Pendahuluan
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya yaitu “Pola Praktis Pengembangan Cabang” yang membahas tahapan-tahapan sederhana sebuah cabang dakwah.
Sebagaimana telah disebutkan diawal, tulisan ini memiliki 4(empat) kerangka pokok pembahasan, yaitu: (1) tahapan-tahapan praktis, (2) obyek dan sasaran dakwah, (3) pemanfaatan potensi lain, dan (4) pola hubungan dengan pihak-pihak lain. Obyek dakwah yang dimaksud adalah obyek dakwah potensial. Akan tetapi sebelum membahas obyek tersebut satu per satu, kita perlu memiliki gambaran awal tentang kondisi sosial sebuah masyarakat sehingga kita dapat memetakan penggunaan dari obyek dakwah potensial tersebut dengan tepat. Selamat membaca!
Memahami Iklim Sosial
Sebuah masyarakat memiliki beragam sisi dan kecenderungan yang sangat tergantung dari kultur masyarakat tersebut. Kami menyadari bahwa kajian tentang sebuah masyarakat, tidak bisa ditinjau hanya dari satu aspek saja, misalnya politik, antropologi, ataupun ekonomi, dan sebagainya.
Cara yang paling praktis tentu saja menggunakan rumusan-rumusan para ahli yang telah mengalami penyederhanaan (simplifikasi) sehingga dapat menjadi alat analisis. Analisis sendiri terbagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu analisis sosial akademis/teoritis dan analisis sosial praktis/aplikatif. Karena kepentingan kita adalah bagaimana kita mampu “membaca kondisi” secara instan, maka kita pada kesempatan ini cukup menggunakan model kedua.
Dalam perspektif sosial politik, sebuah masyarakat dipandang sebagai sebuah struktur dengan hirarki tertentu. Ada yang berperan sebagai penguasa yang mungkin diwakili oleh bupati atau walikota, ada pengikut yang diwakili oleh warga kebanyakan, dan terkadang pula ada kelompok independen (baca: oposan) yang mungkin diwakili sebuah kelompok adat atau agama atau kelompok cendekiawan. Berdasarkan perspektif ini, maka arus utama (mainstream) masyarakat akan ditentukan oleh penguasa, tergantung seberapa kuat penguasa tersebut. Penguasalah yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh bagi warganya. Penguasalah yang mengatur melalui berbagai macam peraturan dan regulasi, apa yang harus dilakukan dan apa yang disebut melanggar.
Nah, jika kemudian dakwah muncul sebagai aktor sosial, maka perannya dalam perspektif ini hanya dua, yaitu: pengikut atau oposan. Dakwah akan menjadi pengikut jika mengikuti penguasa dan tidak memiliki kekuatan apa-apa, sebaliknya dakwah akan menjadi oposan jika mengkritisi kesalahan penguasa dan telah memiliki pengaruh atau kekuatan. Jika para aktivis dakwah memakai kacamata (perspektif) ini, maka yang akan terjadi hanya memiliki dua kemungkinan, yaitu dakwah merupakan alat legitimasi (kasarnya: tukang stempel) penguasa, atau akan menjadi duri bagi penguasa. Mungkin saja ada yang berpikir bahwa dakwah dapat saja menjadi partner penguasa dan tetap dapat kritis terhadap berbagai penyimpangan. Akan tetapi adakah kenyataan sejarah seperti itu? Sayang sekali, kita sulit mendapatkannya.
Selanjutnya, dari perspektif sosial ekonomi, sebuah masyarakat dipandang sebagai sebuah sistem yang dikendalikan oleh kepemilikan modal. Ada pemilik modal yang disebut pengusaha, ada masyarakat yang tidak memiliki modal atau miskin. Modal dipandang sebagai alat yang dapat mengumpulkan berbagai kekuatan, bahkan hingga dapat membeli struktur kekuasaan. Disekeliling orang-orang kaya biasanya berkumpul penguasa, tukang pukul bayaran sebagai alat keamanan, bahkan tokoh-tokoh adat ataupun tokoh agama yang diberi tunjangan. Jika orang-orang kaya ini berkumpul dan membentuk sistem, maka lahirlah yang disebut borjuasi. Mereka akhirnya dapat menentukan arus utama (mainstream masyarakat) Cara berpikir inilah yang dimiliki oleh orang terkaya Yahudi selama 3 abad, Rotschild, yang mengatakan, “Biarkan mereka yang berkuasa, akan tetapi kamilah yang akan mengatur mereka”.
Dalam iklim sosial seperti itu, maka biasanya sebuah masyarakat akan mengalami ketimpangan antara orang kaya (pemilik modal) dan orang miskin (pemimpi modal). Ciri masyarakat seperti itu sangat mudah ditemui. Cobalah anda jalan-jalan ke sebuah kabupatan atau kota yang memiliki penduduk yang rata-rata miskin, maka tidak jauh dari tempat tersebut, anda akan menemui beberapa rumah mewah. Rumah mewah tersebut adalah lambang pemilik modal. (Untuk bacaan lebih lanjut, silahkan lihat tulisan Dr. Subhi Nabil Ath-Thawil, dalam bukunya “Kemiskinan di Negara-negara Muslim”).
Jika kita memakai perspektif ini, yang ada dalam pikiran kita adalah bagaimana menjembatani ketimpangan dengan adanya distribusi kekayaan kepada orang-orang miskin. Dari kasus ini, lahirlah orang-orang Marxis yang memandang bahwa kepemilikan orang-orang kaya tersebut harus dirampas dan negara harus menjamin pemerataan terhadap rakyat. Caranya? Munculkan revolusi antara orang miskin dan orang kaya.
Adapun orang-orang kaya (kapitalis) melalui LSM-LSM, memandang bahwa orang-orang miskin tersebut hanya butuh ventilasi untuk mencegah mereka meledak. Caranya? Bikin kegiatan pembagian sembako, pembuatan sarana air bersih, sunnatan massal, dan sebagainya.
Penutup Sementara
Dari ketiga perspektif diatas, semuanya sepakat bahwa kekuatan-kekuatan ini juga mempengaruhi sistem-sistem lain seperti sistem budaya maupun sistem religi/kepercayaan, misalnya. Pada sistem budaya, kekuatan ini mendominasi wacana dan sistem tanda (semiotika) dalam sebuah masyarakat. Maka lahirlah jargon-jargon, istilah-istilah, dan apa yang diistilahkan Noam Chomsky sebagai newspeak yaitu ungkapan-ungkapan yang dimanipulasi oleh pemegang kekuatan sehingga melahirkan makna baru yang bergeser dari makna tradisionalnya. Misalnya dulu dikenal istilah penyesuaian harga untuk menggantikan istilah kenaikan harga, gelar bapak pembangunan, maupun istilah teroris, fundamentalis, dan sebagainya.
Sementara itu dalam sistem religi/ kepercayaan, pemegang kekuatan mendominasi dengan menampilkan diri mereka sebagai sosok pemersatu, agamis, dan sah untuk berbicara menyangkut agama. Selain itu juga terjadi simbolisasi dan pelembagaan elemen-elemen keagamaan. Disatu sisi simbolisasi dan pelembagaan ini positif, namun mengingat dominasi pemegang kekuatan, maka simbol-simbol agama dan lembaga-lembaga agamapun menjadi terdistorsi. Wallahu a’lam. (isra 2006)