Menyingkap Tabir Seputar Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri – Bagian 1

Date:

Bismillaahirrahmaanirrahiim…

Beberapa permasalahan sempat muncul dalam beberapa tulisan dunia maya menyangkut ucapan selamat hari raya idul fitri. Yang sedikit membuatku tergerak untuk ikut nimbrung membahas permasalahan “ringan” ini adalah adanya beberapa bahasan yang penulisnya sendiri mungkin luput/belum paham dari bahasan-bahasan tersebut, Wallaahu Al-Musta’an. Beberapa permasalahan tersebut adalah:

1.Apa hukum asal ucapan selamat ini? Sunnah atau Mubah?

2.Apakah ucapan selamat: “Taqabbalallaahu Minna Wa Minkum” adalah tawqifiyyah (tidak boleh dirubah dengan ucapan selamat lain)??

3.Hukum Ucapan selamat “Kullu ‘Aamin Wa Antum Bikhaiir” atau semisalnya, Tidak boleh??.

4.Bahasan makna (Minal’Aaidin Wal-Faaiziin), bolehkah menjadikannya sebagai ucapan selamat?? Dan apakah orang Arab menggunakannya??.

Sebelum membahas poin-poin ini satu persatu, saya menegaskan bahwa anggaplah tulisan ini hanyalah sebuah catatan, dan jangan dianggap sebagai bantahan ataupun debat untuk siapapun, termasuk para ustadz-ustadz penulis materi yang seperti ini sebelumnya.

Pertama: Hukum Mengucapkan Ucapan Selamat Hari Raya.

Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah telah menukil hadis tentang permasalahan ini dalam kitabnya Fathul-Bary (2/446), dari hadis Watsilah radhiyallahu’anhu bahwa pada masa Nabi para sahabat mengucapkan pada Nabi shallallahu’alaihi wasallam –pada hari raya- dengan ucapan “Taqabbalallaahu Minna Wa Minkum” lalu beliaupun membalasnya. Namun hadis ini dinilai dhoif oleh beliau, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil sunnahnya saling mengucapkan selamat. Setelahnya beliau kemudian menukil sebuah atsar yang menjadi dalil bolehnya ucapan selamat:


وروينا في المحامليات بإسناد حسن عن جبير بن نفير قال كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض تقبل الله منا ومنك

Artinya: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhaamiliyyaat (Kumpulan hadis Al-Muhamily) dengan SANAD HASAN dari Jubair bin Nufair (Seorang tabiin) ia berkata:

“Adalah para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bila saling berjumpa pada hari raya, mereka saling mengucapkan: Taqabbalallaahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima ibadah kami dan kalian)”.

Atsar ini juga dinukil oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Tamaam Al-Minnah (hal.355) dengan ucapan beliau: “(Atsar ini) juga diriwayatkan oleh Al-Muhamili dalam kitab Shalaatul-‘Iidain (2/129/2) dengan sanad yang semua rawinya tsiqah…”.

Atsar ini dijadikan oleh para ulama sebagai masyru’nya (tidak terlarangnya) ucapan tahni-ah/selamat dalam hari raya idul fitri atau idul adha. Namun satu pertanyaan penting: Apakah ucapan salam ini hukumnya dalam bentuk masyru’ yang MUBAH atau SUNNAH?? Beberapa ucapan para ulama berikut in syaa Allah akan sedikit banyak memberikan pencerahan:

1.Imam Malik rahimahullah: Dalam kitab An-Nawaadir –karya Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani (1/509) beliau berkata: “Ibnu Habib berkata : Mutharrif dan Ibnu Kinanah meriwayatkan dari Imam Malik bahwa beliau ditanya tentang ucapan seseorang kepada temannya di hari raya, “Taqabbalallahu minna wa minka” dan “Ghafara lana wa laka,” Beliau hanya menjawab, “Saya tidak mengenalnya (sebagai sunnah) dan tidak

mengingkarinya.” Ibnu Habib berkata: “Artinya beliau (Imam Malik) TIDAK MENGENALNYA SEBAGAI SUNNAH, namun ia tidak pula mengingkarinya karena ia adalah ucapan yang baik, dan Sayapun melihat Ash-haab (murid-murid/para ulama pengikut madzhab beliau) yang saya dapati bahwa mereka tidaklah memulai mengucapkan ucapan selamat ini, tidak pula mengingkari ucapan ini, dan hanya memberikan balasan selamat pada orang yang mengucapkannya pada mereka, dan bagi saya,
TIDAK MENGAPA (baca: BOLEH) memulai memberikan ucapan selamat ini”. (lihat juga ucapan ini secara ringkas dalam: At-Taj wal Iklil, 2/854)

2.Imam Ahmad (dinukil Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa; 17/258), sebagaimana dalam pernyataan Syaikhul Islam berikut).

3.Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, dalam Majmu’ Fatawa beliau berkata:

“Adapun ucapan selamat para hari raya ied, saling mengucapkan bila bertemu setelah shalat ied dengan ucapan: Taqabbalallaahu minnaa wa minkum, dan “Ahaalahullaahu ‘alaika” atau semacamnya (dari ucapan selamat atau doa) maka telah diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa mereka melakukannya, dan para imam RAKHKHASHA (MEMBOLEHKANNYA) seperti Imam Ahmad dan selainnya, akan tetapi Imam Ahmad berkata “Saya tidak akan memulai mengucapkannya, bila seseorang memulai mengucapkannya padaku, maka saya akan membalas ucapan salamnya”.

Ibnu Taimiyah kemudian melanjutkan mengomentari ucapan Imam Ahmad ini dengan ucapannya:

“Ini lantaran menjawab tahiyyah (ucapan selamat) hukumnya wajib, dan adapun memulai mengucapkan selamat maka BUKANLAH SUNNAH YANG DIPERINTAHKAN dan BUKAN PULA DILARANG”.

Dan ucapan beliau ini disetujui oleh Syaikh AbdurRahman Al-Qasim (Hasyiyah Raudh Murbi’: 2/522) dan Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam Ringkasan Kitab Hasyiyah Raudh Murbi’ yang popular dengan judul Mulakhash Fiqh (1/280).

Muhammad bin Ali Al-Itsyubi dalam Dzakhiratul-‘Uqba (17/258) mengomentari ucapan Imam Ahmad ini:

“Riwayat yang dinukil dari Imam Ahmad ini sangatlah bagus…barangsiapa yang melakukannya (memberikan ucapan selamat) maka mereka (sebagian sahabat tersebut) merupakan teladan baginya, dan barangsiapa yang tidak melakukannya maka dalilnya adalah bahwa hal ini tidaklah shahih secara marfu’ dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, sehingga tidak boleh mengingkari orang yang melakukannya atau orang yang tidak melakukannya.

4.Abul-Baqaa’ Asy-Syafii (An-Najm Al-Wahhaaj: 2/550), Asy-Syarbini (Mughni Al-Muhtaaj: 1/596) dan Zakarya Al-Anshari (Asnaa Al-Mathaalib: 1/596) menukil bahwa Al-Qamuli berkata: “Saya tidak mendapati Ash-haab kami (para ulama madzhab syafii) membahas tentang ucapan selamat datangnya hari raya, tahun, atau bulan, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, akan tetapi Hafidz Al-Mundziri menukil dari Hafidz Al-Maqdisi bahwa ia ditanya tentang hal ini dan beliau menjawab : “bahwa para ulama senantiasa berbeda pendapat dalam masalah ini, dan pendapat saya ia hanyalah MUBAH, tidak sunnah dan tidak pula bid’ah”.

Dari beberapa nukilan ini, utamanya dari nukilan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah jelaslah bahwa hukum mengucapkan selamat ini pada hari raya hanyalah MUBAH, karena beberapa hal:

1.Bahwa ucapan selamat ini hanyalah suatu adat kebiasaan, tidak masuk dalam batasan ibadah, dan hukum asal adat kebiasaan adalah mubah. Ini bisa disimpulkan dari ucapan Syaikhul-Islam: “ adapun memulai mengucapkan selamat maka BUKANLAH SUNNAH YANG DIPERINTAHKAN dan BUKAN PULA DILARANG”. Hal yang seperti ini adalah masuk dalam kategori mubah.

2.Amalan beberapa sahabat tidak menunjukkan bahwa hal itu sunnah, boleh jadi hanya menunjukkan bahwa hal tersebut mubah dan merupakan adat kebiasaan, bukan sunnah. Apalagi bila tidak adanya dalil lain yang shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam dalam masalah ini.

3.Sepakatnya banyak ulama (Madzhab Syafii, Maliki, Hanbali dan sebagian ulama Madzhab Syafii terdahulu) akan hukum MUBAH ucapan selamat ini sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Taimiyah dalam ucapannya diatas: “dan para imam RAKHKHASHA (MEMBOLEHKANNYA) seperti Imam Ahmad dan selainnya”.

4.Imam Malik yang berada di Madinah dan paling tahu tentang kondisi Madinah dan madzhab para sahabat dan tabiin tidaklah mengenal adanya ucapan selamat ini dari para sahabat dan tabiin. Ini setidaknya menunjukkan bahwa hal ini bukanlah kebiasaan dan sunnah yang tersebar saat itu, namun hanya menunjukkan bahwa hal ini dilakukan oleh beberapa sahabat radhiyallaahu’anhum tanpa dihukumi sebagai sesuatu yang sunnah.

Pendapat inilah yang dipilih beberapa ulama kontemporer seperti Syaikh Ibnul-Utsaimin rahimahullah (Majmu’ Fatawa: 16/210), dan juga merupakan pendapat Komite Fatwa Tetap Kerajaan Arab Saudi yang ditanda tangani oleh Syaikh Ibnu Baaz –sebagai ketua-, Syaikh Abdul’Aziz Aalu Syaikh –sebagai wakil ketua-, serta Syaikh Shalih Al-Fauzan dan Syaikh Abdullah bin Ghudayan sebagai anggota (silahkan lihat teks fatwanya diakhir artikel ini).

Sebagian ulama Madzhab Syafiiyah zaman belakangan menganggap bahwa hukum ucapan selamat ini adalah sunnah, seperti Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Tuhfah Al-Muhtaaj (3/56) dengan dalil: adanya beberapa hadis dhaif –dalam riwayat Al-Baihaqi- dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam yang saling menguatkan dalam masalah ucapan selamat ini. Namun dalil ini tidaklah kuat, karena semua dalil tentang masalah ini dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam munkar/lemah sekali/dhoif jiddan dan tidak bisa saling menguatkan (lihat: Sunan Kubra –Al-Baihaqi: 3/446).

Oleh Maulana La Eda, Lc. MA Hafizhahullah (Mahasiswa S3 Jurusan Ilmu Hadis, Universitas Islam Madinah)

Maulana La Eda, L.c
Maulana La Eda, L.c
Maulana La Eda, Lc. Hafizhahullah (Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadis, Universitas Islam Madinah)

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Ustadz Yusran Anshar Sebut Dakwah dan Tarbiyah Adalah Jihad yang Utama Sekarang

MAKASSAR, wahdah.or.id - Ketua Dewan Syariah Wahdah Islamiyah Ustaz...

Hadiri Mukernas XVI Wahdah Islamiyah, Prof Waryono Dorong LAZ Lebih Optimal dalam Gerakan Zakat dan Wakaf

MAKASSAR, wahdah.or.id – Prof Waryono Abdul Ghafur, selaku Direktur...

Kepala BKSDN Kemendagri: Wahdah Islamiyah Wujud Representasi Civil Society, Jembatan Umat dan Pemerintah

MAKASSAR, wahdah.or.id - Kepala Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri...

Dukung Kemerdekaan Palestina, Wahdah Sulsel dan WIZ Pasangkayu Donasi Milyaran Rupiah

MAKASSAR, wahdah.or.id - Perang antara pejuang Palestina dan Israel...