Menangis Karena Allah
Pernahkah kita berpikir atau bertanya pada diri kita sendiri, mengapa hati kita cenderung tertarik dengan dosa-dosa dan menjauh dari pahala?
Mengapa ketika banyak peringatan yang datang, tidak membuat kita atau hati ini jera berbuat nista? Mengapa hati ini selalu bosan bahkan benci dengan hal-hal yang dicintai oleh Sang Khaliq, Allah سبحانه وتعلى?
Mengapa hati ini senang sekali terbuai dengan kemewahan dunia yang fana dan melupakan kemewahan kampung akhirat yang kekal?
Mengapa hati ini membuat mata menjadi sangat sulit melelehkan air mata?
Di manakah kelembutan hati ini untuk bertaqarrub kepada Allah serta menangis karena-Nya?
Lari kemanakah hati ini dari berzikir kepada Allah ?
Apakah yang menyebabkan hati ini gersang dan keruh untuk selalu mengingat Sang Kekasih, Allah ?
Dan di manakah posisi kita dari orang-orang yang disebutkan oleh Allah سبحانه وتعلى dalam firman-Nya,
"Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Dan mereka berkata, "Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’." (QS. Al Isra’: 107-109).
Ketika hati tidak lagi tersentuh oleh lantunan indah ayat-ayat suci Al Qur’an dan lebih cenderung mengonsumsi nyanyian-nyanyian cengeng dan berisi maksiat, maka saat itulah hati menjadi keras membatu dan tak dapat melelehkan air mata di kala mengingat dosa-dosa dan peringatan tentang neraka Allah سبحانه وتعلى. Dan di saat itu pulalah, shalat tak lagi terasa nikmat. Munajat tak lagi manis dan hanya jadi aktifitas harian kita sebagaimana aktifitas di kantor, sekolah, kampus, atau lapangan akitifitas lainnya.
Hal ini bisa menimpa siapa saja bila tidak teliti dalam pelaksanaan ibadah kepada Allah سبحانه وتعلى, entah itu pada masalah niat ataukah gerakan-gerakan dalam pelaksanaan tersebut. Namun yang paling pokok dalam masalah tersebut adalah pada masalah niat, yang mana isinya adalah keikhlasan yang melahirkan kelembutan hati lalu diiringi dengan tangisan karena Allah سبحانه وتعلى semata.
Apa Itu Kelembutan Hati?
Para ahli hadits telah menulis sejumlah karya mereka dengan menggunakan istilah atau lafal ar-riqqah, dan memberikan tempat atau bab khusus tentang hal tersebut dalam buku-buku mereka. Mereka menuliskannya dengan judul, "Kitabur Raqaaiq" atau "ar-Riqaaq". Dan tokoh mereka dalam hal ini adalah imam seluruh ahli hadits, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhari—rahimahullah.
Lafal ar-raqaaiq atau ar-riqaaq merupakan bentuk plural dari kata "raqiiqah". Hadits-hadits tertentu dikatakan ar-raqaaiq karena di dalam setiap hadits-hadits tersebut terdapat hal yang dapat membuat hati menjadi lembut.
Para ahli bahasa berkata, "Kata ar-riqqah bermakna ar-rahmah (kasih sayang), dan lawan katanya adalah al ghilzhah (kekerasan hati)."
Imam ar-Raghib al Ashfahani—rahimahullah—berkata, "Apabila sifat ar-riqqah (kelembutan) dipakai untuk perangai jiwa, maka kebalikannya adalah "al qaswah" (keras hati), seperti raqiiqul qalbi dan qaasil qalbi keduanya bermakna "berhati keras". (Lihat Fathul Bari juz 11 hal. 233).
Buah Kelembutan Hati
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْب
ُ
"Dan sesungguhnya, di dalam jasad itu terdapat segumpal daging, apabila ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Dan apabila ia rusak, maka rusak pulalah seluruh jasad itu. Ketahuilah, ia adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hati yang terdidik di atas ketaatan kepada Sang Mahapengasih akan menjadikan pemiliknya bersifat lemah lembut dan sangat mudah menangis. Dan hal itu disebabkan karena permohonannya yang ikhlas kepada Rabb-nya agar memiliki sifat kelembutan hati untuk melelehkan air mata.
Karenanya, ketika alunan ayat-ayat suci Al Qur’an terlintas di pendengaran orang-orang shaleh, mereka lalu meresapinya hingga masuk ke dalam lubuk hati mereka. Maka pada saat itulah hati mereka bereaksi untuk melelehkan air mata. Walaupun yang mereka dengar hanya sepenggal ayat.
Maka di manakah kita dari orang-orang seperti mereka?
Mungkin kita pernah menangis, atau bahkan sering menangis. Tapi itu bukan karena Allah, mungkin karena kehilangan harta, sakit yang diderita, kerabat yang meninggal, atau bisa jadi untuk menarik perhatian manusia, dan sebagainya.
Memang, masalah tangis adalah persoalan yang sangat sulit dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hati yang gersang, keruh, dan kotor. Terlebih lagi hati yang telah keras membatu dari peringatan Allah berupa ancaman neraka. Sebagaimana firman Allah سبحانه وتعلى,
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً
"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi." (QS. Al Baqarah: 74).
Hal ini dapat dijumpai pada orang-orang yang hatinya sedang lalai dari pengawasan Allah سبحانه وتعلى.
Masalah ini tidak hanya menimpa orang-orang awam atau orang yang tidak kenal agama ini, tetapi juga bisa menimpa para aktifis dakwah, penuntut ilmu syar’i, bahkan ulama sekalipun, karena tidak mengamalkan ilmu mereka dengan baik. Beribadah hanya karena ingin dikatakan sebagai ahli ibadah, orang alim dan lain sebagainya.
Sebab-sebab Lembutnya Hati
1. Memelihara hati dari penyimpangan dan dosa
Dalam bahasa Arab, hati dinamakan dengan al qalbu, karena sifat dan keadaannya yang senantiasa berubah-ubah. Sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم ,
مَثَلُ الْقَلْبِ كَرِيشَةٍ بِأَرْضِ فَلاَةٍ تُُقَلِّبُهَا الرِّيحُ
"Perumpamaan hati seperti bulu-bulu di tengah tanah lapang yang dihembus angin (hingga beterbangan) (HR. Ibnu Majah, dan dinyatakan shahih oleh Al Albani).
Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah berkata, "Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba menempuh jalan menuju Allah سبحانه وتعلى dengan hati dan tekad bajanya, dan bukan dengan fisiknya. Hakekat takwa adalah takwanya hati, bukan takwanya anggota badan.
Sebab Allah سبحانه وتعلى berfirman, artinya: "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya." (QS. Al Hajj: 37). Sedangkan posisi takwa itu adalah di hati. Maka orang yang cerdik adalah orang yang menempuh perjalanan (menuju Allah) dengan bekal tekad yang benar, cita-cita yang tinggi serta membersihkan dan menjernihkan niatnya diikuti amal. Hal itu sangat jauh berbeda dengan perjalanan yang ditempuh oleh orang yang sama sekali tidak membekali dirinya dengan sifat-sifat tersebut meski dibarengi dengan jerih payah dan kerja keras. Melaju menuju Allah adalah tekad bulat, bertujuan yang benar serta keinginan yang membara.
2. Melepas hati dari jerat dunia Manusia senantiasa sibuk dengan kemewahan, hiruk-pikuk, dan permainan dunia. Padahal yang sibuk dengannya adalah hati. Bukan jasmani. Bukan pula segenap anggota badan. Meskipun yang langsung bereaksi dengannya adalah fisik dan anggota badan. Tapi, hatilah yang sebenarnya terjerat, yang senantiasa sibuk dengan kemewahan dunia dan mencintainya.
Orang yang hatinya telah terjerat dan terpenjara oleh nikmatnya dunia, ia merasa seakan tidak diciptakan di dunia ini kecuali untuk menghimpun dan menguasainya. Tidaklah ia dilahirkan kecuali untuk meraih kenikmatannya, baik yang halal maupun yang haram. Sehingga hal itu melenakannya dari kewajiban-kewajibannya dan hak-hak orang lain.
Adapun orang yang meletakkan dunia hanya di tangannya, maka berbahagialah orang yang berbuat demikian. Mereka adalah para pendahulu (salaf) umat ini. Di mana dunia justru dilapangkan kepada mereka dan dihimpunkan bagi mereka, tapi itu semua hanya berada sebatas di tangan mereka. Sebab itu, kehidupan mereka yang zuhud terhadap dunia patut diteladani.
Di antara mereka adalah Abdurrahman bin ‘Auf Radhiyallahu Anhu, berikut ini adalah kisah teladan beliau:
Suatu ketika beliau sedang menghadapi hidangan untuk berbuka puasa, ia berkata, "Mush’ab bin ‘Umair ketika terbunuh sedang ia lebih baik dariku tak didapati kain kafan yang cukup untuk membalut tubuhnya, kecuali selembar kain burdahnya. Jika ditutupkan di kepalanya, kedua kakinya nampak, dan jika yang ditutup adalah kakinya, maka kepalanya yang terlihat. Sedangkan aku telah dikaruniai dengan harta yang begitu luasnya", atau ia berkata, "Sedang aku diberi harta dunia yang begitu banyaknya, sehingga aku merasa khawatir, rezki sebanyak itu sengaja didahulukan oleh Allah untukku." Kemudian ia menangis sesenggukan, lalu meninggalkan makanan itu.Wallahul Haadi Ilaa Sabiilir Rasyaad, Abu Umair Adiningrat al Bahari (Al Fikrah)
Sumber: Kiat Melembutkan Hati dan Menangis karena Allah, oleh Abdul Karim bin Abdul Majid ad-Diwaan