Peran umat Islam utamanya para ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan sangatlah besar. Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII&XVIII, (2005), Azyumardi Azra mengungkap sejumlah contoh perjuangan para ulama dalam melawan penjajah. Contohnya Syekh Yusuf al-Maqassari (1627-1629 M). Ulama terkenal ini bukan hanya mengajar dan menulis kitab-kitab keagamaan, tetapi juga memimpin pasukan melawan penjajah. Tahun 1683, setelah tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf Maqassari memimpin sekitar 4.000 pasukan di hampir seluruh wilayah Jawa Barat, dan melakukan perlawanan kepada pasukan Belanda.
Bahkan, setelah kemerdekaan diraih, para ulama tetap mengawal kemerdekaan Indonesia. Itu ditunjukkan oleh kepahlawanan KH Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihadnya, pada 14 September 1945. Isi Resolusi Jihad tersebut berbunyi: (1) Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan, (2) Umat Islam, terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia, (3) Kewajiban tersebut adalah “jihad” yang menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam (fardhu ain) yang berada dalam jarak radius 94 km (yakni jarak dimana umat Islam boleh melakukan shalat jama’ dan qasar). Adapun bagi mereka yang berada di luar jarak tersebut, wajib membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 94 km tersebut.
Dampak dari Resolusi Jihad itu sungguh luar biasa. Puluhan ribu Kyai dan santri berperang melawan tentara sekutu, yang baru saja memenangkan perang Dunia kedua. Lima belas ribu tentara sekutu dengan persenjataan serba canggih tak mampu menghadapi pasukan perlawanan pasukan Kyai dan santri. Bahkan, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas di tangan laskar santri. (Lihat, el-Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i, 2010).
Merenungkan sejarah perjuangan para ulama dalam memperjuangkan dan membela kemerdekaan Indonesia adalah upaya untuk membangkitkan kesadaran bagi generasi bangsa sekarang akan beratnya perjuangan dalam meraih kemerdekaan dan keutuhan NKRI.
Baca Juga: Pandangan Kebangsaan Wahdah Islamiyah dan Komitmen Terhadap NKRI (Bag 1)
Sehingga, menjaga keutuhan NKRI adalah tugas dan tanggungjawab bagi setiap anak bangsa utamanya seorang muslim. Komitmen tersebut terwujudkan dalam cinta
tanah air, menjaga dan membina persatuan, mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan serta siap berkorban untuk bangsa dan Negara.
Ormas Islam sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tentu memiliki peran dan amanah yang besar untuk berkontibusi dalam menjaga keutuhan NKRI. Sebab itu, Prof Mahfud mengatakan bahwa ormas Islam adalah aset nasional yang patut dijaga keberadaanya dan diharapkan dapat menjaga keutuhan NKRI.
“Ormas Islam (Wahdah Islamiyah) adalah aset nasional yang bisa memperkuat NKRI sebagaimana ormas-ormas yang lain. Indonesia sebenarnya sudah berakar dilubuk hati bangsa Indonesia dari berbagai suku dan bangsa. Negeri indah Indonesia, menanti hadirmu dan rindukan karya mu. Dan itu Wahdah Islamiyah,” tutur Prof Mahfud saat memberikan sambutan dalam kegiatan Dialog Kebangsaan yang diadakan di Gedung Aula Putri STIBA Makassar, Jum’at (19/8/2022).
Menurut Prof Mahfud bahwa Islam dan konstitusi adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipertengtangkan. Karena Negara merdeka atas spirit agama, dan konstitusi kita juga dibangun diatas nilai-nilai agama. Sehingga Negara senantiasa sejalan dengan agama dan tidak ada pertentangan di dalamnya.
“Agama dan taqwa itu tidak boleh dipertentangkan dengan konstitusi, di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang punya konstitusi UUD 1945. Ketakwaan itu dilindungi bahkan di dorong, ketakwaan itu dijadikan spirit bagi penyelenggaraan Negara. Begitupun dalam pendidikan kita, dijelaskan bahwa tujuan pendidikan yakni untuk iman, takwa dan akhlak mulia. Negara ini melindungi setiap warga negara dalam berbagai kegiatan keagamaan. Semua agama di lindungi, tidak boleh satu agama mendeskreditkan agama yang lain,” tegasnya.
Baca Juga: Pandangan Kebangsaan Wahdah Islamiyah dan Komitmen Terhadap NKRI (Bag 3)
Direktur STIBA Makassar, Ustaz Dr. Ahmad Hanafi juga menyayangkan adanya arus untuk mendegradasi nilai kebangsaan dalam semangat kebangsaan dan keberagaman. Hal ini berpotensi mereduksi nilai keberagaman dalam semangat kebangsaan yang merupakan sebuah pondasi kehidupan bangsa. Menurutnya, bahwa keberagamaan di Indonesia itu merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dengan Negara, bahkan justru menyatu dalam konstitusi.
“Narasi kebangsaan dan keberagamaan khusunya Islam sejatinya adalah sebuah kebersamaan yang tidak bisa dipisahkan. Lahirnya bangsa Indonesia ini mengajarkan pada dunia betapa nilai ketuhanan dan keimanan itu bertahta pada sila pertama pancasila yang merupakan kesepakatan anak bangsa untuk membentuk dan membangun bangsa dan Negara,” pungkasnya.
Membangun semangat kebangsaan dan keberagaman, yang bukan hanya menjadi pilar tapi sekaligus menjadi pondasi bagi kehidupan kita sebagai bangsa . Tentu tak
pernah lepas dari berbagai peran salah satunya ulama dan pemerintah. Dua kompenen tersebut memiliki peran dan tugas untuk mewujudkan NKRI yang jaya dan harmoni.
“Tentu saja peran ulama sangat signifikan sebagai mitra pemerintah yang dalam ajaran Islam kedua kelompok tersebut sebagai pilar utama untuk kebaikan, ketentraman, kesejahteraan serta kemakmuran suatu masyarakat, bangsa dan negara. Dengan Taqwa dan Komitmen pada Konstitusi dalam perundang undangan dan hukum yang berlaku Kita Wujudkan NKRI Jaya dan Harmoni,” tegas Direktur STIBA Makassar tersebut.
Bersambung…