Menjawab Dinamika dan Tantangan Kebangsaan
Oleh : Tamsil Linrung
Senator Dewan Perwakilan Daerah RI
Disampaikan dalam acara Musyawarah Kerja Nasional Wahdah Islamiyah
*
Eksistensi Wahdah Islamiyah di kancah dakwah dan pergerakan Islam telah melukis jejak kiprah. Kontribusi itu dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Wahdah Islamiyah yang konsen di dunia pendidikan, bisnis, kesehatan dan informasi kini menjelma menjadi satu organisasi kemasyarakatan yang diperhitungkan. Figur-figur sentral Wahdah Islamiyah bahkan muncul mengisi etalase tokoh umat. Wahdah Islamiyah, tidak hanya menambah panjang kafilah kebangkitan (revivalisme) Islam di Indonesia. Namun juga memperkuat spektrum kebangkitan tersebut.
Secara kultural, proses tarbiyah yang dilakukan menukik ke akar umat. Tarbiyah, dalam berbagai definisinya. Baik secara formal melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dijalankan. Maupun tarbiyah secara tidak langsung dengan keterlibatan organisasi ini dan tokoh-tokohnya, mendorong dinamika sosial kemasyarakatan. Menciptakan kematangan akidah. Menginjeksikan kebaharuan pemikiran dan pendekatan-pendekatan terkini dalam membangun umat dengan tetap berpijak kuat pada manhaj ahlussunnah wal jamaah. Wahdah Islamiyah sudah sangat matang dalam melakoni hal itu.
Persoalan bersama yang kemudian kita hadapi, adalah mencermati sekaligus merespons dinamika kebangsaan yang semakin tidak sehat. Bahkan mengalami dekadensi dan deklinasi. Ini menjadi tanggungjawab akidah dan panggilan moral ormas-ormas Islam, termasuk Wahdah Islamiyah.
Jalan mundur kehidupan bangsa Indonesia bukan sebatas isu. Tapi telah jadi fakta empirik. Disoroti berbagai lembaga global pemerhati demokrasi. The Economist Intelligence Unit’s Democracy Index yang dirilis Januari 2020 misalnya, menempatkan demokrasi Indonesia di urutan 64 dari 167 negara yang diteliti. Bandingkan dengan negeri jiran, Malaysia yang kerap disebut-sebut “belajar berdemokrasi” dari kita, situasinya justru lebih baik. Jauh di atas Indonesia, yaitu di posisi 43.
Indeks demokrasi EIU itu, tidak asal-asalan disusun. Namun mengacu pada 60 indikator yang kemudian dikluster ke dalam lima isu utama. Termasuk tingkat partisipasi dalam politik. Yang dalam beberapa studi empiris, ditemuka jika partisipasi dan pilihan politik masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau melek politik, serta kondisi ekonomi.
Artinya, indeks demokrasi tersebut, merefleksikan situasi kehidupan masyarakat di bawah. Penilaian The Economist itu, melengkapi berbagai alat terhadap kemajuan suatu bangsa. Termasuk Human Development Index yang secara reguler dirilis oleh United Nations Development Programme. Indeks Pembangunan Manusia dari PBB.
Yang mencemaskan, rendahnya mutu demokrasi dan pembangunan bangsa Indonesia yang disajikan tersebut, terjadi sebelum krisis multidimensi terjadi. Sementara pandemi Covid 19, telah mengoyak tatanan kehidupan bangsa hingga ke unit terkecil, keluarga. Artinya, bila ada studi baru yang menyigi kehidupan kebangsaan kita, hampir bisa dipastikan semua indikator mendapatkan nilai yang melorot.
Dalam isu demokrasi, HAM dan kebebasan misalnya, pandemi Covid 19 betul-betul dimanfaatkan untuk memuluskan berbagai agenda pemerintah yang dalam situasi normal sulit diimplementasikan. Namun Covid seperti dianggap sebagai legitimasi. Paling baru adalah UU Omnibus Law yang disahkan atas nama investasi dan pemulihan krisis ekonomi. Argumentasi yang tentu saja tidak bisa diterima oleh nalar kita.
Meski mendapat badai protes yang bergelombang, dari berbagai elemen masyarakat yang tumpah ruah di jalan, UU kontroversi itu tetap dipaksakan. Kendaki memakan banyak korban. Menurut Amnesty Internasional Indonesia, 402 orang jadi korban kekerasan aparat dalam demo penolakan UU Omnibus Law.
Demikian pula sebelumnya, RUU Haluan Ideologi Pancasila yang ditengarai bakal mengaburkan ideologi bangsa. Juga ada upaya pemaksaan. Padahal, berbagai elemen umat telah bersuara lantang, bahwa RUU itu akan menjadi karpet merah bagi bangkitnya komunisme yang jelas-jelas dilarang dan bertentangan dengan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia. Ideologi usang, tidak laku, namun terindikasi diberi jalan kebangkitan.
Situasi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari satu tahun ini saja, telah membawah jauh bangsa ini ke jalan yang menyimpang. Indonesia, seperti nada cemas yang ditulis oleh Harvard University, mungkin akan mengalami kehidupan demokrasi yang berbeda. Semakin mundur setelah Covid-19 ini berlalu.
Harvard menyebut, pemerintah otoriter yang hampir bisa dipastikan secara ekonomi disetir oleh oligarki dan konglomerasi, tampak terburu-buru mengesahkan banyak aturan. Aji mumpung. Karena perhatian rakyatnya tersedot ke persoalan Covid-19.
Indonesia, semakin dekat dengan apa yang disebut hybrid regime. Rezim hibrida. Dimana penguasa menganut politik campuran sebagai akibat dari transisi yang tidak selesai dari rezim otoriter ke rezim demokratis. Rezim hibrida menggabungkan fitur-fitur otokratis berdasarkan kekuasaan otoritarian dengan fitur demokrasi. Anasir-anasir demokrasi tampak digunakan. Namun justru untuk melnggengkan praktik otokrasi. Dalam bahasa lain, hal ini merupakan refleksi menguatkan ruling oligarchy seperti istilah yang diintroduksi oleh Profesor Jeffrey Winters dari Northwestern University, AS.
Gambaran situasi kebangsaan di atas, saya kira sudah ditangkap dengan baik oleh jajaran pengurus Wahdah Islamiyah. Sehingga dalam Musyawarah Kerja Nasional kali ini mengangkat tema “Mengokohkan Wawasan Kebangsaan dalam Mengatasi Persoalan Umat dan Bangsa”.
Saya ingin kita memaknai tema “Wawasan Kebangsaan Menyatukan Anak Bangsa” dalam telaah tantangan kekinian (kontemporer) dan kedisinian (kontkestual) sebagai panggilan untuk berada di dalam shaf jamaah yang berupaya meluruskan kiblat bangsa. Wawasan kebangsaan dalam terminologi kita mencakup jiwa persatuan, pengakuan pada pluralitas (human pluralism) dan sikap moderat (ummatan wasathan) sesuai dengan spirit demokrasi.
Namun ketika nyala api yang menerangi jiwa kebangsaan itu mulai redup, maka tanggungjawab akidah dan moral mendorong kita untuk terlibat aktif dalam jamaah. Dalam konteks ini, kita mesti menginternalisasi warisan para ulama. Pejuang dan pahlawan yang telah mendedikasikan hidup mereka memperjuangakn kemerdekaan, dan merawat kebangsaan.
Islam sebagai pemilik mayoritas saham bangsa Indonesia, merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan. Ketika hari-hari ini carut marut tata kelola bangsa justru meminggirkan peran umat, sekadar sebagai etalase politik semata, maka kiblat bangsa harus diluruskan. Di bidang ekonomi,
terjadi ketimpangan yang curam. Di sektor pendidikan juga demikian. Setali tiga uang, aspirasi politik dan keberpihakan pada hukum dan keadilan yang ditagih umat, juga jauh panggang dari api.
Lantas, apa yang harus kita lakukan? Pertama, sebagai entitas masyarakat yang punya pengaruh, maka saatnya kita membangun kesadaran umat tentang realitas aktual yang kita hadapi. Tantangan masa kini, yang bakal berimplikasi pada kehidupan masa depan generasi Islam.
Kedua, kiprah-kiprah sosial ekonomi yang telah dilakukan sejauh ini harus terus dilanjutkan dan dikembangkan dengan pendekatan inovatif dan inklusif. Di era kolaborasi, dialog dan kerjasama antar elemen umat dan bangsa merupakan kunci membangun kekuatan dan persatuan seperti yang dicita-citakan dari Musyawarah Kerja Nasional ini.
Ketiga, mengutip Dr. Yusuf Qardhawi, bahwa Indonesia dapat membangun masyarakat madani. Yang tentu saja dimulai dari kebangkitan, dan peran umat Islam secara signifikan dalam kehidupan bernegara. Baik di dalam, maupun di luar sistem. Indonesia memiliki semua kualifikasi untuk dapat membangun masyarakat madani, bahkan bisa tampil memimpin kebangkitan Islam secara global. Namun dengan catatan, umat Islam harus leading di berbagai sektor kehidupan bangsa ini.
Wallahu’alam