Nusantara Indonesia punya hubungan erat dengan negeri-negeri Arab dan Timur Tengah. Bukan saja karena sama-sama memiliki penduduk yang mayoritas beragama Islam, tapi sama-sama merasakan derita akibat penjajahan oleh negara-negara kafir Barat. Indonesia (dulu Hindia Belanda) berturut-turut dijajah Portugis, Inggris, dan Belanda. Sementara Mesir merdeka dari jajahan Inggris (1922), Lebanon dan Suriah merdeka dari jajahan Prancis (1946), Libya merdeka dari Italia (1951), Yaman dari Inggris (1967), Irak dari Inggris (1932), Qatar dan Bahrain dari Inggris (1971), dan lainnya.

Tanah Arab sebagai pusat keislaman sudah lama menjadi tempat para pelajar Nusantara untuk menimba ilmu agama. Telah banyak di antara pelajar tersebut yang kelak menjadi ulama besar bahkan menjadi pengajar di Mekkah. Selain Mekkah, Mesir juga menjadi tujuan para pelajar Nusantara pada permulaan Abad ke-20. Kemudian beberapa negara selainnya seperti Irak, Suriah, dan negara lainnya.

Tidaklah mengherankan ketika berita kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pertama kali tersebar di luar negeri, negara-negara Arablah yang pertama kali mengakui serta mengucapkan selamat. Tidak mudah untuk menyiarkan kemerdekaan Republik Indonesia ke luar negeri melalui radio sebab gelombang luar negeri disegel oleh pihak Jepang. Namun, atas usaha heroik Sakti Alamsyah, Sam Amir, dan Darya melalui pemancar Radio Malabar dunia akhirnya mengetahui Indonesia merdeka. Mahasiswa Indonesia yang pertama kali mendengarnya adalah Imron Rosyadi yang berada di Baghdad. Dari Baghdad kemudian berita kemerdekaan RI diteruskan ke mahasiswa di Mesir.

Liga Arab Akui Kemerdekaan RI

Setelah proklamasi pemuda-pemuda Indonesia di Timur Tengah membentuk Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia. Di Mesir berdiri pula panitia khusus yang diberi nama Mesir Panitia Pembela Indonesia, dipimpin oleh Jenderal Saleh Harb Pasya, eks Menteri Pertahanan yang pernah dipenjarakan Inggris selama Perang Dunia II.

Para Mahasiswa Indonesia di Mesir melakukan demonstrasi di kedutaan Belanda sebagai protes atas usaha Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Mereka membakar paspor-paspor mereka yang dikeluarkan oleh Belanda. Mereka hanya mengakui pemerintah RI sebagai pemerintah yang sah. Atas kejadian tersebut, pemerintah Mesir memanggail Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia melalui Departemen Luar Negeri Mesir.

Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa segala urusan menyangkut warga negara Indonesia di Mesir, pemerintah Mesir tidak akan berhubungan dengan kedutaan Belanda, tetapi dengan Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia. Keputusan tersebut diikuti oleh negara-negara Arab lainnya. Pada tanggal 28 November 1946 negara-negara Liga Arab mengeluarkan keputusan yang menyatakan pengakuan Liga Arab atas RI sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh.

Sekjen Liga Arab, Abdurrahman Azzam Pasya, ditugaskan untuk menyampaikan keputusan tersebut kepada pemerintah Republik Indonesia. Tapi hal tersebut tidak berjalan dengan  mulus sebab Belanda terus memblokir hubungan Indonesia dengan negara-negara luar. Inggris ikut membantu Belanda dengan tidak memberi visa kepada utusan Liga Arab untuk melewati daerah-daerah kekuasannya ke Ibu Kota Republik Indonesia, yaitu Yogyakarta. Akan tetapi Liga Arab tidak kehabisan akal. Melalui instruksi yang sangat rahasia, Sekjen Liga Arab, melalui persetujuan Departemen Luar Negeri Mesir, menugaskan Konsul Jenderal Mesir di Bombai bernama Muhammad Abdul Mun’im, untuk menyampaikan keputusan Liga Arab ke Yogyakarta dengan segera. Dengan menggunakan visa wisata Mohammad Abdul Mun’im terbang ke Yogyakarta dengan pesawat khusus menembus blokade Belanda. Waktu itu Jakarta dikuasai oleh Belanda, sehingga pusat pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta.

Utusan Liga Arab tersebut mendarat di Yogyakarta pada 13 Maret 1947. Kedatangan mereka sangat mengejutkan dan membuat haru pemerintah RI. Muhammad Abdul Mun’im diterima dengan baik oleh Presiden Soekarno dan wakilnya, Hatta serta disambut secara resmi. Peristiwa tersebut juga merupakan pertama kalinya perutusan resmi negara asing datang ke Indonesia setelah merdeka. Surat yang dibawa utusan Liga Arab tersebut berisi pengakuan kedaulatan RI juga kesediaan membantu RI yang baru lahir untuk mewujudkan keinginan-keinginannya.

Setelah pertemuan Abdul Mun’im dengan para petinggi negara RI, akhirnya pemerintah RI memutuskan mengirim delegasi diplomatik ke negara-negara Timur Tengah menyertai kepulangan utusanLiga Arab tersebut. Delegasi tersebut diketuai oleh Haji Agus Salim beranggotakan Mr. Nazir datuk Pamuncak, Abdul Kadir, dan Abdurrahman Baswedan. Bertindak sebagai sekretaris sekaligus bendara adalah HM. Rasjidi.

Pada tanggal 17 Maret Delegasi itu berangkat dengan pesawat yang ditumpangi tamu dari Liga Arab menuju Kairo, Mesir. Sempat singgah terlebih dahulu di New Delhi, delegasi RI sampai di Kairo pada bulan April 1947. Indonesia yang diwakili Haji Agus Salim selaku Menteri Muda Luar Negeri dan Mesir yang diwakili Menteri Mahmud Fahmi Nakrasyi Pasya menandatangani perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir. Dari Mesir, delegasi Indonesia melanjutkan perjalanan ke negara-negara Arab anggota Liga.

Hasil kunjungan itu adalah pengakuan de facto dan de juru berturut-turut oleh Lebanon (Juni 1947), Suriah dan Irak (Juli 1947), Afghanistan (September 1947), Yaman, dan Arab Saudi (November 1947). Hebatnya lagi, perjalanan delegasi Diplomatik RI ke negara-negara Arab itu diatur dan dibiayai oleh Liga Arab. Sementara negara-negara Arab telah mengakui de facto dan de jure Republik Indonesia, Belanda masih saja melancarkan agresi militer pada Juli 1947. Bahkan pihak Belanda baru mengakui kemerdekaan RI di hari kemerdekaan RI yang ke-60.

Berterima Kasih kepada Mesir

Sebagai penghargaan atas pengakuan negara-negara Arab terhadap kemerdekaan Indonesia, Mohammad Hatta sebagai wakil presiden RI mengungkapkan kepada majalah Akhir Sa’ah, “Kemenangan diplomatik Indonesia sesungguhnya berpangkal di Mesir dan Negara-negara Arab lainnya atas Republik Indonesia, sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh, segala jalan telah tertutup bagi Belanda untuk surut kembali atau memungkiri janji seperti selalu dilakukannya dahulu.” Hal itu diungkapkan Hatta ketika singgah di Kairo sepulangnya dari menghadiri Konferensi Meja Bundar di Denhaag, Belanda tahun 1949.

Bacaan:

MUI, Sejarah Ummat Islam

Ahmad al-Usairy Sejarah Islam

Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah II

 

Penulis: Mahardy Purnama

Artikulli paraprakSehat dan Bertumbuh dengan Membaca
Artikulli tjetërNgalap Berkah dari Dua Insan Keramat

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini