Wahdah.Or.Id — Salah satu tokoh yang dapat dirujuk secara serius untuk wacana islamisasi ilmu adalah Jaafar Sheikh Idris, selain Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi.
Idris sendiri adalah seorang intelektual yang rajin menulis, konsultan untuk berbagai organisasi Islam, profesor Studi Islam, dan Ketua Dewan Pendiri American Open University.
Disertasi Idris dalam bidang Filsafat Ilmu dari Universitas Khartoum yang bekerja sama dengan Universitas London berfokus pada “The Concept of Causality in Islam/Konsep Kausalitas dalam Islam” (1970).
Kajiannya yang tentang Filsafat Ilmu selanjutnya dituangkan dalam “Manahij at-Tafkir al-Muwshilah lil Haqa’iq” (2015).
Karya ini merupakan hasil diskusi dan penelitian yang panjang dan mendalam, hal yang dapat dibaca dari daftar referensi buku tersebut.
Walaupun cukup signifikan, bukan tipikal intelektual itu saja yang menarik penulis sehingga mengangkat pemikiran Idris di sini, khususnya tentang Islamisasi ilmu.
Hal lain adalah karena tokoh ini punya akar intelektual yang cukup rapat dengan model keilmuan tradisional yang dikenal disiplin.
Idris sangat dekat dengan kuliah-kuliah Syekh Ibnu Baz, pakar Fiqhul Hadits dan Mufti Agung Arab Saudi tahun 1993-1999; dan karya-karya Ibnu Taimiyah, reformis pemikiran Islam yang wafat tahun 1328.
Kombinasi ini diharapkan mampu melahirkan pemikiran yang tajam sekaligus berani, menampilkan nilai-nilai Islam yang sangat kritis terhadap pengaruh Barat yang terlanjur dominan dan mungkin telah sangat dalam memengaruhi lanskap ilmu kontemporer, dan juga usaha sarjana-sarjana Muslim sebelumnya. Dengan tetap menjaga akhlak dalam tradisi ilmiah.
Lantas, apa proposal Idris untuk Islamisasi ilmu? Tulisan ini mengupas artikel Idris “The Islamization of the Sciences: Its Philosophy and Methodology,” yang diterbitkan oleh “The American Journal of Islamic Social Sciences” (Vol. 4, No. 2, 1987).
Bagian yang akan didiskusikan yaitu bahasan terkait prosedur Islamisasi ilmu.
Tulisan ini akan lebih banyak mengupas segi pengetahuan yang diangkat dari wahyu, berbeda dengan target pembaca artikel Idris.
Kita langsung masuk ke pembahasan tersebut dalam poin-poin berikut:
Pertama, pengetahuan tentang fakta diambil dari alam empiris (mahsus) dan juga wahyu (Al-Qur’an dan Hadits shahih/manqul), bahkan dari hasil penalaran rasio, baik itu terkait fakta kealaman, psikologi, matematika, sosial, dll.
Perhatikan penegasan dari Al-Qur’an berikut ini. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (TQS. an-Nahl/16: 78).
Dari ayat ini terdapat petunjuk bahwa, sebagaimana Tafsir al-Muyassar terbitan Mujamma’ Malik Fahd menjelaskan, “Allah menjadikan bagi kalian sarana-sarana pengetahuan berupa pendengaran, penglihatan, dan hati. Mudah-mudahan kalian bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat tersebut. Dan mengesakan Allah dengan ibadah.”
Fakta dan informasi alam sekitar dan diri manusia diakses dengan panca indera (survei, eksperimen), yang dalam ayat di atas diwakili oleh pendengaran dan penglihatan.
Sedangkan pesan wahyu ditangkap lewat bahasa (yaitu Arab, plus instrumen ilmu-ilmu dasar lainnya). Ini juga lewat pendengaran dan penglihatan (membaca).
Peran akal selanjutnya dalam dua sumber di atas, yaitu alam indera dan wahyu, adalah untuk memahami, mengabstraksikan fakta dan informasi, serta membuat prediksi (Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudhil ‘Aqli wan Naqli, VII: 324).
Posisi ini menegaskan sikap Idris yang menerima validitas informasi yang disampaikan oleh pengamatan indera manusia, sekaligus hasil olah pikirnya.
Tentu dengan syarat bahwa keduanya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Posisi ini tentu tidak perlu dipertentangkan dengan batas pengetahuan manusia, sesuai dengan tingkat dan fungsi praktis dari pengetahuan tersebut.
Al-Qur’an dan Hadits sendiri kaya dengan cuplikan fakta-fakta kealaman dan sejarah, argumentasi logis, selain panduan nilai-nilai, pedoman perilaku, penjelasan hukum, perumpamaan, dll.
Sebagian kita mungkin mengingat peristiwa atau kesaksian langsung dari individu-individu yang menceritakan keasyikannya membaca Al-Qur’an. Baik itu dari versi bahasa Arabnya langsung atau dari versi terjemah artinya (tarjamatu ma’aniihi, sebagaimana cetakan Wakaf dari Pelayan Dua Tanah Suci Raja Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud), kembali kepada kapasitas masing-masing.
Sebagian dari mereka berangkat dari pemikiran kritis, bukan untuk mencari hidayah tapi ingin meneliti langsung dalil-dalil yang Al-Qur’an kemukakan.
Demikian dalam pengalaman orang-orang itu dengan Al-Qur’an, sehingga sebagian dari mereka yang bukan Muslim akhirnya terbawa kepada kebenaran Islam sebagai ajaran yang murni dan turun dari Pencipta alam semesta.
Yang justru menarik di sini adalah kenyataan bahwa walaupun orang-orang itu berasal dari latar budaya yang sangat beragam, profesi, bahasa, bahkan negara; namun mereka semua dapat menikmati keindahan dan kuatnya argumentasi-argumentasi yang dipaparkan Al-Qur’an.
Itu karena fakta-fakta kealaman dan argumentasi yang dipaparkan Al-Qur’an universal dan mudah dipahami, sehingga tidak terkendala oleh beragamnya tingkat dan variasi intelektualitas pembacanya.
Kedua, letakkan fakta-fakta tersebut dalam kerangka penjelasan dan otoritas Al-Qur’an dan Hadits, sebagai pengarah dan kerangka nilai bagi aktivitas keilmuan manusia.
Dalam bahasa Idris, “Add to this in respective fields and relevant places facts stated in the Qur’an and authentic traditions … research Quran and Sunnah laws under which these facts can be subsumed and explained … Put all these facts, laws and theories in an Islamic framework”.
Di sini, peran utama Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman dan pemberi petunjuk bagi manusia dan sarjana atau ilmuan pada khususnya, ditegaskan kembali.
Ilmuan itu mencakup ilmuan di bidang agama maupun di bidang ilmu-ilmu peradaban. Mereka semua berkepentingan untuk mencapai derajat takwa dan untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk.
“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (TQS. al-Baqarah/2: 2).
Kata Prof. Wahbah az-Zuhaili, “Al-Qur’an membimbing orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan mereka dengan menaati perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan meninggalkan kemaksiatan, kemudian mereka mengambil manfaat darinya. Itu adalah tiga gambaran tentang Al-Qur’an” (Tafsir al-Wajiz).
Sebagai alat bantu, bidang kajian yang dikenal sebagai Tsaqafah Islamiyah bisa menjadi pengantar yang baik dalam memetakan kerangka yang dimaksud.
Alasannya, karena kajian ini mengurai tema-tema peradaban, seperti ideologi, moral dan etika, hukum, keluarga, sanksi, ekonomi, pemerintahan, dll. dengan bahasa serta kerangka pendalaman yang lebih familier bagi sarjana dalam model pendidikan sekolah modern.
Karya-karya intelektual terkemuka seperti Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar, Umar ‘Audah al-Khathib, dan Dr. Yusuf al-Qardhawi pada topik tersebut bisa membantu sebagai kerangka sangat dasar untuk penelitian selanjutnya.
Sedangkan pada taraf filsafat, kajian-kajian terkait Islamic worldview, sekularisme, serta uraian tentang praksis ajaran Islam yang beragam, seperti dijelaskan dalam Kitab “Mukhtasar Minhajul Qashidin”, akan menarik sebagai pendalaman.
Tujuan dari prosedur ini dijelaskan oleh Idris pada bagian selanjutnya. “This will enable us to see them in a new light and infer from them new facts which otherwise would have no relevance within the prevailing Western materialistic and atheistic framework”.
Ketiga, lakukan eksplorasi dan penelitian lanjutan dari fakta-fakta dan kerangka penjelasan wahyu di atas untuk mengembangkan teori.
Seperti ditegaskan oleh Dr. Athiyah Adlan, “Adanya (eksposisi) sistem dan teori yang sempurna dan komprehensif dalam Islam tidak berarti menutup pintu terhadap manfaat dari hikmah serta hasil eksprimen manusia. Karena Sunnah Islam membuka ruang untuk diisi dengan ijtihad yang dibimbing oleh Syariat. Di samping itu, ada juga ruang-ruang pada bidang prosedur, teknologi, dan teknis yang memang merupakan lahan bagi ijtihad dan pengalaman manusia (pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi)” (Al-Urjanun al-Islami: Nazhariyyatul Ma’rifah al-Islamiyah: 467).
Dalam prosedur ini, sarjana-sarjana Muslim akan terlalu diuntungkan dengan sumber tambahan berupa wahyu yang memperkaya perspektif mereka tentang realitas.
Berbeda dengan kolega mereka yang hanya mengandalkan fakta-fakta dari alam semesta sebagai satu-satunya sumber pengamatan yang dicerna.
Ambil contoh kajian politik yang banyak diungkap oleh Al-Qur’an dan Hadits. Dalam kerangka positif, ada Nabi Sulaiman dan Daud AS, juga Dzulqarnain dan Nabi Muhammad SAW.
Dalam kerangka negatif, ada Firaun, Namrud, dll. Belum menggali aspek-aspek psikologi politik manusia, situasi dan hukum dalam kondisi perang dan damai, yang banyak diungkap dalam Al-Qur’an.
Tambahan lagi, pedoman Al-Qur’an dan Hadits yang membimbing sarjana Muslim dalam seluruh proses penelitiannya.
Dalam prosedur ini, sarjana Muslim punya kesempatan luas untuk kembali kepada kepentingan dan kebutuhan kemanusiaan universal serta nasionalnya, tanpa harus terus terjebak kepada kerangka dan perspektif kepentingan industri apalagi bangsa lain (dekolonialisasi).
Kiranya wacana dan praksis yang berkembang pesat di berbagai belahan dunia dan dalam beragam bidang kehidupan merupakan proyek-proyek lanjutan dari prosedur ini.
Ingat saja misalnya bidang-bidang seperti pendidikan Islam, ekonomi syariat, fashion Islami, produk halal, Islamic parenting, penulisan kembali sejarah, dan kedokteran Islam.
Bidang-bidang ini telah melahirkan para ahli dan spesialis yang terus bekerja membangun disiplin dan institusinya masing-masing.
Keempat, posisikan secara jelas alam empiris dan wahyu sebagai dua sumber ilmu yang sama-sama dari Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga keduanya saling mendukung dan komplementer, serta tidak kontradiktif.
Namun Idris pada poin ini buru-buru memberikan catatan penting, “Since we have two resources for our sciences, we should accept as true any fact which we are sure to be in either of them. We should not make it a methodological rule to look for empirical facts supportive of religious statements, or religious texts which support empirically established facts ….”
Artinya, meski dua sumber ilmu itu berasal dari Sang Pencipta, tapi kesimpulan pada masing-masing sumber itu punya metode dan tingkat kepastian yang berbeda bahkan bertingkat-tingkat.
Pada bidang ilmu-ilmu yang bersandar pada sumber kealaman, diskusi Thomas Kuhn dalam “The Structure of Scientific Revolutions” tentang evolusi dan relativitas ilmu pengetahuan manusia bisa jadi rujukan penting.
Bahaya lainnya, bisa muncul dalam mendudukkan relasi antara ilmu yang bersumber pada alam dan ilmu yang bersumber pada wahyu.
Menurut Idris, “… Because trying to do the impossible is sure, in this case, to put us in one of two equally dangerous positions: either to give scientific statements far-fetched meanings in order to make them suit religious claims or twist religious statements to force them to lend support to scientific facts.”
Dalam tingkat validasi dan pemahaman terhadap teks Al-Qur’an dan Hadits dikenal konsep qath’i dan zhanni serta level pengetahuan manusia (maratibul ‘ilmi).
Konsep ini berlaku universal, baik itu terhadap ilmu-ilmu dengan sumber mahsus maupun ilmu-ilmu dengan sumber manqul, serta telah lama dikupas oleh Ibnu Taimiyah, khususnya dalam Kitab “Dar’u Ta’arudhil ‘Aqli wan Naql”.
Terakhir dan kelima, kerangka konsepsi lain yang juga penting dibedakan adalah wahyu dan alam semesta sebagai sumber ilmu di satu sisi, dengan “ideas of human beings” dan “something as a piece of knowledge”-meminjam istilah Idris-di sisi yang lain.
Informasi dan argumentasi yang langsung dari wahyu dan fakta dari dunia empiris, keduanya harus dibedakan dengan pernyataan ilmiah para sarjana.
Ada tiga bagian di sini, menurut hemat penulis.
Pertama, dalam tradisi keilmuan Islam.
Pada konteks ini, Dr. Yusuf al-Qardhawi pernah mengajak kita untuk membedakan antara wahyu dan turats. Wahyu (Al-Qur’an dan Hadits) sebagai sumber yang ma’shum/terpelihara dan eksplisit, dengan turats sebagai hasil sukses ijtihad ulama yang bersifat historis.
Yang kedua, ini harus dihormati dan dihargai, namun bisa dikomparasi dan tarjih dengan hasil sukses ijtihad ulama lain; sehingga tidak mungkin disejajarkan dengan posisi suci wahyu.
Kedua, dalam konteks dan tradisi ilmu pengetahuan kontemporer yang pada galibnya merupakan produk peradaban Barat yang telanjur dominan saat ini.
Sarjana yang objektif harus kritis bahkan hati-hati terhadap asumsi filosofis termasuk terminologi Barat yang cenderung subjektif, eksklusif dan parsial.
Kajian sejarah dan antropologi Prof al-Attas yang secara berani melawan prototipe Barat dan orientalis dalam kajian kelompok ini terhadap dunia Melayu dan sejarahnya, bisa menjadi contoh nyata dan inspirasi.
Ketiga, dan ini lebih dalam konteks artikel ini, hatta pernyataan-pernyataan ilmiah yang merupakan hasil dari ijtihad Islamisasi ilmu sekalipun bukanlah suatu kebenaran yang bersifat absolut.
Dia adalah produk sukses ijtihad manusia yang bisa terus dikembangkan, bisa bervariasi; dan dalam tataran kebutuhan praktis dan pragmatis, baik dan penting untuk diimplementasikan. Hal-hal yang sebenarnya berlaku pada semua bidang pengetahuan manusia.
Keberanian sarjana Muslim untuk membangun ekosistem keilmuan yang Islami yang bertujuan untuk mengadaptasikan hasil-hasil kajian peradaban lain, wadah diskusi, pengembangan riset, dan diseminasi kajian yang sesuai dengan visi dan misi di atas harus diapresiasi dan didorong.
Jurnal-jurnal dan lembaga kajian yang menyelenggarakan dan melahirkan kader dengan kualitas yang diinginkan juga merupakan jihad intelektual yang perlu diupayakan. Wallahu a’la wa a’lam.
Oleh: Ilham Jaya R
====
Baca Opini Sebelumnya: https://wahdah.or.id/pendidikan-ala-nabi-solusi-krisis-moral-masa-kini/