MUSLIMAH DI BULAN RAMADHAN
(Bagian Pertama)
Oleh: Ummu Hafsah
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar
Allah ‘Azza wa Jalla telah mengistimewakan bulan Ramadhan dibandingkan bulan yang lain. Dia adalah bulan penuh berkah, di dalamnya diwajibkan puasa yang pahalanya tidak terbatas. Di antara malamnya ada lailatul qadr yang lebih baik dari seribu bulan. Seyogyanya bagi muslimah tidak mengabaikan musim ketaatan ini. Hendaknya ia termasuk orang-orang yang berlomba-lomba mengharapkan ampunan Allah di bulan maghfirah ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salaf adalah qudwah terbaik bagi kita dalam semangat beribadah. Maka bersungguh-sungguhlah – wahai saudariku muslimah – dalam menyambut ramadhan yang hanya sekali dalam setahun, dan belum tentu terulang bagi kita di tahun berikutnya. Allaahumma ballighnaa ramadhaan
Di antara persiapan yang penting bagi seorang muslimah adalah mengetahui hukum yang berkaitan dengan mukallaf di bulan ramadhan. Dan dalam kesempatan ini akan dibahas beberapa hal yang perlu diketahui oleh muslimah di bulan ini.
Amalan-amalan dianjurkan pada bulan Ramadhan
Selain puasa wajib, amalan yang sangat dianjurkan pada bulan Ramadhan begitu banyak, seperti shalat tarawih, tilawah al-Qur’an, memperbanyak dzikir, memberi buka puasa, sedekah, i’tikaf, umrah, dll. Ini berlaku umum bagi laki-laki dan wanita yang mukallaf. Begitu pula dianjurkan untuk memperbanyak doa karena doa orang yang berpuasa mustajab. Allah menyebutkan tentang doa dan janji pengabulannya di antara ayat-ayat puasa,
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS al-Baqarah : 186)
Maka tidak pantas bagi muslimah untuk menyia-nyiakan bulan mulia ini dengan berlebih-lebihan dalam perkara mubah apalagi dengan hal yang tidak bermanfaat dan dosa. Hendaknya tidak terlalu sibuk menyiapkan aneka ragam menu sahur dan buka puasa, tidur, berkeliling di pasar-pasar, menonton TV, ghibah, dusta, dll. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minum” (HR al-Bukhari) Dan alangkah baiknya jika berbagai kebutuhan di bulan Ramadhan dan hari raya telah dipersiapkan sebelum memasuki bulan Ramadhan.
Muslimah dan Puasa
Puasa artinya imsak (menahan). Dan yang dimaksud adalah menahan diri dari makan, minum, jima’ (senggama), dan semua yang membatalkan puasa, disertai dengan niat (puasa) mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari.
Niat puasa wajib harus dilakukan di malam hari sebelum terbit fajar, dan tidak sah dilakukan di pagi hari. Boleh berniat puasa sebulan di awal Ramadhan, namun sebaiknya memperbaharui niat setiap malam karena masing-masing puasa itu berdiri sendiri.
Wajib atas setiap muslimah yang baligh, berakal, sehat dan muqim (tidak bepergian) untuk berpuasa dan meninggalkan semua hal yang bisa membatalkan puasanya. Selain makan, minum dan jima’, yang juga bisa membatalkan puasa di antaranya muntah dengan sengaja, mengkomsumsi obat per oral (melalui mulut), pemakaian cairan infus sebagai pengganti makanan.
Tidak mengapa bagi muslimah yang berpuasa untuk mencicipi makanan tanpa menelannya, memakai obat luar seperti balsem, mencium pasangan, berkumur-kumur, memakai pasta gigi, mencabut gigi dan berbekam – namun jika dilakukan di malam hari lebih baik jika dikhawatirkan akan melemahkan tubuh-.
Muslimah dan Shalat Tarawih
Seorang muslimah dianjurkan menghidupkan malam-malamnya dengan shalat tarawih. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang berdiri (shalat) di bulan ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR al-Bukhari, Muslim dan selainnya)
Akan tetapi jika seorang muslimah melakukannya di masjid, hendaknya ia datang dalam keadaan berhijab, tidak tabarruj, tidak memakai parfum, tidak mengangkat suaranya, tidak menampakkan perhiasannya dan memperhatikan adab-adab ketika berada di rumah Allah .
Muslimah yang Diberi Rukhshah (Keringanan)
Ada beberapa sebab yang membolehkan seorang muslimah untuk tidak berpuasa, bahkan kadang puasa itu haram baginya, antara lain :
Pertama : Sakit dan Safar (bepergian)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…” (QS al-Baqarah : 184)
Wanita yang melakukan perjalanan atau dalam keadaan sakit yang masih diharapkan kesembuhannya jika puasa menyulitkannya, maka boleh berbuka, tapi wajib baginya menggantinya di luar bulan ramadhan sebanyak hari yang ditinggalkan. Namun jika penyakitnya tidak diharapkan lagi kesembuhannya, hendaknya ia membayar fidyah.
Kedua : Haid dan nifas
Haram bagi muslimah yang haid dan nifas untuk melakukan shalat dan puasa menurut ijma’ (konsensus) para ulama. Namun mereka wajib mengganti puasanya di luar bulan ramadhan, berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ditanya oleh Mu’adzah, beliau berkata :
“Dahulu kami mengalami hal itu (yakni haid, pen) lalu kami diperintahkan mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat” (HR Muslim)
Namun perlu diketahui bahwa haid dan nifas bukanlah penghalang bagi muslimah untuk memanfaatkan bulan penuh berkah ini dengan ibadah yang sungguh-sungguh, karena masih banyak jenis amalan yang bisa dilakukannya selain shalat dan puasa.
Jika haid dan nifas telah berhenti sebelum fajar dan muslimah berniat puasa maka puasanya sah walaupun dia menunda mandi sampai setelah terbit fajar menurut pendapat jumhur.
Bolehkah memakai obat pencegah haid?
Sebaiknya ini tidak dilakukan, walaupun dengan niat memaksimalkan ibadah di bulan Ramadhan, dan hendaknya menerima haid itu sebagai ketetapan dari Allah al-Hakiim. Karenanya tidak didapati dari wanita-wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula pada masa setelahnya – padahal mereka jauh lebih baik dari wanita masa kini – memaksakan diri melakukan hal ini. Apalagi tidak sedikit di antara wanita yang memakai obat-obat tersebut kebiasaan haidnya terganggu, merasakan keletihan dan mungkin saja membahayakan rahim. Wallahu a’lam.[]
Sumber: Majalah SEDEKAH Plus Edisi 40, Sya’ban-Ramadhan 1438 H