Pada 1095 di Clermont-Prancis, Paus Urbanus II (Pope Urban) berkhutbah di hadapan rakyat Katolik Frank. Khutbah yang dicatat sebagai salah satu khutbah (pidato) yang paling berpengaruh dalam sejarah. Paus Urbanus II mampu menggetarkan dada kaum Kristiani, menggerakkan mereka mengangkat pedang, menyulut semangat untuk melawan orang-orang “kafir”. Membebaskan Tanah Suci Yerusalem. Pesan Paus Urbanus II sangat cepat tersebar dari mulut ke mulut umat Kristiani di Eropa. Awal mula Perang Salib (Crusade) pun dimulai.
Pada 1096 para penganut Kristiani dari Eropa bergerak menuju Yerusalem dengan kuda-kuda dan senjata mereka. Perjalanan bermil-mil yang melelahkan tapi tidak melunturkan semangat mereka membebaskan Tanah Suci dari orang-orang “kafir”.
Membebaskan Tanah Suci bagi mereka adalah perjuangan mulia. Apalagi Paus mengimingi surga bagi mereka yang turut berperang membebaskan Yerusalem. Ini adalah Perang Suci (The Holy War) di mata pasukan salib.
Dalam perjalanan ke Yerusalem, mereka membantai warga sipil muslim yang tidak berdosa. Pada 1099 atau setelah tiga tahun memulai perjalanan dari Eropa sampailah mereka di Yerusalem. Pasukan Salib yang dipimpin Godfrey mampu menerobos kota. Dalam tempo tiga hari saja, Pasukan Salib membantai sekitar 30 ribu penduduk Yerusalem. Hari-hari berikutnya korban mencapai 70 ribu jiwa. Tak peduli yang ditemui mereka laki-laki atau perempuan, muda, tua, atau anak kecil. Tak ada yang selamat dari pembantaian mengerikan.
Kesaksian mengerikan diberitakan sendiri oleh seorang prajurit Perang Salib bernama Fulcher. “Sungguh, seandainya Anda berada di situ, Anda akan menyaksikan tumit kaki-kaki kami basah dengan darah orang yang terbunuh. Tetapi, apalagi yang bisa saya ceritakan? Tak seorang pun dari mereka tersisa hidup-hidup; kaum wanita ataupun anak-anak tak ada yang disisakan.” (Fuller, 2014: 129)
Raymond dari Aguiles menceritakan dengan bangga pembantaian di Tanah Haram Yerusalem:
“….di Bait Allah dan Serambi Sulaiman, para pria berjalan dengan darah yang naik sampai ke lutut mereka dan tali kekang kuda.”
Raymond bahkan tidak menyesali sama sekali perbuatan sadis mereka serta menganggap itu adalah hukuman dari Tuhan bagi “orang-orang Kafir”: “Sungguh, ini adalah hukuman yang adil dan luar biasa dari Tuhan bahwa tempat ini sudah seharusnya dipenuhi dengan darah orang-orang kafir karena telah lama tempat ini telah lama menderita oleh sebab perilaku mereka yang menghujat Tuhan.” (Armstrong, 2009: 367)
Warga Suriah yang turut menjadi korban pembantaian Pasukan Salib mengungsi ke Baghdad. Di istana khalifah mereka melaporkan kekejian Pasukan Salib yang membuat mata tak kuasa menahan air mata.
Aksi pembantaian missal ini cukup mengejutkan, sebab Pasukan Salib penganut Katolik Roma berjalan ribuan mil hanya untuk memerangi orang-orang muslim -yang mereka sebut sebagai orang-orang kafir (heathen, unbeliever)-, untuk membebaskan Tanah Suci. Padahal selama ini umat Kristiani di Yerusalem, penganut Koptik di Mesir, ataupun orang-orang Ortodoks di Konstantinopel bisa leluasa menziarahi Kota Suci. Komunitas Yahudi aman di sana. Jadi sebenarnya Pasukan Salib dari Eropa sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kondisi umat Islam dan Tanah Suci. Mereka menumpahkan darah dan melakukan teror di dunia Islam hanya karena hoax yang disebarkan oleh pemuka agama mereka, Paus Urbanus II.
Khutbah Paus Urbanus II begitu hebatnya hingga mengubah Kristen yang konon agama yang penuh cinta kasih -hingga jika pipi kiri mereka dipukul, jangan membalas, tetapi serahkan pipi satunya lagi- berubah menjadi agama yang gemar menumpahkan darah orang-orang tak berdosa.
“Kamu telah mendengarkan firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” (Matius 5: 38-39)
Umat Islam Merebut Yerusalem
Setelah 90 tahun menguasai Yerusalem (Al-Quds), pihak Kristen akhirnya harus terusir dari sana setelah kekalahan telak yang mereka terima di Hitthin, 1187 M. Panglima Islam gagah berani, Shalahuddin putra Najmuddin Ayyub mengusir mereka dari Tanah Suci. Ia menurunkan salib yang ada di puncak Al-Aqsha, dan memerintahkan adzan dilantunkan di dalamnya. Untuk pertama kalinya setelah 87 tahun, shalat kembali ditunaikan di Masjid Al-Aqsha.
Kekalahan di Hitthin membuat Eropa bersatu untuk memerangi Shalahuddin. Tiga raja Eropa: Frederick Barbarossa (Jerman), Philip Augustus (Prancis), dan Richard The Lion Heart (Inggris) menyatukan kekuatan untuk merebut kembali Yerusalem. Perang Salib digemakan kembali di Eropa pada 1089.
Perang Salib III berakhir dengan perjanjian damai di Ramallah, Palestina. Berdasarkan perjanjian tersebut Yerusalem tetap berada di bawah naungan umat Islam. Akan tetapi, umat Kristiani dijamin keselamatannya jika ingin menziarahi Tanah Suci Yerusalem.
Kisah John dari Inggris
John, seorang bangsawan muda Inggris tergerak untuk menjadi prajurit Perang Salib. Saat itu, alumni Perang Salib disanjung-sanjung sebagai pahlawan. Pejuang Tuhan. Sejak kecil John sudah sering mendengar kisah-kisah heroik seputar Perang Salib. Apalagi kakeknya termasuk pejuang yang gugur di Perang Salib Jilid II (1147-1149).
Ia sering mendengar khutbah pendeta di kebaktian Minggu tentang keutamaan membunuh orang-orang “kafir”. Jika terbunuh dalam perang melawan orang-orang “kafir”, maka surga tempatnya. Pemuda 18 tahun itupun meninggalkan tanah kelahirannya dengan rasa bangga diiringi pujian dari para gadis-gadis kota London.
Dari Inggris John melakukan pelayaran ke Sisilia untuk bergabung dengan pasukan Salib Normandia. Dari Sisilia mereka berangkat ke Yerusalem. Sampailah ia dan pasukan di Yerusalem untuk menghadapi Shalahuddin dan pasukannya.
Namun, alangkah kagetnya John ketika mengetahui bahwa orang-orang “kafir” yang mereka perangi ternyata memiliki kesamaan keyakinan dengan dirinya. Shalahuddin dan pasukannya ternyata juga menganggap John dan orang Kristen lainnya sebagai orang-orang kafir. Dan ternyata mereka juga berperang atas nama Tuhan serta memiliki keyakinan bahwa barangsiapa mati dalam peperangan melawan Pasukan Salib, surga balasannya.
Rupanya, di masa itu umat Kristiani juga menyebut orang-orang Islam sebagai orang kafir karena tidak beriman kepada Yesus Kristus. Di masa itu, mereka tidak menyebut umat Islam sebagai “muslim” melainkan dengan sebutan Saracen atau Moor. Bahkan hingga mendekati abad 20 mereka masih menyebut Islam dengan sebutan Mohammedan, agama Muhammad.
Oleh: Ustadz Mahardy Purnama
***
Bahan bacaan:
- Abdullah Nashih ‘Ulwan, Shalahuddin Al Ayyubi Penakluk Jerusalem
- Graham E. Fuller, A World Without Islam (terj)
- Yuval Noah Harari, Homo Deus
- Karen Armstrong, Jerusalem: One City, Three Faiths (terj)
- Ahmad Rofi’ Usmani, Jejak-Jejak Islam