntik yang mengandung makanan ini.
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama kontemporer yang menyatakan batalnya puasa dengan adanya injeksi suntik yang mengandung makanan.