MUSLIMAH DI BULAN RAMADHAN (Bagian Terakhir)
Oleh Ummu Hafsah, Lc. (Dosen STIBA Makassar)
Telah disebutkan dalam pembahasan yang lalu tentang bolehnya orang sakit dan musafir untuk berbuka, begitu pula wanita haid dan nifas, serta apa yang wajib untuk mereka lakukan setelah Ramadhan. Pada pembahasan ini akan dilanjutkan tentang wanita yang dibolehkan tidak berpuasa dan apa yang wajib untuk mereka, serta beberapa hal tentang muslimah di bulan penuh berkah ini.
Selain wanita haid dan nifas, sakit dan musafir, yang boleh tidak berpuasa adalah :
Ketiga : Wanita tua renta
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (QS al-Baqarah : 184)
Jumhur sahabat menganggap ayat ini mansukh (dihapus hukumnya), namun diriwayatkan dari Atha’ bahwa beliau mendengar Ibnu Abbas membaca ayat ini lalu Ibnu Abbas berkata : “Dia tidak mansukh, dia adalah laki-laki dan wanita tua yang tidak sanggup berpuasa, maka keduanya memberi makan kepada orang miskin sebagai pengganti tiap hari” (HR. al-Bukhari, tapi Ibnu Abbas membaca “wa ‘alal ladzina yuthawwaquna”)
Maka wanita tua renta yang tidak sanggup lagi berpuasa, wajib atasnya membayar fidyah yaitu memberi makan untuk tiap hari (yang ditinggalkan) satu orang miskin. Ia bisa memberikan makanan itu kepada beberapa orang miskin ½ sha’ dari makanan pokok atau sekitar 1,5 Kg beras. Ia juga boleh membuat makanan lalu mengundang orang-orang miskin sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sahabat yang mulia Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Keempat : Wanita hamil dan menyusui
Wanita hamil dan menyusui termasuk golongan yang diberi rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa jika puasa dapat membawa mudharat baginya ataupun bagi anaknya. Hanya saja ulama berbeda pendapat apakah keduanya wajib qadha atau wajib fidyah, bahkan ada yang berpendapat bahwa jika khawatir terhadap diri dan anaknya maka wajib qadha’ dan fidyah.
Di antara ulama yang berpendapat wajib qadha’ adalah Imam al-Auza’i, al-Tsaury, Abu Hanifah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid, Syekh Ibnu Baz – rahimahumullah -. Hal ini karena wanita hamil dan menyusui diqiyaskan kepada orang sakit yang diharapkan kesembuhannya.
Sedangkan yang berpendapat wajib fidyah di antaranya Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ishaq dan dipilih oleh Syekh al-Albani karena wanita hamil dan menyusui dikategorikan orang yang berat menjalankan puasa.
Meraih keutamaan Lailatul Qadr
Lailatul qadr memiliki banyak keutamaan sebagaimana yang Allah sebutkan dalam surah al-Qadr. Karenanya menghidupkan malam tersebut adalah sebuah keniscayaan bagi muslimah yang menginginkan pahala yang besar dan pengampunan dosa. Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah qudwah bagi muslimah dalam semangat meraih keutamaannya. Beliau pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda jika saya mengetahui malam itu lailatul qadr, apa yang aku katakan?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :
قُوْلِيْ : اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ
“Katakanlah : “allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, menyukai pemaafan maka maafkanlah aku)” (HSR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Muslimah dan I’tikaf
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ اْلْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ تَعَالَى، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ“ (أخرجه البخاري ومسلم)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam i’tikaf di 10 hari terakhir sampai Allah Ta’ala mewafatkannya, kemudian istri-istri beliau i’tikaf sepeninggalnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun harus dipersyaratkan bagi muslimah yang akan melakukan i’tikaf izin suaminya, aman dari fitnah dan tidak mengabaikan hal yang lebih wajib baginya seperti mengurus anak-anaknya.
Ketika Ramadhan berlalu
Berakhirnya Ramadhan tidak berarti berakhir pula kesempatan beramal. Ketika matahari terbenam di hari terakhir Ramadhan sampai sebelum shalat ‘id, muslimah atau orang yang menafkahinya diperintahkan untuk mengeluarkan zakat fithr sebanyak 1 sha’ dari makanan pokok. Muslimah dianjurkan menghadiri shalat ‘id di pagi hari, bahkan yang haid, nifas atau sedang dipingit sekalipun sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha. Juga dianjurkan untuk meraih keutamaan puasa di bulan Syawwal.
عَنْ أَبِيْ أَيُّوْبِ –رضي الله عنه – أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ. (رواه مسلم)
Dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, lalu mengikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal maka itu sepadan dengan puasa setahun” (HR Muslim)
Namun terkadang muslimah bingung dalam memilih antara mendahulukan qadha’ ataukah puasa Syawwal. Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Imam Abu Hanifah membolehkan puasa Syawwal sebelum qadha’, ulama al-Malikiyah memakruhkannya, asy-Syafi’iyyah berpendapat mendahulukan qadha’ mustahab, adapun Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan tidak boleh puasa sunnah sebelum qadha’, dan ini adalah pendapat Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin, Syekh Shalih al-Fauzan. Syaikh al-’Utsaimin dalam Syarh Riyadh al-Shalihin berkata : “Hendaknya diketahui bahwa puasa (6 hari dari bulan Syawal, pent) tidak dilakukan sebelum qadha, yakni : Jika seseorang memiliki kewajiban satu hari dari bulan Ramadhan, lalu puasa 6 hari, maka ia tidak mendapatkan pahala tersebut, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan” , dan siapa yang memiliki kewajiban satu hari dari bulan Ramadhan ia belum berpuasa sebulan, tetapi berpuasa beberapa hari…”
Walaupun qadha’ Ramadhan termasuk wajib muwassa’ (waktunya luas), tidak diragukan lagi bahwa menyegerakan qadha’ lebih baik karena lebih cepat membebaskan diri dari kewajiban. Karenanya tidak boleh menunda-nunda qadha’ sampai datang Ramadhan berikutnya tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat, sebagaimana yang kadang didapati pada sebagian wanita, semoga Allah memberikan kepada kami dan kepadanya taufiq. Adapun riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengatakan bahwa beliau pernah memiliki utang puasa dan tidak sempat diqadha’ kecuali di bulan Sya’ban, itu disebabkan oleh kesibukannya melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti yang beliau jelaskan sendiri. Wallahu a’lam.[]