Pertanyaan:
Saya dan istri bersepakat untuk mengatur keturunan (kelahiran). Kami tidak memiliki maksud apa-apa melainkan sekadar mengatur jarak (kelahiran), yakni dengan cara istri saya mengkonsumsi pil pencegah kehamilan. Apa hukumnya mengatur keturunan?

Jawaban:
Alhamdulillahi wahdah, Was Shalatu Was Salamu ‘ala Man La Nabiyya ba’dah, amma ba’d;
Pengaturan keturunan (kelahiran) jika untuk maksud yang baik dan dilandasi udzur sya’ri, seperti istri tidak kuat menjalani kehamilan dan persalinan yang jaraknya terlalu rapat, atau istri mengidap suatu penyakit, maka hal itu (mengatur kelahiran) tidak apa-apa (boleh). Namun, bila dilakukan tanpa udzur udzur syar’i, maka kami memandang hendaknya seseorang menyerahkan hal itu kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Karena Dialah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan anak keturunan dan Dia pulalah yang menjamin rezkinya, men-tarbiy-ahnya, dan sebagainya. Oleh karena itu tidak boleh bagai pasangan suami istri mengakhirkan kelahiran tanpa adanya mudharat (yang mengancam) dan tanpa udzur syar’i.

Meskipun sebagian ulama tasahul (bermudah-mudahan) dalam masalah seperti ini, tapi sebenarnya jika ditelusuri lebih jauh tersingkap, bahwa target jangka panjang dari program ini adalah ditujukan kepada ummat Islam, yang pada hakikatnya pembatasan keturunan (Tahdidun Nasl). Kadang tujuan itu dilakukan dengan cara mengatasnamakan pengaturan (jarak kelahiran) dan semacamnya. Adapun pengaturan tanpa obat-obatan, seperti memilih waktu-waktu tertentu (misal di luar masa subur) untuk bercampur suami-istri, selama tidak menimbulkan mudharat bagi masing-masing; suami atau sitri. Hal ini boleh selama tidak ada maksud membatasi keturunan. Dan seorang istri tidak boleh menolak untuk hamil tanpa udzur syar’i. Wallahu Ta’ala a’la wa a’lam, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhamma wa alihi wa shahbihi ajma’im.

Kesimpulan:
1. Membatasi keturunan hukumya haram, kecuali darurat, seperti istri mengidap penyakit yang membahayakan jiwanya bila hamil dan melahirkan
2. Mengatur kelahiran dibolehkan bila ada udzur syar’i, seperti fisik istri yang tidak kuat bila menjalani kehamilan dengan jarak yang dekat, atau memiliki penyakit tertentu
(Sumber: Fatwa Syekh DR. Abdurrhaman al-Mahmud, dalam http://www.almoslim.net/node/52850, diakses tanggal 22 Maret 2016).

Artikulli paraprakUstad Zaitun: Cinta Tanah Air Sejalan dengan Ajaran Islam
Artikulli tjetërKeteladanan Kunci Keberkahan Keluarga

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini