Rasulullah shallallahu’alahi wasallam bersabda:
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada wanita.” (HR.Muslim)
Pada zaman Yunani kuno, filosof Plato pernah menyatakan pendapatnya tentang kehadiran seorang perempuan. Baginya perempuan adalah makhluk yang melakukan pekerjaan-pekerjaan hina dengan diam dan tanpa bicara.
Rupanya stigma negatif terhadap keberadaan perempuan
bukanlah hal baru. Bahkan sebelum cahaya Islam lahir perempuan telah menempati posisi yang sangat rendah dan hina. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan hitamlah
(merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah.”(QS.An-Nahl:58)
Oleh karena itu kita patut bersyukur, kita lahir dan hidup ketika cahaya Ilahi telah tersebar. Dan termasuk anugerah ketika syariat Islam menjadikan perempuan sebagai makhluk yang memiliki kedudukan tinggi. Buktinya tidak sedikit ayat dan hadist yang menyebutkan kemuliaan wanita muslimah. Salah satu surah tersebut adalah an-Nisa (wanita).
Akan tetapi sayangnya kini di era digital kemuliaan perempuan yang diagungkan itu telah jauh bergeser dari konsep idealnya. Kita akan sangat mudah menyaksikan bagaimana kedudukan perempuan sirna oleh ‘janji-janji dunia, popularitas dan materi’. Tidak sedikit dari muslimah yang kehilangan jati dirinya. Sebaliknya identitas yang dibangun diatas kiblat barat menjadi kebanggaan, kehormatan diri diabaikan, rasa malu diindahkan. Lalu atas nama kebebasan berekspresi dan berkesenian perempuan muslimah meluruhkan harga dirinya. Tarian erotis berasas seni digalakkan, nyanyian duniawi ,keindahan tubuh dipentaskan dan atas nama seni perempuan hari ini telah berani berekspresi meski syariat akhirnya dinomorduakan.
Kita masih ingat bagaimana reaksi masyarakat ketika Rancangan Undang-Undang (RUU) pemberantasan pornografi
dan pornoaksi digaungkan? Diantara raut kegembiraan itu tidak sedikit pula yang kecewa. Atas nama Hak Asasi Manusia (HAM) banyak yang mulai menggugat terhadap eksistensi perempuan dan kiprahnya khususnya sebagai ‘pekerja seni’. Padahal kehadiran landasan UU tersebut telah senapas dan sejiwa dengan sila kedua dasar negara yakni; menjunjung tinggi dan berupaya mewujudkan nilai-nilai “kemanusiaan yang adil dan beradab”, bukan nilai-nilai
kebinatangan yang tidak mengenal tata susila. Sebab manusia yang beradab tidak akan mempertontonkan auratnya di muka umum, apalagi memperdagangkannya. Manusia beradab ialah manusia yang masih memiliki rasa malu. Bagaimana mungkin kemuliaan seperti wanita penghulu Syurga Khadijah atau Aisyah
radhiallahu’anha dapat kita miliki jika begitu banyak aturan Allah yang dicampakkan dan larangan Nya yang dilakukan?
Stereotip negatif wanita Islam sebagai wanita terbelakang dan tersisihkan dari dinamika hidup dan peran nyata di masyarakat serta adanya anggapan bahwa Islam adalah hambatan utama bagi perjuangan kesetaraan gender merupakan isu kuno yang hari ini masih menjadi senjata paling
ampuh bagi penganut liberisme, sebut saja jaringan Islam liberal (JIL). Akan tetapi sebagai muslim beriman yang taat pada syariatNya prinsip kita tidak akan mudah tergoyahkan. Keyakinan yang harus dimiliki pada setiap aturan dan laranganNya yang membawa manfaat dan maslahat bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga dalam lingkup
keluarga dan masyarakat merupakan kepribadian seorang muslimah. Salah satu contohnya ketika mendengar perintah Allah Ta’ala untuk berhijab.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan jangalah menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung hingga ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, , atau putra-putra saudara laki-laki mereka, , atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang merekasembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah , wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS.Annur:31)
Kemuliaan seorang perempuan didalam Islam dibuktikan dengan kedekatannya pada Allah dan RasulNya. Kecintaan pada setiap aturan dan perintahNya serta kekuatan untuk menjauhi segala larangan-laranganNya. Kenikmatan dunia berupa jabatan, harta, tahta hingga popularitas merupakan ujian manusia yang akan terus- menerus terjadi. Keberkahan hidup seorang muslimah adalah ketika ia mampu istiqomah saat badai ujian melandanya. Dan semoga Allah Ta’ala memelihara diri kita dari perbuatan yang sia-sia serta meneguhkan dalam kebenaran. Wallahu a’lam
Oleh Fauziah Ramdani