MENGENAL MA’HAD ‘ALIY AL-WAHDAH
Muh. Yani Abd. Karim, Lc.
(Ketua Tim Penyiapan Penyelenggaraan/Direktur Ma’had ‘Ali AL-WAHDAH)
Pada bulan September 2005 Pimpinan Pusat Wahdah Islamiyah mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi khas yang disebut Ma’had ‘Aliy (MA) al-Wahdah untuk studi Fiqih dengan tujuan pokok mencetak kader ulama masa depan yang berkualitas yang diharapkan menjadi pelopor dakwah Islam dan pemandu umat menuju kebangkitannya sebagaimana visi dan orientasi perjuangan dakwah Wahdah Islamiyah (WI).
Sebetulnya program pendidikan du’at dan pengkaderan ulama setingkat perguruan tinggi ini bukanlah hal baru dalam lembaga WI karena sebelumnya telah ada Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) yang berdiri sejak tahun 1998, dengan program Diploma Bahasa (1998) dan S1 Syari’ah-nya (2001). STIBA didirikan pada awalnya dengan misi penyiapan kader ulama, akan tetapi pada realitas penyelenggaraan akademik selanjutnya -terlepas dari banyaknya prestasi dan makin bagusnya pristise yang telah dicapainya- dipandang sudah kurang mengarah kepada tujuan dan cita-cita institusi pada awalnya disebabkan terutama oleh faktor kurikulum yang telah berubah karena tuntutan legalitas-formal dan upaya mendapatkan civil-effect bagi luarannya di mana STIBA “terpaksa” mengakomodir kurikulum nasional yang selama ini diterapkan pada perguruan tinggi agama Islam (UIN/S, IAIN/S, STAIN/S) di Indonesia pada umumnya.
Secara historis eksistensi ma’had ‘aliy di Indonesia pada awalnya muncul dari beberapa pesantren -terutama di Jawa- sebagai upaya pengembangan dari program takhasshush yang merupakan jenjang pendidikan tingkat tinggi dalam tradisi pendidikan pondok pesantren khususnya yang mempertahankan sistem klasik dengan orientasi pengkaderan ulama, melalui jenjang takhasshush inilah dibina para kader ulama (biasa disebut kiai) yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan bidang spesialisasi keilmuan yang diprogramkan. Secara umum, meskipun institusi takhasshush ini bersifat non formal dan tidak pernah pengelolanya berurusan dengan pemerintah untuk mendapat pengakuan dan penyetaraan secara formal namun dari segi efektifitas dapat dikatakan berhasil dan kualitas luarannya dapat diunggulkan.
Bisa ditebak dengan mudah, siapa yang lebih mendalam penguasaan ilmu-ilmu fiqih beserta segenap ilmu-ilmu alatnya (bahasa arab, ilmu tafsir, musthalah hadis, dsb) antara seorang alumni takhasshush fiqih dari sebuah pondok pesantren misalnya, dengan seorang luaran S1 dari fakultas syari’ah suatu perguruan tinggi agama Islam yang formal di negeri ini baik negeri maupun swasta. Padahal, rumusan misi dan tujuan kedua lembaga di atas bisa dipastikan sama atau -paling tidak- hampir sama atau mirip-mirip. Mengapa hal itu bisa terjadi? Banyak faktor yang terkait; namun yang paling mendasar adalah persoalan penerjemahan orientasi pendidikan dalam tataran operasionalnya, yang bila lebih dijabarkan akan tercakup dengan sendirinya persoalan kurikulum, metodologi, pendidik/pengajar, anak didik/anak ajar, lingkungan dan sebagainya.
Memperhatikan efektifitas program takhasshush atau ma’had ‘aliy di satu sisi dalam upaya mencapai misi pendidikannya, dan menyadari fenomena dis-orientasi yang terjadi secara umum pada PTAI pada sisi yang lain, sudah kurang lebih satu dekade terakhir DEPAG RI melalui Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (Ditpekepontren) secara serius memelopori upaya pengembangan ma’had ‘aliy yang ada di pesantren, menjadikannya sebagai suatu institusi formal dan menyetarakannya dengan perguruan tinggi Islam(PTAI) yang ada, akan tetapi pola pendidikan dan tradisi kesarjanaan kepesantrenan tetap dipertahankan, orientasinya jelas ialah menghasilkan para ulama yang selain memiliki potensi karismatik dan kepemimpinan tentu berbekal penguasaan ilmu-ilmu Islam yang memadai dan secara khusus memiliki satu bidang spesialisasi yang menjadi area kompetensi keilmuannya.
Menurut Direktur Pekapontren DEPAG RI, DR. H. Amin Haedari, MA, ditargetkan perangkat-perangkat aturan tentang perguruan tinggi ma’had ‘aliy bisa rampung paling lambat tahun 2007 dan akan diadakan launching ma’had ‘aliy secara nasional sebagai sebuah bentuk perguruan tinggi Islam resmi, sejajar dengan perguruan tinggi Islam lainnya namun tetap dengan karakter khas-nya.
Adanya konsep ma’had ‘aliy yang tengah dikembangkan oleh DEPAG RI sebagai perguruan tinggi khas untuk kaderisasi ulama (bukan cendekiawan) inilah yang kemudian dipandang oleh para pimpinan lembaga WI dan kalangan asatidzah (dosen STIBA) sangat relevan dengan plat-form gerakan dakwah WI yang didasari oleh manhaj Salaf yang salah satu prinsipnya adalah “al-‘ilm qabla al-qaul wa al-’amal” (berilmu sebelum berkata dan berbuat). Dalam konteks gerakan dakwah, prinsip tersebut mengharuskan keberadaan orang-orang memiliki penguasaan ilmu (syar’i) yang mendalam (minimal memadai) sebagai ikon utama dalam usaha dakwah menuju pencapaian tujuan-tujuannya.
Agar konsep dan misi melahirkan ulama yang sejati itu di kalangan WI tidak sekedar menjadi slogan dan utopia belaka, perlu segera dilakukan repurifikasi (pemurnian ulang) terhadap perangkat-perangkat dari sistem pendidikan di STIBA yang dipandang sudah agak ‘melenceng’ dari orientasi awal, utamanya kurikulum itu sendiri. Sebetulnya semangat untuk tidak perlu menerapkan kurikulum nasional dengan wajah seperti yang ada sekarang dan cukup dengan kurikulum LIPIA sudah lama mewacana di kalangan civitas akademika STIBA (termasuk tuntutan sebagian besar mahasiswa), dan kalau harus memilih (karena tidak bisa dikompromikan) antara kembali kepada idealisme (pengkaderan ulama) dan bertahan dengan ketidakjelasan visi kurikulum yang ada (demi kebutuhan pengakuan formal) maka akan lebih banyak yang memilih yang pertama. Maka tumbuhnya semangat DEPAG RI untuk mengangkat citra ma’had ‘aliy dengan konsep pendidikan khas-nya serta paradigma pembelajaran yang berorientasi mutu, menjadi sebuah stimulus bagi para asatizah STIBA dan para petinggi WI untuk kembali kepada khittah pendirian STIBA, maka lahirlah MA al-Wahdah sebagai alternatif.
Di samping adanya background panggilan idealisme di atas, tentunya juga pengalihan dari STIBA ke Ma’had ‘Aliy ini sudah diperhitungkan dengan masak dan didasarkan pada sejumlah pertimbangan realistis baik yang terkait dengan ketentuan-ketentuan baru tentang pendidikan tinggi secara umum dan perguruan tinggi agama Islam secara khusus (yang tidak mungkin dijelaskan di sini) ataupun yang terkait dengan realita internal STIBA dan tuntutan rasional pengembangan dakwah WI ke depan.
Insya Allah, mulai tahun akademik 1427-1428 ini MA al-Wahdah yang tengah memyiapkan diri untuk mendaftarkan diri ke DEPAG Pusat ini akan beroperasi dengan membuka program studi tunggalnya yaitu Jurusan Fiqih-Ushul Fiqih setara S1 dengan masa studi 8 semester. Program ini dibuka untuk umum bagi kaum muslimin laki dan wanita yang telah mampu berbahasa Arab di samping harus juga memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan oleh panitia penerimaan mahasantri baru. Syarat yang tak kalah pentingnya adalah kesiapan untuk digembleng secara penuh selama masa tafaqquh sebagai persiapan diri menjadi ulama masa depan serta kesiapan untuk menerima amanah perjuangan dakwah pasca pendidikan nanti. Karena itu kader-kader WI yang tersebar di seluruh cabang dan daerah binaan yang tentunya sudah memahami visi perjuangan WI akan lebih diprioritaskan untuk diterima selama memenuhi kriteria dan persyaratan.
Bagi yang ingin sekali masuk dan belajar di MA al-Wahdah namun belum memiliki bekal bahasa Arab bahkan belum lancar membaca al-Qur’an tidak perlu sedih dan berkecil hati, MA al-Wahdah akan menyiapkan program khusus pra-kuliah untuk kursus bahasa Arab yang dapat ditempuh minimal 4 bulan dan maksimal 1 tahun. Jadi tidak sama lagi dengan program Persiapan Bahasa/Diploma Bahasa STIBA yang berstatus program studi formal dan harus ditempuh melalui empat level (mustawa).
Adapun keunggulan-keunggulan belajar di MA al-Wahdah, sama dengan STIBA dahulu; bahasa Arab menjadi bahasa pengantar utama dalam kegiatan perkuliahan bahkan menjadi bahasa wajib dalam kampus, dengan semakin difokuskannya pembelajaran pada penguasaan bahasa Arab dan studi ilmu syar’iy, maka peluang mahasantri berprestasi untuk lanjut ke timur tengah makin trbuka bi-idznillah; adanya kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang diprogramkan secara terpadu dalam bingkai pembinaan kader (tarbiyah) di mana tercakup di dalamnya pembinaan ruhiyah, jasadiyah dan aqliyah-fikriyah termasuk pengembangan keterampilan berorganisasi, kecerdasan sosial, dan sebagainya. Fasilitas fisik berupa kampus beserta seluruh sarana dan prasarana yang ada di dalamnya tidak lain adalah kampus yang sejak lima tahun lalu dimanfaatkan oleh STIBA, yaitu kampus Manggala yang terletak di perbatasan Kecamatan Manggala Kota Makassar dengan Kecamatan Moncongloe Kabupaten Maros. Di dalamnya ada gedung asrama tiga lantai, gedung perkuliahan dan perpustakaan, ruang makan, kantor dan masjid. Ada pula kantin, koperasi dan sarana olah-raga. Biaya perkuliahan tidak perlu dipermasalahkan apalagi dicemaskan, sangat murah.
Di awal debutnya, insya Allah MA al-Wahdah akan didukung oleh kurang lebih 30 orang dosen, 25 orang di antaranya adalah alumni perguruan tinggi timur tengah yang terkenal seperti Universitas Islam Madinah, Universitas al-Azhar Cairo, Universitas Umm al-Qura, Universitas Islam Internasional Islamabad dan LIPIA Jakarta. Mari kita doakan bersama semoga Allah SWT. memberikan taufiq dan inayah-Nya sehingga amanah perjuangan ini dapat kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Amin Ya Rabbal ‘alamin. (untuk info lanjut silakan menghubungi 0411-4881230).