“Mereka kan terus menantiku…karena mereka adalah jundullah”.
Untuk kesekian kalinya, hati ini begitu tersentuh tatkala membolak-balik lembaran sejarah perjuangan para ulama, mujahid, dan dai, dalam bingkai tadh-hiyah (pengorbanan) dan tsabaat (keteguhan). Bukan hanya tulusnya doa yang bisa kita panjatkan tuk mereka, namun lebih dari itu, melanjutkan perjuangan dan khithah yang telah mereka gariskan adalah bentuk lain dari penghormatan dan cinta, yang tak kan terus langgeng bila hanya dengan untaian doa yang terbisikkan.
“Mereka kan terus menantiku…karena mereka adalah jundullah”.
Kalimat indah, yang terucap dari bibir sang mujahid, terpancar dari aura wajah yang sorotkan cahya ta’abbud, tuk umumkan pada dunia, tuk yakinkan pada manusia, bahwa ia adalah seorang murabbi, yang telah mencetak kader dan mutarabbi yang tak kan gusar, bahkan tak kan kesal bila murabbi mereka telat hadir tepat waktu.
Sekilas, tak ada yang unik, bahkan istimewapun tidak. Namun menyelami sejarah dan perjalanan dakwah tashfiyah (pemurnian aqidah) dan tarbiyah (pemurnian akhlak), anda akan mendapati bahwa latihan pertama, dan tantangan utama bagi kader-kader dakwah dan ilmu adalah kesabaran dalam majelis ilmu dan tarbiyah. Bila mereka bersabar dalam konteks pembinaan dan tarbiyah, yakinlah bahwa mereka adalah jundullah, tak kan gentar dalam menghadapi berbagai problem dalam jalan ini. Sebab jundullah sejati tak kan terlahir dari orang-orang yang hanya berpangku tangan, dan hanya sekali-sekali menghadiri majelis ilmu dan jarang menyelami kisah-kisah perjuangan.
“Mereka kan terus menantiku…karena mereka adalah jundullah”.
Sang Mujahid begitu yakin, bahwa ia telah melahirkan jundullah sejati, yang rela menanti, menanti dan menanti demi sebuah perjuangan. Sang Mujahid telah sukses melecut semangat mereka tuk berubah menjadi para pejuang sejati yang tak kenal lelah. Walaupun pada akhirnya, ia menemui ajalnya dalam lilitan tiang gantungan yang dipasang oleh tangan-tangan keji dan pendosa, namun setidaknya dari ungkapannya tersebut, ia bisa hidup tenang dalam curahan rahmat jaariyah, lantaran meninggalkan para jundullah yang siap meneruskan khithah perjuangan dan spirit pengorbanan yang ia tinggalkan, yang dengan lantang menyambut seruan Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنْصَارَ اللَّهِ
“Jadilah kamu penolong (agama) Allah !!”.
Dengan syiar:
نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ
“Kamilah penolong-penolong agama Allah !!”,
Sungguh, seruan terindah ketika Allah menyeru mereka tuk menolong Allah dan agama-Nya lewat pengorbanan jiwa raga, harta dan semua yang mereka miliki, demi sebuah perjuangan dan jihad. Tak aneh, bila mereka yang menyambut seruan ini adalah suara lantang para jundullah yang terbina dan terlahir dari rahim tarbiyah dan tashfiyah.
“Mereka kan terus menantiku…karena mereka adalah jundullah”.
Sebuah muhasabah dan intropeksi bagi setiap murabbi, ustadz, dan dai. Sudah sejauh mana kwalitas pengkaderan dan pembinaan yang dilakukan tuk mereka yang hadir dalam majelis dan halaqahnya. Sudahkah mereka tersedia tuk menjadi para jundullaah, ataukah hanyalah jundullah semu yang kan terpecah belah hanya karena adanya sedikit perbedaan dan ikhtilaf??
“Mereka kan terus menantiku…karena mereka adalah jundullah”.
Sebuah intropeksi diri bagi anda, seorang kader dakwah dan penuntut ilmu. Sudahkah anda benar-benar menjadi seorang jundullah sejati, yang tidak kesal ataupun beranjak hanya karena Sang Ustadz datang terlambat. Sudahkah anda benar-benar menjadi jundullah sejati, yang siap menerima perbedaan dalam bingkai tashfiyah, dan tegar dalam perjuangan dan pergerakan ??
“Mereka kan terus menantiku…karena mereka adalah jundullah”.
Sebuah seruan tuk semua ustadz, aktifis dakwah dan penuntut ilmu. Sudahkah anda merapatkan barisan dan menyongsong persatuan ummat?? Ataukah hanya berkutat dengan ruang lingkup jamaah, TV, Radio, atau kajianmu, tanpa membangun komunikasi aktif dan usaha penyatuan persepsi dan misi dengan gerakan persatuan yang ada?? Bila tidak, saya tidak yakin kalian adalah para jundullah sejati. Jangan memberiku hujjah yang usang dan dalih palsu tentang bid’ahnya diriku, tentang sesatnya orang yang sama-sama beraqidah denganmu, ataupun tentang ke-sururiyah-an kelompokku.
“Mereka kan terus menantiku…karena mereka adalah jundullah”.
Suatu keyakinan, bahwa umat ini tak kan kembali dalam jalan yang ditempuh para pendahulunya, melainkan dengan semangat jundullah yang mesti terpatri dalam dada-dada para pejuangnya. Bahkan saya tidak salah bila menyatakan bahwa ini adalah kaidah kebangkitan umat, sebab sejak kapan umat ini jaya, dan kebangkitan ahli sunnah menggaung tanpa adanya para mujahid dan jundullah yang siap hidup mati diatas jalan ini ??!.
Ustadzku…bila suatu saat engkau telat hadir dalam halaqah dakwiyah, ilmiyah ataupun tarbiyah… bisikkanlah hatimu “Mereka kan terus menantiku…karena mereka adalah jundullah”.
Sahabat…Dan bila engkau ada dalam penantian Sang Ustadz, hendaknya camkan dalam jiwamu, bisikkan dalam lubuk hatimu “Kami kan terus menantimu…karena kami adalah jundullah”.
Agar perjuangan ini tak terhenti hanya karena para pejuangnya belumlah sampai pada level “jundullah” sejati.
Oleh Maulana La Eda, L.c