Menyesatkan Ibnu Taimiyyah Rahimahullah Adalah Kesalahan Fatal

Date:

Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah merupakan seorang ulama kharismatik yang memiliki banyak karya ilmiyah. Ia memiliki banyak murid-murid yang juga menjadi ulama-ulama besar seperti Imam Ibn Katsir rahimahullah, Imam Ibn al-Qayyim rahimahullah, Imam adz-Dzahabi rahimahullah dan lainnya.

Pemahaman dan keyakinan beliau mengenai nama-nama dan sifat-sifat Allah hanya sebatas apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya sesuai pemahaman para salaf. Pemahaman ini berbeda dengan para ahli kalam yang cukup berkembang di negri ini, dimana mereka memilih untuk menta’wil sifat-sifat Allah itu dan tidak memahaminya seperti apa yang Allah sebutkan itu.

Karena itu, banyak diantara orang-orang yang berbeda dengan keyakinan Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ini menyesatkan beliau dan menganggapnya sebagai pemahaman yang berbahaya. Dari pemahaman inilah mereka menuduh orang-orang yang mengikuti keyakianan beliau sebagai Wahhabi, sebab Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab mengikuti akidah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berhasil mendakwahkannya dan memurnikan ajaran islam kembali sebagaimana asalnya. Sayangnya, mereka yang menyesatkan beliau (Ibnu Taimiyyah), tidak menyesatkan Imam Ibn Katsir rahimahullah yang merupakan murid beliau layaknya Imam Ibn Qayyim rahimahullah yang ikut disesatkan oleh mereka.

Padahal Imam Ibn Katsir rahimahullah memiliki pemahaman yang sama dengan gurunya Imam Ibn Taimiyyah rahimahullah dalam perkara ini, yaitu bahwa hendaknya memahami sifat-sifat Allah itu harus sebagaimana yang Allah sifatkan sendiri tanpa menyamakannya dengan makhluk-Nya, mempertanyakan tata caranya dan merubah maknanya. Sebab Allahlah yang lebih mengetahui tentang diri-Nya sendiri.

Hal ini bisa dilihat pada nukilan Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menganai istiwa (bersemayamnya Allah di atas Arsy). Allah azza wajalla berfirman:

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (٥٤)

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري، والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل.

Dan adapun firman Allah azza wajalla “Kemudian bersemyam di atas Arsy” maka manusia memiliki perkataan yang sangat banyak dalam hal ini, dan bukan disini untuk merinci semua itu. Akan tetapi dalam hal ini yang ditapaki dan diyakini sesuai dengan mazhab salaf baik ia imam Malik, Imam Auza’i, Imam ats-Tsauri, Imam Laits Ibn Sa’ad, Imam Syafi’i, Imam Ahmad Ibn Hanbal, Imam Ishak Ibn Rahuyah (guru Imam Bukhari –pent) dan selain mereka dari kalangan Imam-Imam kaum muslimin baik yang dahulu maupun yang kemudian memahaminya seperti apa adanya sebagaimana penetapannya (dalam al-Qur’an dan Hadits) tanpa mempertanyakan tata caranya, tanpa menyerupakannya dan tanpa ta’thil (merusak maknanya). (Tafsir Ibn Katsir: 3/427)

Hal ini pula seperti yang dinukil oleh Imam al-Mufassir al-Qurthubi rahimahullah, beliau berkata:

وقد كان السلف الأول رضي الله عنهم لا يقولون بنفي الجهة ولا ينطقون بذلك، بل نطقوا هم والكافة بإثباتها لله تعالى كما نطق كتابه وأخبرت رسله. ولم ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة.

Dan adalah para salaf awal umat ini semoga Allah meridhai mereka, mereka tidak berkata dengan perkataan yang menafikan jihat (arah) dan juga tidak menetapkannya. Bahkan mereka berkata dengan mencukupkannya sesuai apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri sebagaimana yang ada dalam kitab-Nya dan diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak ada satupun dari kalangan salaf yang mengingkari bahwasanya Allah bersemayam di atas arsy secara hakikatnya. (Tafsir al-Qurthubi: 7/219)

Demikian pula keyakinan Muhyiu as-Sunnah Imam al-Baghawi rahimahullah, beliau berkata:

وأما أهل السنة فيقولون: الاستواء على العرش صفة لله تعالى، بلا كيف، يجب على الرجل الإيمان به، ويكل العلم فيه إلى الله عز وجل. وسأل رجل مالك بن أنس عن قوله:(الرحمن على العرش استوى) [طه-5]، كيف استوى؟ فأطرق رأسه مليًّا، وعلاه الرحضاء، ثم قال: الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وما أظنك إلا ضالا ثم أمر به فأخرج.
وروي عن سفيان الثوري والأوزاعي والليث بن سعد وسفيان بن عيينة وعبد الله بن المبارك وغيرهم من علماء السنة في هذه الآيات التي جاءت في الصفات المتشابهة: أمِرّوها كما جاءت بلا كيف.

Adapun Ahlusunnah waljama’ah berkeyakinan bahwa bersemayam di atas arsy merupakan sifat bagi Allah tanpa boleh mempertanyakan tata caranya, wajib bagi seseorang untuk beriman akan hal ini dan mengembalikan ilmunya kepada Allah azza wajalla. Seseorang pernah bertanya kepada Imam Malik Ibn Anas rahimahullah tentang makna firman Allah azza wajallah “Ar-Rahman bersemayam di atas Arsy” bagaimana Allah bersemayam?

Imam Malik rahimahullah tertunduk diam dan badannya mengeluarkan keringat, kemudian beliau berkata: “Bersemayam itu adalah sesuatu yang sudah dikethaui, tata caranya tidak diketahui namun beriman dengannya adalah kewajiban serta bertanya tentangnya adalah bid’ah, dan aku tidak melihatmu kecuali seorang yang sesat. Lalu Imam Malik menyuruhnya untuk pergi.

Dan diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’i, al-Laits Ibn Sa’ad, Sufyan Ibn Uyainah, Abdullah Ibn Mubarak dan lainnya dari kalangan ulama Ahli sunnah pada ayat-ayat seperti ini yang sifatnya mutasyabih mereka memerintahkan untuk meyakininya apa adanya, sebagaimana ia, tanpa mempertanyakan tata caranya. (Tafsir al-Baghawi: Tafsir al-Baghawi: /236)

Karena itu, pemahaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam masalah ini adalah benar dan sesuai dengan pemahaman para salaf ahlisunnah waljama’ah. Sehingga menuduhnya sebagai seorang yang sesat adalah tuduhan yang salah dan amat besar pertanggung jawabannya di hadapan Allah azza wajalla.

Oleh Ustadz Abu Ukasyah Wahyu al-Munawy
(Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Sinergi Tiga Lembaga Wahdah Islamiyah Wujudkan Pembangunan Ramah Lingkungan

MAKASSAR, wahdah.or.id - Departemen Lingkungan Hidup Wahdah Islamiyah menggelar...

Wahdah Islamiyah Pasangkayu Raih Penghargaan atas Dedikasi Membina Warga Binaan

MAMUJU, wahdah.or.id - Semangat pengabdian dalam membina sesama kembali...

Pendidikan Ala Nabi, Solusi Krisis Moral Masa Kini

Wahdah.Or.Id - Sesak rasanya mendengar berita tentang perilaku bejat...

Didoakan Malaikat Karena Rutin Infak dan Sedekah Tiap Pagi

Didoakan Malaikat Karena Rutin Infak dan Sedekah Tiap Pagi "Hanya...