MENDUNG DI LANGIT KARBALA (episode 1)

Oleh Ustadz Maulana La Eda

SATU PERSIMPANGAN

Satu Hari Ditahun Persatuan, 41 H.

Hembusan angin sepoi-sepoi dipinggiran Sungai Eufrat terus mendesau perlahan menyapa udara terik siang itu. Gemericik aliran air jernihnya bak alunan indah yang terdengar hampir disepanjang pesisirnya, seolah memamerkan kejernihannya pada sang surya yang tak henti kirimkan semburat cahya panasnya. Peraduan keduanya ciptakan pesona indah nan menyejukkan dalam relung sungai yang terletak ditengah luasnya gurun pasir tak bertepi itu. Percikan tetesan airnya seakan menari dalam bayang-bayang cercah sinar mentari yang begitu hangat.

Dipesisir barat sungai surgawi ini, angin gurun yang agak ekstrim seakan tak mau kalah berhembus menyapa makhluk-makhluk dalam suasana yang tak seperti biasanya. Ia terus berhembus dari arah barat, seakan merindu hadirnya angin segar Sungai Eufrat. Keduanya bertaut diatas satu kota yang meranggas diam dalam suasana gempar yang baru saja terjadi. Ibukota khilafah islam yang baru dibangun dua puluh tiga tahun lalu itu tampak indah bertengger dipesisir tengah Sungai Eufrat yang merupakan salah satu dari dua sungai didunia yang bersumber dari Sidratul-Muntaha1.

Dipusat kota ini terdapat sebuah masjid besar berdiri megah, beberapa tahun lalu disana duduk bersandar seorang Ibnu Mas’ud memaparkan ilmu fiqh, menukilkan hadis-hadis suci Sang Nabi, dan mengajarkan Al-Quran dihadapan Alqamah, Masruq, Abidah, Aswad dan sekelompok murid-murid handal lainnya. Tak jauh darinya berdiri bangunan indah Dar Imarah, istana jabatan setiap Wali Kota, yang kemudian suatu saat menjadi istana Khalifah Ali bin Abi Thalib yang kini diwarisi oleh putera sulungnya, Hasan bin Ali.

Baru saja ibukota kekhalifahan islam pada masa Ali dan Hasan ini digemparkan satu peristiwa besar. Penduduknya yang kebanyakan Kaum Syiah seakan tak percaya dengan ultimatum yang baru saja diumumkan keseluruh penjuru kota itu, bahkan keseluruh negeri dari Bumi Mesir hingga tanah Yaman.

“Jika demikian saya akan mentaati semua keputusanmu !”. Terdengar suara pasrah seorang adik membelah keheningan Kota Kufah hari itu. Suara parau seorang ksatria hebat yang seakan pasrah atas suratan takdir yang baru saja menyapa, dan menggemparkan seluruh pesisir Sungai Eufrat. Masih teringat jelas, 30 tahun yang lalu ia hanyalah bocah kecil yang suka berlari, bermain dan menaiki pundak Sang Kakek di beranda atau bahkan Raudhah Masjid Nabawi yang indah itu. Kini ia telah menjelma menjadi sosok kstaria yang sangat tangkas dan pemberani. Wajahnya yang cerah dihiasi lebatnya jenggot dan aura keshalihan, yang hampir mirip dengan wajah Sang Kakek itu, pasti dikenal oleh setiap orang yang memandangnya.

Sekilas terdengar, suara lirih nan pasrah itu terbesit dari hati yang penuh ketidakrelaan dengan langkah Sang Kakak yang lebih memilih jalan damai dalam skenario abad itu demi menghentikan api fitnah dan pertumpahan darah yang seakan tak pernah padam sejak Sang Ayah masih hidup.

“Adikku, sungguh tidaklah aku memilih satu pendapat melainkan engkau menyelisihiku… bersabarlah…”. Sahut Sang Kakak. Suaranya yang penuh wibawa itu terlontar lembut penuh makna. Darinya tersirat nasehat tuk Sang Adik yang sedari tadi menampakkan sikap tidak setuju dengan peristiwa menggemparkan itu. Namun teguran hikmah darinya yang lebih tua dua tahun ini semakin menyadarkan angan Sang Adik bahwa Sang Kakak tak kan pernah mencabut keputusan dan ultimatum suci nan abadi itu.

Perlahan kegundahan Sang Adik mereda. Entahlah, apa yang dirasakan oleh Sang Kakak, yang pasti keteguhan jiwa dan kekuatan hatinya yang ditempa oleh Sang Kakek juga Sang Ayah selama bertahun-tahun tak kan bisa pudarkan satu keputusan yang kini telah ditentukannya.

Nampaknya sudah sedari awal perdamaian dan penyerahan tampuk kekhalifahan Sang Kakak Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan tak diridhai oleh sanubari Sang Adik Husain bin Ali, radhiyallahu’anhum. Hati kecilnya berontak, seakan tak rela dengan aksi damai dua kubu yang berakhir pada penyerahan tampuk khilafah pada Mu’awiyah radhiyallahu’anhu. Namun apalah daya, Sang Kakak sebagai pemimpin tertinggi khilafah saat itu telah memutuskan semuanya.

Penyerahan kekuasaan ini terjadi setelah Sang Khalifah, Hasan bin Ali berkuasa selama enam bulan menggantikan kekhalifahan Sang Ayah, Ali bin Thalib radhiyallahu’anhu di Kufah yang syahid oleh aksi tangan kotor seorang pentolan Khawarij, Abdur-Rahman bin Muljam. Inilah salah satu tragedi besar dalam sejarah yang merubah arus dan alur perjalanan Sejarah Islam bahkan Sejarah Peradaban Dunia, sekaligus satu diantara ratusan lembaran hitam perjalanan Sekte Khawarij sepanjang masa.

Terbukti, proses penyerahan kekuasaan ini sangat berdampak positif atas padamnya api fitnah dan krisis peperangan yang berkepanjangan antara dua kubu saat itu2. Jua terbuktilah keabsahan nash Sang Kakek, Baginda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam sabdanya tiga puluh tahun silam : “Cucuku ini (Hasan) adalah seorang sayid / pemimpin, semoga Allah menjadikan dirinya sebagai pendamai antara dua kubu kaum muslimin yang bertikai”.3

Ya, Sang Kakaklah yang kemudian memadamkan bara api fitnah dan perpecahan ini, ia rela menanggalkan mahkota khilafah yang disandangnya dan meninggalkan tahta khilafah yang diwarisinya demi satu kedamaian yang sebelumnya tak kunjung tiba. Dengan peristiwa ini maka benarlah sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bahwa Khilafah Rasyidah yang dipilih oleh umat telah sempurna 30 tahun (dari tahun 11 H – 41 H) dengan 5 orang khalifah yaitu Abu Bakr Al-Shiddiq, Umar Al-Faruq, Utsman Dzi Nurain, Ali Abu Sibthain, dan Hasan Sayid Syabaab Ahlil-Jannah. Beliau bersabda: “Khilafah akan tegak setelahku selama 30 tahun, setelah itu akan berubah menjadi kerajaan”4.

Peristiwa bersejarah ini dikenal dengan nama ‘Aam Al-Jamaa’ah yang berarti Tahun Persatuan.

“Senangnya semua orang pada dirimu, adalah tujuan yang mustahil tercapai”. Mungkin pepatah arab ini yang paling tepat melukiskan pandangan dan tanggapan orang-orang diseantero negeri-negeri islam terhadap keputusan Hasan radhiyallahu’anhu. Secara umum dunia islam yang sangat merindukan perdamaian dan kesejahteraan saat itu begitu menyanjung langkah cerdas Hasan ini, namun ironisnya ternyata hal ini tak menyenangkan sebagian pihak yang bersikukuh memilih jalan konfrontasi perang terbuka dengan Khalifah Mu’awiyah, termasuk pihak pendukung Hasan khususnya dari kalangan Syiah yang bermarkaz di Kota Kufah saat itu. Kaum Syiah Klasik memang tak bisa dipisahkan dari kota ini, dari sanalah mereka muncul dan disudut-sudutnyalah agen-agen rahasia mereka terbentuk, yang mungkin tak kalah hebat dengan agen CIA atau MOSSAD di era digital dan android sekarang ini. Walaupun kota ini menyimpan berbagai kenangan indah Kaum Syiah, atau menjadi saksi utama perjalanan Sejarah Syiah, tapi nampaknya Kaum Syiah zaman pertengahan atau kontemporer tak terlalu merasa berjasa pada Kota Pesisir Sungai Eufrat ini. Entahlah, apakah karena disana tidak ada makam-makam spesial bertaburkan “berkah” ataukah karena Kufah telah menyisakan kenangan pahit berabad-abad hingga harus rela “predikat kesuciannya” dicabut ?! Semua orang hanya tahu bahwa Kaum Syiah telah mengkhianati kota itu, dengan mempersunting kota mungil sejauh 20 km disebelah baratnya, yang dijuluki Nejf. Ya, Nejf Asyraf: “Kota Nejf termulia nan suci” yang dielu-elukan dan disucikan dengan berbagai ritual dan prosesi ziarah ajaib. Entah apa sebabnya, namun konon disanalah makam Imam Ali radhiyallahu’anhu.

Tak pelak, Syiah Kufah yang memang tak setuju dengan perdamaian ini menampakkan rasa kesal. Bagi mereka ultimatum Hasan ini adalah satu blunder dalam ranah politik dan pemerintahan, bahkan ia satu sejarah kelam bagi langgengnya kekuasaan Ahli Bait yang mestinya menjadi satu-satunya khalifah yang sah di muka bumi ini. Demikian klaim yang diadopsi jadi salah satu rukun iman dalam ideologi mereka. Dengan ideologi ini mereka pun menggugat kekhalifahan Abu Bakr, Umar dan Utsman, syukur-syukur bila mereka masih diakui sebagai khalifah yang sah, sebagai Khulafaa Raasyidin, tapi nampaknya hanya laknat dan cacian yang bisa mereka persembahkan untuk ketiga khalifah tersebut.

Merekapun melayangkan protes keras, dan berusaha membujuk Hasan radhiyallahu’anhu agar menarik keputusan yang menggemparkan itu. Namun beliau tetap tak bergeming dari pendiriannya5.

Kaum Syiah yang terkenal cerdik itu tak kehilangan akal. Tatkala tahu bahwa Husain termasuk figur Ahli Bait yang tidak setuju dengan keputusan Hasan, merekapun berkumpul tuk menjadikan Husain sebagai tokoh alternatif utama dalam melangsungkan perjuangan merebut tahta suci Khilafah Islamiyah yang mereka impikan. Mereka lalu mendatangi Husain radhiyallahu’anhu untuk membujuk beliau agar menjadi pemimpin mereka untuk terus melakukan gerakan konfrontasi dan pemberontakan terhadap Khalifah Mu’awaiyah. Berbagai dalih dan alasan mereka kemukakan dihadapannya. Namun beliau hanya bisa menenangkan kegundahan mereka dengan menegaskan bahwa beliau telah mengikuti kehendak Sang Kakak yaitu berbaiat kepada Mu’awiyah sebagai khalifah yang sah dan hampir mustahil untuk bisa membatalkan baiat tersebut dan menyelisihi perintah Sang Kakak 6.

Pada hakikatnya, Sang Adik sangat tidak rela dengan perdamaian antara Sang Kakak dan Mu’awiyah, namun semuanya telah terlanjur diakui dalam proses baiat atas paksaan Sang Kakak. Juga kengganan beliau dalam memecah belah persatuan umat islam dibawah satu kekhalifahan mengharuskan dirinya untuk meredam api semangat perang Syiah Kufah yang masih terus membara.

“Janganlah kalian melakukan pemberontakan selama Mu’awiyah masih hidup”. Demikian anjuran keras Husain kepada mereka mengakhiri dialog tersembunyi itu7.

  1. SATU PERSIMPANGAN – MENDUNG DI LANGIT KARBALA (episode 1)
  2. HIJRAH YANG TAK DIRINDUKAN – MENDUNG DI LANGIT KARBALA (episode 2)
  3. MADINAH DAN SECERCAH KENANGAN – Mendung Di Langit Karbala (Episode 3)

 

1 . Lihat: Shahih Bukhari: 3887 dan Juga Fathul Bari: 7/214. Sungai kedua yang airnya bersumber dari Sidratul-Muntaha adalah Sungai Nil.

2 .lihat: Thabaqat Ibnu Sa’ad: 5/269-270 dan Tarikh Ibnu Asakir: 4/Q 35

3 .HR Bukhari: 3746

4 .HR Ahmad: 5/220-221, dan Ibnu Hibban: 6943

5 .Ansaab Al-Asyraaf: 3/150

6 .idem

7 .idem

Artikulli paraprakSERUAN DEWAN SYARIAH WAHDAH ISLAMIYAH UNTUK MELAKUKAN QUNUT NAZILAH BAGI KAUM MUSLIMIN ROHINGYA DAN ALEPPO
Artikulli tjetërKyai Didin: Pesantren Harus Pertahankan Khitah Sebagai Lembaga Iqamatuddin