I’TIKAF DAN KEUTAMAAN LAILATUL QADR
I. Definisis I’tikaf
Secara bahasa
عكف – يعكف atau اعتكف – يعتكف – اعتكاف
Berarti berdiam diri di suatu tempat dan tetap dalam kedaan demikian
Secara istilah
Adalah berdiam diri di masjid dalam rangka ibadah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala oleh orang tertentu, dengan sifat tertentu, dan pada waktu tertentu
II. Dailil- dalil disyariatkannya i’tikaf
Al-Qur’an
Janganlah kamu mencamupuri mereka itu (isrtri kamu), sedang kamu sedang beri’tikaf di masjid (Q.S [02]: 187)
Dan telah kami peruntahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (Q.S [02]: 125)
Sunnah/ Hadits
Dari Abu Said Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu: bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh awal bulan ramadha kemudian, di sepuluh pertengahan ramadhan, kemudian beliau bersabda: “ sesungguhnya saya telah beri’tikaf di sepuluh awal ramadhan untuk mencari Lailatul Qadr, kemudian beri’tikaf di sepuluh malam pertengahan, kemudian saya didatangi (malaikat) lalu dikatakan kepadaku: sesungguhnya Lailatul Qadr itu di sepuluh malam terakhir (bulan ramadhan), karenanya siapa yang mau beri’tikaf hendaknya dia beri’tikaf. Maka beri’tikaflah para shahabt berserta beliau….” (HR. Bukhari dan Muslim dan ini lafazh milik Imam Muslim)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beri’tikaf sepuluh malam terakhir bulan ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sesudah beliau (wafat)”. HR Bukhari dan Muslim)
Ijma’
Para ulam sepakat akan anjuran beri’tikaf sebagaimana disebutkan oleh imam Ibnu Mundzir dan dinukul oleh imam Ibnu Qudamah rahimahumallah
III. Hukum i’tikaf
Sepakat para ulama hukum asal i’tikaf adalah sunnah, bahkan imam Ibnu ‘Arabiy Al-malkiy dan Ibnu Baththal rahimahumallah memasukkannya kedalam sunnah mu’akkadah karena Nabi tidak pernah meninggalkannya
Dan bisa berubah menjadi wajib jika seseorang bernadzar untuk melakukannya, sebagaimana Aisyah radhiyallahu ‘nha meriwayatkan:
“Barang siapa yang bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah maka hendaklah dia melakukannya”. (HR. Bukhari)
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan nadzar beliau kepada Nabi, lalu Nabi bersabda: “Tunaikan nadzarmu” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hukum ini berlaku untuk Muslim maupun Muslimah
Diceritakan oleh Shafiyyah radhiyallahu ‘anha (salah satu istri Nabi): “Adalah nabi beri’tikaf di sepuluh malam terakhir ramadhan, maka saya datang untuk meziyarahi beliau dan di sisinya terdapat istri=istri beliau (sedang beri’tikaf)”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun untuk wanita syaratnya ijin suami atau wali dan aman dari fitnah, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah
IV. Faidah dan hikmah i’tikaf
Allah Ta’ala menyebukan dalil disyariatkannya i’tikaf dengan shaum (puasa), hal ini menunjukan adanya kaitan erat antara i’tikaf dan shaum
Kalau shaum mencegah seorang dari makan dan minum serta hunbungan suami istri di siang hari, maka i’tikaf lebih dari itu, karena orang yang berpuasa jika berbuka pada waktu malam maka halal baginya segala yang boleh termasuk berhubungan badan suami istri. Adapun orang yang beri’tikaf maka tidak demikian, untuk makan minum boleh namun hubungan badan suami sitri tetap dilarang
Hikmah i’tikaf dan kebtuhan manusiaterhadapnya, berkata Imam Ibnu Qayyim rahimahullah: “Baiknya hati dan keistiqamahannya terhadap perjalanan kepada Allahterngantung konsentrasi kepada Allah Ta’ala dengan mrnghadap kepada Allah…. Maka Allah mensyari’atkan i’tikaf yang maksud dan intinya adalah tetapnya hati ini berhubungan dengan Allah….”
Ibnu Rajab Al-Hambaliy rahimahullah berkata: “Makna dan hakikat i’tikaf adalh pemutusan hubungan dari makhluk-makhluk untuk berhubungan dengan Allah Ta’ala semata, dan semakin kuat ma’rifat (mengenal) seseorang kepada Allah, dan kecintaan serta kesukaan kepada Allah….”
Hal lain yang menunjukkan keutamaan i’tkaf adalah; merupakan perantaraan yang dijadikan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk mendapatkan Lailatul Qadr sebagaimana hadist Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘nahu tadi.
V. Waktunya
Waktunya kapan saja boleh, namun diutamakan di bulan ramadhan, karena itulah yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan lebih utama lagi dilakukan di sepuluh malam terakhir ramadhan untuk mendapatkan malam Lailatul Qadr. Sebagaaimana hadist Abu Said di atas
I’tikaf wajib dikerjakan sesuai jumlah hari yang dinadzarkan sedankan i’tikaf sunnah maka tidak ada jumlah maksimalnya sebagaimana yang telah disepakati keempat ulama madzhab
Namun diperselisihkan adalah jumlah minimal waktunya. Jumhur (mayoritas) ulama ada satu hari satu malam dengan dalil nadzarnya Umar untuk i’tikaf sehari di Masjid Haram, lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkannya untuk melaksanakan nadzarnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Telah ikhtilaf (berbeda pendapat) Jumhur (mayoritas) ulama tentang kapa awal masuknya seseorang ke dalam masjid jika berniat i’tikaf. Jumhur ulama berpendapat, memasuki masjid sebelum terbenamnya matahari pada malam sepuluh terakhir yakni malam ke-21, pendapat yang mengatakan sesudah shalat subuh berdasarkan hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Adalah Nabi shallallahu alaihi wasallam jika hendak beri’tikaf , shalat subuh kemudian memasuki tempat i’tikaf” (HR. Baukhari dan Muslim)
Dari dua pendapat ini yang paling dekat adalah pendapat kedua namun pendapat pertama lebih berhati-hati
VI. Syarat-syarat i’tikaf
Muslim
Mumayyiz (sudah balig)
Berakal
Suci dari janabah
Satu sampai empat merupakan syarat umum ibadah
Shaum (puasa), terdapat dua pendapat
Pertama: mensyaratkan puasa karena pensyariatannya bersamaan dengan puasa. (Imam Abu Hanifah, Malik, dan Al-Auza’i rahimahumullah)
Kedua: tanpa puasa, bahwa puasa bukan syarat I’tikaf, dalilnya adalah nadzarnya Umar beri’tika di masjil Haram. (Imam Syafi’i rahimahullah, beliau sandarkan pada Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma). Imam Nawawi rahimahullah berkata: “yang afdhal i’tikaf itu dengan berpuasa dan jika dia tidak berpuasa juga boleh”.
VII. Rukunu-rukun i’tikaf
Niat, karena tidak sah suatu amalan tanpa niat (HR Bukhari dan Muslim)
Tempatnya harus di masjid (QS. [02]: 187)
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan: “seandainya i’tikaf itu sah dikerjakan di selain masjid, tentu tidak dikhususkan pengharaman bercampur (hubungan badan suami istri) di masid saja, karena jima’ (persetubuhan) itu membatalkan i’tikaf secara ijma’ (kesepakatan ulama). Maka diketahui dari penyebutan masjid di sini maksudnya adalah i’tikaf tidak terlaksana kecuali di masjid-masjid
VIII. Masjid yang dipakai untuk i’tikaf
Masjid mana saja walau tidak dilaksanakan shalat berjama’ah (Imam Malik, Sayifi’i, Bukhari, baghawi,dll) Dalilnya (QS. [02]: 187)
Masjid jami’ (raya) (Imam Az-Zuhri dan Hammad) dalilnya (HR Abu Daud) “tidak ada i’tikaf kecuali di masjid jami’ (raya yang dilaksanakan shalat jum’at)”
Masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah (Imam Abu Hanifa, Ahmad, Hasan Al-Bashri, dan Urwah bin Zubair) dalilnya (HR Daruqutni dari Aisyah radhiyallahu ‘anha) “tiadak ada i’tikaf kecuali di masjid yang terlaksanakan shalat berjama’ah” ini yang petengahan dan paling dekat dengan kebenaran karena shalat berjama’ah wajib bagi laki-laki
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi (Atha bin Abi Rabah)
Masjid Nabawi saja (Sa’ad bin Musayyib)
Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha (Shabat Hudzaifah bin Yaman)
Para ulama sepakat yang mendekati kebenaran adalah pendapat kedua dan ketiga, karena selama beri’tikaf ada hari jum’ta maka lebih utama jika dilaksanakan di masjid jami’ (raya yang dilaksanakan shalat jum’at)
IX. Adab-adab i’tikaf
Ada beberapa adap i’tikaf yang hendaknya seseorang yang beri’tikaf memperhatikan dan berusaha melaksanakannya sesuai kesanggupannya baik siang maupun malam, yakni dengan memperbanyak ibadah-ibadah sunnah seperti:
Shalat
Membaca Al-Qur’an
Berdzikir
Mebaca shalawat kepada Nabi
Berdo’
Temasuk menuntut ilmu, membaca atau menela’ah buku hadist, tafsir, riwayat hidup para Nabi dan orang-orang shalih, mengahidir pengajian atau majlis ta’lim
Membuat bilik
Meniggalkan perdebatan, mengumpat, menggunjing, dll
X. Hal-hal yang membatalkan i’tikaf
Jima’ (bersetubuh/ bersenggama) (QS. [02]: 187)
Murtad (QS. [39]: 65)
Hilang akal
Haidh dan nifas
Keluar masjid tanpa hajat yang dibolehkan walaupun sebentar
XI. Hal-hal yang dibolehkan sewaktu i’tikaf
Keluar masjid untuk keperluan yang tidak bisa dielakkan (buang hajat, Keluar dalam urusan ketaatan, namun tidak wajib: (mengunjungi orang sakit dll)
Menisir rambut dan merapikannya
Membawa kasur dan perlengkapan lainnya ke masjid
Menerima tamu dan mengantarkannya ke pintu masjid
XII. Beberapa masalah yang berkaitan dengan i’tikaf
Siapa yang telah berniat i’tikaf lalu membatalkannya maka wajib baginya mengqadha (menganti) di lain hari baik sunnah maupun wajib
Siapa yang berniat untuk bri’tikaf di dalah satu dari tiga masjid (Masjil Haram, Masjid Nabawi, Masjidi Aqsha) maka wajib atasnya untu menuanaikannya, jika nadzanya selain dari tiga masjid di atas makan tidak wajib atasnya i’tikaf di masjid tersebut, bahkan dibolehkan beri’tikaf di masjid mana saja
Boleh bagi wanita istihadhah untuk beri’tikaf
Siapa yang bercampur dengan istrinya maka batal i’tikafnya dan dia haru memulainya kembali namun tidak wajib baginya kaffarat (tebusan/ denda)
XIII. Lailatul Qadr
Makan laitaul qadr: KEMULIAAN dan KEAGUNGAN, artinya Allah memuliakan malam tersebut dalam satu tahun dengan mencurahkan berbagai hikmah dan kebaikan.
Firman Allah:
“Lailatul qadr lebih baik dari seribu bulan” artinya malam kemualian dan keutamaan, padanya disediakan banyak pahala sehinga barang siapa yang menghidupkannya karena keimanan dan mengharap ridha dan pahala Allah. Maka Allah akan mengampuni dosa-sdosanya yang telah lalu
“turun para malaikat dan ruh (jibril) di malam tersebut” para malaikat adalah hamba-hamab Allah yang paling mulia mereka beribadah siang dan malam tak pernah bosan (QS. [21]: 19-20), adapun penyebutan ruh (malaikat Jibril) secara khusus menunjukkan kemuliannya atas malaikat-malaikat lainnya. Mereka mendokan keselamatan bagi kaum mukminim dari rasa takut, dan pembebasan mereka dari siksa neraka hingga terbit fajar
Keutamaan surat al Qadr
Sesungguhnya Allah telah menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatl Qadr, denganya sebagai petunjuk bagi manusia serta pembawa kebahagian bagi kehidupa mereka di dunia mapun akhirat
Pertanya Allah akan “apa itu lailatul qadr” menunjukkan keagungunga dan kemulian lailatul qadr
Bahwa (ibadah) lailatul qadr lebih baik dari pada (ibadah) selam seribu bulan
Lailatul qadr mendatangkan keselatan dari rasa takut, siksa neraka ditandai dengan melakukan amalan ketaatan kepada Allah
Bahwa Allah Ta’ala menurunkan satu surat sempurna tentan lailatul qadr yang selalu dibaca hingga tiba hari kiamat. Lalilatul qadr terdapt di bulan ramadhan khususnya di sepuluh malam terakhir
Olehnya nabi menganjurkan kita untuk “bersungguh-sungguhlah meraih lailatul qadr di sepulum malam terakhir ramadhan” (HR Bukhari dan Muslim)
من فام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Barang siapa yang menghidupkan malam lailatul qadr karena keimanan dan mengaharap (pahala dan ridha) Allah, maka diampunkan baginya dosa-dosa yang telah lampau” (HR Bukhari dan Muslim
Oleh: Abu Abbas Qasim Ata
Disarikan dari
Majaalis syahri ramadhan- Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Ustaimin rahimahullahu
Duruus ramadhaaniyah- Yayasan Al-Haramain
Risalah ramadhan II- Ust. Muhammad Yusran Anshar, Lc, MA
thoyyib akhi…. jazakallahu khoiron…..