Zakat fitrah merupakan syariat dan ibadah yang sifatnya wajib dalam Islam. Setiap muslim menunaikannya di akhir Ramadan berupa satu sha’ makanan dalam rangka menampakkan rasa syukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat berbuka dan keberhasilan hamba menyempurnakan ibadah puasa Ramadan.
Beberapa waktu terakhir umat manusia dihebohkan dengan wabah Covid-19 yang mendunia, sehingga tak terkecuali masyarakat muslim pun ikut merasakan dampaknya. Dari segi ekonomi misalnya, masyarakat kecil terkena efek dari pembatasan sosial demi mencegah penyebaran virus ini. Sebagian harus terputus mata pencahariannya, terlebih lagi bagi yang sebelumnya memiliki kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Mereka tentu sangat membutuhkan bantuan berupa materi untuk menopang kelangsungan hidup mereka.
Dari pemaparan tersebut, menyegerakan penunaian zakat fitrah dipandang bisa menjadi sebuah solusi. Terutama menjelang datangnya bulan Ramadan yang erat kaitannya dengan pelaksanaan ibadah ini. Namun perlu untuk dikaji lebih lanjut mengenai boleh tidak ta’jil (mempercepat) pelaksanaan zakat terkhusus untuk zakat fitrah ini?
Namun sebelum itu, sedikitnya ada tiga catatan penting yang perlu diketahui perihal waktu penunaian zakat fitrah:
Pertama, waktu wajib mengeluarkan zakat fitrah adalah ketika terbenamnya matahari pada malam hari raya Idulfitri. Karena waktu Magrib merupakan pergantian hari dalam penanggalan Islam, maka pada waktu tersebut kaum muslimin telah wajib menunaikannya.
Kedua, waktu yang paling afdal untuk mengeluarkan zakat fitrah adalah setelah terbit fajar sebelum salat Idulfitri berlangsung. Berdasarkan hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
Artinya:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma, atau gandum, wajib bagi seluruh kaum muslimin, baik budak atau orang merdeka, lelaki atau wanita, anak-anak maupun orang dewasa. Beliau perintahkan untuk ditunaikan sebelum manusia keluar menuju tempat salat (Id).”[1]
Demikian pula hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
Artinya:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang telah berpuasa dari perkataan yang sia-sia dan kata-kata kotor, juga untuk memberi makan pada orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat Id, zakat tersebut diterima. Barang siapa menunaikannya sesudah salat, maka ia hanyalah dianggap sebagai sedekah biasa.”[2]
Ketiga, waktu yang boleh untuk mengeluarkan zakat fitrah. Setidaknya ada 4 (empat) pendapat ulama mengenai kapan zakat fitrah boleh ditunaikan:
- Zakat fitrah tidak boleh ditunaikan kecuali setelah masuk waktu Subuh di tanggal satu S Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm yang disebutkan dalam al-Muhalla. Bahkan beliau menilai, jika ada orang yang menunaikan zakat fitrah sebelum waktu itu, zakat fitrahnya tidak sah, dan harus diulang. Beliau mengatakan:
وَوَقْتُ زَكَاةِ الْفِطْرِ الَّذِي لَا تَجِبُ قَبْلَهُ، إنَّمَا تَجِبُ بِدُخُولِهِ، ثُمَّ لَا تَجِبُ بِخُرُوجِهِ -: فَهُوَ إثْرَ طُلُوعِ الْفَجْرِ الثَّانِي مِنْ يَوْمِ الْفِطْرِ
Artinya:
“Waktu zakat fitrah yang menjadi batas wajibnya seseorang menunaikan zakat fitrah adalah setelah terbit fajar subuh di hari Idulfitri.”[3]
Selanjutnya, beliau menegaskan:
أَنَّهُ لَمْ يَجُزْ تَقْدِيمُهَا قَبْلَ وَقْتِهَا وَلَا يُجْزِئُ
Artinya:
“Tidak boleh menunaikan zakat fitrah sebelum waktunya dan tidak sah.”[4]
- Zakat fitrah boleh ditunaikan sebelum Ramadan, ini merupakan pendapat mazhab Hanafi. Al-Kasani, seorang ulama Hanafi menukil satu riwayat dari Abu Hanifah:
وروى الحسن عن أبي حنيفة أنه يجوز التعجيل سنة وسنتين
Artinya:
“Al-Hasan meriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa boleh menyegerakan pembayaran zakat fitrah setahun atau dua tahun sebelumnya.”[5]
- Zakat fitrah boleh ditunaikan sejak awal Ramadan, namun dianjurkan untuk ditunaikan sebelum berangkat salat Id. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’i. Al-Syirazi dalam al-Muhadzdzab mengatakan:
ويجوز تقديم الفطرة من أول شهر رمضان لأنها تجب بسببين: صوم شهر رمضان والفطر منه فإذا وجد أحدهما جاز تقديمها على الآخر كزكاة المال بعد ملك النصاب وقبل الحول
Artinya:
“Boleh mendahulukan pembayaran zakat fitrah dari awal Ramadan. Karena zakat fitrah merupakan kewajiban dengan dua sebab: puasa Ramadan dan Idulfitri. Jika salah satu dari dua sebab ini sudah ada, boleh didahulukan zakat fitrah. Sebagaimana zakat mal, boleh dibayar setelah cukup nisab, meskipun belum tiba haul.”[6]
- Zakat fitrah boleh ditunaikan sehari atau dua hari sebelum Ini merupakan pendapat dalam mazhab Maliki dan Hambali. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nafi’ rahimahullah:
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنْ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَــنْـهُـمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْــبَـلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَـبْلَ الْفِطْرِ بِيَـوْمٍ أَوْ يـَـوْمَــيْنِ
Artinya:
“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma membayarkan zakat fitrah untuk anak-anak dan orang dewasa, dan beliau juga membayarkan zakat fitrah anak-anakku, dan kemudian beliau radhiyallahu ‘anhuma memberikan kepada yang berhak menerimanya. Dan mereka (para sahabat) membayar zakat fitrah itu sehari atau dua hari sebelum Id.”[7]
Berdasarkan riwayat ini, disimpulkan bolehnya mempercepat penunaian zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum hari Idulfitri.
Maka berdasarkan penjelasan di atas terdapat beberapa catatan dan simpulan. Atsar Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Nafi’ ini selain menunjukkan bolehnya mempercepat penunaian zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum hari Idulfitri, juga sekaligus menjadi sanggahan atas pendapat pertama.
Adapun pendapat kedua, merupakan pendapat yang tak berdalil. Juga karena zakat fitrah sebabnya adalah puasa Ramadan dan hari raya. Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Artinya:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang puasa dari segala tindakan sia-sia dan ucapan jorok, dan bekal makanan bagi orang miskin.”[8]
Dan hikmah ini, yakni membersihkan orang yang berpuasa dari kesalahan selama puasa, serta bekal makanan bagi orang miskin ketika hari raya, tidak akan terwujud jika zakat itu ditunaikan jauh sebelum Ramadan.
Tersisa pendapat ketiga dan keempat. Namun yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang keempat, selain karena didukung dengan atsar yang jelas (atsar Ibnu Umar dari Nafi’), juga beberapa alasan berikut:
- Zakat fitrah, dari segi penamaan yang dinisbatkan berdasarkan waktu, artinya zakat yang dikeluarkan di waktu fitri yakni hari raya Idulf Seperti salat lima waktu yang dinisbatkan kepada waktunya, begitupula puasa Ramadan yang dinisbatkan kepada bulan Ramadan. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:
سبب وجوبها الفطر، بدليل إضافتها إليه
Artinya:
“Sebab wajibnya zakat fitri adalah masuknya waktu fitri. Dengan dalil, penamaannya ‘zakat fitri’.”[9]
- Telah disebutkan bahwa zakat fitrah berkaitan dengan waktu fitri (Idulfitri), maka tidak semestinya diserahkan jauh-jauh hari sebelum hari Idul Selain itu zakat fitrah ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin agar mereka bisa bergembira di hari Idulfitri, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nafi’, dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu memerintahkan untuk menunaikan zakat fitrah di hari Idulfitri di mana beliau bersabda:
اغْنُوهُمْ عَنْ طَوَافِ هَذَا الْيَوْمِ
Artinya:
“Cukupilah mereka (fakir miskin) dari meminta-minta pada hari ini (Idul Fitri).”[10]
Perintah mencukupi fakir miskin di sini adalah bermakna wajib. Jika zakat fitrah tersebut ditunaikan jauh-jauh hari, maka tentu maksud untuk mencukupi orang miskin pada hari raya Idul Fitri tidak terpenuhi. Adapun jika ingin ditunaikan lebih awal, maka sebaiknya ditunaikan dua atau tiga hari sebelum hari Id sebagaimana atsar Ibnu Umar yang telah disebutkan.
Pendapat-pendapat yang telah disebutkan tadi, yakni berkaitan dengan masalah waktu bolehnya mengeluarkan zakat fitrah, tentu telah lama menjadi pembahasan para ulama, yakni lebih tepatnya dalam kondisi normal.
Kembali pada kondisi sebagian kaum muslimin pada hari ini terdampak kebijakan pencegahan penyebaran Covid-19 dalam hal ekonomi yang tentunya sangat membutuhkan. Maka pendapat ketiga yang merupakan pegangan dalam mazhab Syafi’i bisa menjadi solusi untuk kondisi sekarang ini.
Namun menurut hemat penulis, pendapat yang tetap menjadi pegangan adalah pendapat keempat yang telah dipaparkan perihal kekuatan hujahnya. Alasannya bahwa zakat fitrah merupakan sebuah ibadah yang telah jelas tuntunannya, dan tentu ibadah harus berdasar dalil yang jelas.
Adapun perihal mendesaknya kebutuhan kaum muslimin, tidak serta merta menjadi alasan yang membolehkan ta’jil zakat fitrah. Sehingga ia menjadi satu-satunya solusi yang mesti ditempuh. Namun ada solusi yang lain, yang juga merupakan rekomendasi dari tulisan singkat ini. Yaitu dengan menggencarkan anjuran kepada masyarakat yang berada, untuk lebih memaksimalkan infak dan sedekah yang bersifat tathawwu’ (sunah) yang ditujukan kepada saudara-saudara kita kaum muslimin yang membutuhkan di masa-masa yang sulit seperti hari ini. Wallahu a’lam.
[1] H.R. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[2] H.R. Abu Dawud no. 1609, Ibnu Majah no. 1827, dan disahihkan oleh Hakim no. 1488.
[3] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz 6, (Mesir: Idarah Al-Tiba’ah Al-Muniriyyah, 1349 H), h. 142.
[4] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz 6, h. 143.
[5] Al-Kasani, Badāi’ al-Sanāi’ fi Tartib al-Syarāi’, Juz 2, (Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 1986), h. 74.
[6] Asy-Syirazi, al-Muhadzdab fi Fiqh Imam Syafi’i, Juz 1, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), h. 541.
[7] H.R. Bukhari no. 1511.
[8] H.R. Abu Dawud no. 1609.
[9] Ibnu Qudamah, Al-Mugni, Juz 4, (Riyadh: Dar Alam Kutub, 1997), h. 301.
[10] H.R. al-Daraquthni dalam Sunannya no. 2133, dan al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra no. 7739.