Ada yang istimewa bagi organisasi Wahdah Islamiyah (WI) di penghujung tahun 2021. Desember ini, WI akan menyelenggarakan muktamarnya yang keempat, sejak mengukuhkan diri sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) pada 1 Shafar 1422 H. bertepatan dengan 14 April 2002 M. silam. Sebagaimana lazimnya muktamar, kader-kader dakwah fungsionaris organisasi akan menerapkan Sunnah Nabi, yaitu musyawarah, untuk melahirkan program-program penting buat periode kerja sedikitnya lima tahun ke depan.

Dalam diskursus wacana, ada aspek yang menarik dicermati pada muktamar WI di atas. Yaitu pada tema yang muktamar kali ini angkat: “Mewujudkan Indonesia Jaya dengan Pendidikan Paripurna dalam Wasathiyah Islam.” Tema ini mengonfirmasi visi Indonesia jaya sekaligus artikulasi cinta WI pada negeri ini lewat jalur pendidikan. Pendidikan paripurna, persisnya. Adapun framenya: wasathiyah Islam.

Pendidikan sejatinya bukan barang baru di WI. Cikal bakal ormas WI jauh sebelumnya adalah yayasan dan berdiri sejak tahun 1988. Terakhir pada tahun 2000, yayasan tersebut diupdate menjadi Yayasan Pesantren Wahdah Islamiyah (YPWI). Alasan perubahan ini bersifat ekspansif. Setelah pendidikan tingkat dasar dan menengah, yayasan versi baru diharapkan dapat menaungi lebih jauh kepada lembaga-lembaga pendidikan tinggi.

Dalam buku Selayang Pandang Wahdah Islamiyah terbaru, yang terbit dalam rangka Muktamar IV Wahdah Islamiyah, program pendidikan dijelaskan singkat dan padat. “Salah satu program Wahdah Islamiyah yang berperan penting dalam meningkatkan IQ dan intelektual anak bangsa adalah program pendidikan. Program ini dibawahi oleh Bidang II yang diketuai oleh Ust. Nursalam Sirajuddin. Bidang II membawahi beberapa Departemen dan Lembaga, di antaranya: Departemen Pendidikan, Yayasan Pesantren Wahdah Islamiyah (YPWI), Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA), Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan A-Qur’an (LP3Q), dan Lembaga Tahfidz Al-Qur’an (LTQ). Melalui Bidang II, saat ini Wahdah Islamiyah telah mendirikan institusi-institusi pendidikan formal dan non formal dari tingkat TK hingga Sekolah Tinggi.”

Artinya, pendidikan sudah merupakan rutinitas yang penting di Wahdah. Namun, di Muktamar IV ini WI hendak merevitalisasi peran penting pendidikan itu. Pendidikan, dalam konteks ini, masih dan semakin relevan untuk menjawab tantangan keumatan dan kemanusiaan.

Penulis katakan masih, sebab pendidikan hampir merupakan proyek perubahan seluruh organisasi Islam di tanah air sejak dulu. Sebagaimana Wahdah, isu pendidikan telah menjadi concern bagi aktivis dakwah. Dalam mendeskripsikan corak gerakan revolusi bangsa Indonesia di era kolonial, Lukman Hakiem menulis, “Semua organisasi Islam itu sama bercita-cita meningkatkan kualitas kaum Muslim di tanah air. Dalam muktamar organisasi-organisasi itu berkumandang perlunya umat Islam di Indonesia memperbaiki kualitas lembaga pendidikannya, juga perlunya kaum Muslim memiliki lembaga pendidikan yang memberikan secara seimbang ilmu-ilmu keagamaan, ilmu pengetahuan, dan keterampilan.” (Jejak Perjuangan Para Tokoh Muslim Mengawal NKRI).

Namun zaman berubah. Pendidikan tetap merupakan program utama, hanya saja tantangan pendidikan itu yang berubah. Apa saja tantangan pendidikan kontemporer itu? Kita bisa mengangkat dua buku fenomenal yang mengulas tentang hal tersebut di sini. Buku pertama adalah yang yang ditulis oleh Majid Irsan al-Kailani, Hakadza Zhahara Jailu Shalahiddin wa Hakadza ‘Aadatil Quds. Cetakan ketiga Daarul Qalam dari versi Arab buku ini terbit pada tahun 2002.

Dari judulnya, kita segera memahami kerangka krisis yang coba dijawab buku ini, yaitu krisis politik dan kemanusiaan di Palestina, khususnya di Baitul Maqdis atau al-Quds. Fenomena ini berdampak global, karena tidak bisa lepas dari situasi keamanan di Timur Tengah. Sudah hampir satu abad lamanya bangsa Palestina dan Baitul Maqdis berada di bawah belenggu penjajahan. Mirisnya, hal itu berlangung justru ketika “nyanyian” hak asasi manusia dan toleransi dikumandangkan di berbagai sudut dunia.

Krisis Palestina dan al-Quds juga cermin dari krisis kemanusiaan yang parah. Al-Quds adalah kota suci dan model toleransi umat beragama. Kota ini menyimpan jejak sejarah para nabi, pembawa ajaran tauhid sejati. Hanya di era kekuasaan kaum Muslim, model toleransi beragama berhasil mencapai puncaknya. Hingga hari ini, misalnya, kunci Kaniisatul Qiyamah atau Church of the Holy Sepulchre di al-baldatul qadimah al-Quds dipegang dan diamanahkan secara turun-temurun oleh keluarga Muslim. Semenjak gerakan kolonialisme menjarah negeri ini, pesona toleransi itu semakin pudar. Kekerasan dalam berbagai dimensi mewarnai keseharian al-Quds dan Palestina. Ummat Muslim tak mampu memainkan peran optimalnya sebagai “khairu ummah” bagi semesta.

Al-Kailani menyorot keberhasilan pembebasan al-Quds oleh Shalahuddin al-Ayyubi (583 H./1187 M.). Dia mengungkap bahwa pembebasan yang dipimpin Shalahuddin al-Ayyubi sejatinya adalah proyek peradaban. Bebasnya al-Quds hanya salah satu puncak manifestasi dari proyek tersebut. Sebagaimana proyek peradaban, fungsionaris sebenarnya adalah sebuah generasi yang melibatkan seluruh komponen ummat pada saat itu. Terdapat generasi yang sebelumnya berhasil melahirkan Panglima Shalahuddin untuk kemudian juga berhasil mengantarkannya memimpin membebaskan Baitul Maqdis.

Dalam penilaiannya, Al-Kailani melihat signifikansi model generasi ini untuk diduplikasi. Dan kunci duplikasi generasi pembebasan tersebut terletak pada pendidikan. “Ketika semua program reformasi gagal, maka yang diperlukan adalah evaluasi komprehensif yang berani serta efektif terhadap sistem pendidikan. Evaluasi tersebut mencakup segala bentuk warisan tradisi, yang memang posisinya terletak di bawah Al-Qur’an dan Hadits yang shahih. Evaluasi yang dimaksud juga menyasar seluruh aspek pendidikan, dari filosofi, tujuan, kurikulum, metode, institusi, manajemen, pengajar, hingga implementasinya di bidang politik, sosial dan ekonomi.”

Dalam proses revitalisasi pendidikan yang akhirnya melahirkan generasi Shalahuddin itu, al-Kailani kemudian mengungkap peran tokoh-tokoh reformasi lintas waktu dan tempat namun bergerak dengan visi yang sama. Mereka antara lain Imam Abu Hamid al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani, ‘Adi bin Musafir, Ruslan al-Ja’bari, Utsman bin Marzuq al-Qurasyi, dll.

Coba kita kutip di sini sedikit dari visi pendidikan dari tokoh sentral “madrasah” reformasi ini, Imam al-Ghazali. Dalam kitab Mukhtashar Minhajil Qashidin yang merangkum pemikiran Imam al-Ghazali dari Ihya’ Ulumid Diin, al-Ghazali mengintrodusir jenis out put pendidikan. Istilahnya: ulama suu’ (jahat) versus ulama Akhirat. Ulama suu’ adalah profil ulama dan cendekiawan oportunis yang telah menggadaikan ilmu dan integritasnya buat kepentingan sesaat dan sempit. Sebaliknya, ulama akhirat adalah profil ulama dan cendekiawan yang berhasil meraih keutamaan ilmu dengan prestasi ilmu, amal dan akhlaknya.

Uraian al-Ghazali perinci menjelaskan ciri-ciri dari dua profil lulusan pendidikan yang berlawanan tersebut. Deskripsi al-Ghazali tentang ulama Akhirat menjelaskan bahwa sistem pendidikan hendaknya jelas tentang profil ideal lulusannya. Dia juga tentu tidak gegabah memilihkan namanya: ulama Akhirat. Dari profil model lulusan itu, kita bisa menangkap asas dari sistem pendidikan versi madrasah al-Ghazali.

Al-Kailani rupanya membaca bahwa akar dari problem imperialisme yang menimpa al-Quds saat ini terletak pada raibnya madrasah al-Ghazali. Jumlah sekolah memang bertambah setiap waktu. Diskursus dan praksis pendidikan berkembang di mana-mana. Orang-orang bergelar semakin banyak kuantitasnya. Namun, pertanyaannya, apakah pendidikan telah berorientasi pada melahirkan ulama-ulama Akhirat? Sejauhmana desain pendidikan yang ada dari model pendidikan generasi Shalahuddin?

Buku fenomenal lain yang layak diangkat di sini adalah buku yang terbit belakangan, tahun 2018. Judulnya, at-Tarbiyatu min Jadiid karya Fayiz az-Zahrani. Bila buku sebelumnya menyorot isu pendidikan pada level ideal, maka kajian ini sebaliknya. Az-Zahrani berangkat dari problem yang dihadapi al-jail al-jadid atau generasi baru. Generasi yang saat terus membentuk kelompok mayoritas penduduk bumi. Faktor internet sebagai sebuah fenomena kontemporer dengan beragam implikasinya secara pedagogik diulas az-Zahrani dalam kerangka data-data.

Jelas bahwa metaverse belum lagi diumumkan ketika at-Tarbiyatu min Jadid terbit. Tapi gambaran atau setidaknya versi lebih sederhana dari kehidupan dunia maya telah menjadi bagian dari keseharian umat manusia. Dalam bukunya, az-Zahrani secara lugas mengajak kita untuk waspada sekaligus meminta agar dunia pendidikan untuk sigap berkreasi. Al-Qur’an sebagai sumber hidayah memang masih ada di tengah-tengah manusia. Tapi tidak akan ada efeknya bila tidak diamalkan dengan memperbarui perangkat-perangkat transmisinya.

Az-Zahrani mengangkat banyak contoh transmisi kreatif ajaran Islam dari berbagai episode sejarah. Dia mengeksplorasi kasus penulisan dan kodifikasi Al-Qur’an. Padahal, para Sahabat menerima Al-Qur’an dari Nabi Shallalahu alaihi wasallam hanya berupa dan lewat penuturan lisan. Dari peristiwa penulisan dan penyatuan mushaf itu ditekankan fleksibilitas para Sahabat Radhiyallahu anhum dalam menduduksoalkan perangkat-perangkat untuk menjaga (hifzh) sekaligus menyebarkan Al-Qur’an. Dan Ikhtiar Sahabat itu berhasil. Al-Qur’an menjadi bacaan ibadah dan kajian selama berabad-abad hingga hari ini.

Contoh lain transmisi kreatif ilmu pengetahuan adalah fakta variasi metode penulisan dan periwayatan kitab-kitab yang dilakukan ulama. Demikian beragam bahkan hingga di internal komunitas ulama masing-masing cabang ilmu. Tidak lupa model-model kuttab, jenis-jenis wakaf pendidikan dan madrasah, bentuk-bentuk majlis, dlsb.

At-Tarbiyatu min Jadid juga membahas fenomena kajian keislaman kontemporer dan aspek-aspek pentingnya. Banyak rekomendasi yang diajukan buat murabbi di sana. Namun untuk segera menutup tulisan ini, penulis mensarikan dua tantangan penting terhadap pendidikan kontemporer dari buku tersebut. Pertama, perlunya pendidikan untuk tampil fleksibel sembari mengoptimalkan kreativitas dan inovasi dalam perangkat-perangkatnya. Mengutip az-Zahrani, “Aktivis pendidikan sangat perlu untuk menguasai keterampilan berpikir, khususnya dalam dua bentuknya yang diharapkan memberikan dampak signifikan dalam proses pendidikan, yaitu berpikir kritis dan kreatif. Bila tidak, pendidikan kita akan terjebak dalam rutinitas dan terancam stagnan.”

Kedua, pendidikan kontemporer penting untuk meningkatkan “dosis” terhadap tarbiyah ruhiyah, baik  lewat keteladanan dan penerapan ibadah mahdhah. “Taqarrub dan ibadah yang intens seorang pendidik merupakan ‘kuliah hening’ yang akan menanamkan nilai hidup penuh iman dan taat dalam diri murid,” tulis az-Zahrani. “Karena hati seorang murid itu mendengarkan suara keteladanan ibadah gurunya lebih jelas daripada telinganya kepada penjelasan lisan.”

Apakah Muktamar IV Wahdah akan melahirkan rekomendasi-rekomendasi bernas buat dunia pendidikan kontemporer? Apakah pendidikan model WI akan mengantarkan generasi pembebas berikutnya? Kita tunggu dan dukung bersama.

Wallahu a’lam… 

 

Oleh: Ust. Ilham Jaya R

(Kandidat Doktor Almadinah International University Malaysia, Ketua DPW WI DKI Jakarta & Depok, dan Direktur Basaer Asia Publishing)

Artikulli paraprakBEGINI CARA DAPATKAN DOORPRIZE UMRAH DI GELARAN “GOM” WAHDAH ISLAMIYAH
Artikulli tjetërGuru Wahdah Jadi Koordinator Guru Penggerak di Kota Makassar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini