Islam adalah satu-satunya pedoman yang benar dalam menuntun pemeluknya ke arah yang lebih baik. Pedoman yang mengajak manusia berbuat yang benar lagi baik dalam kehidupan dunia yang fana ini. Setiap sesuatu yang menggiring manusia ke pada kerugian, sudah diperingatkan dalam ajaran Islam untuk dijauhi dan ditingnggalkan. Dan sebaliknya hal-hal yang menjadikan manusia baik dan untung, tidak mendatangkan kerugian bagi mereka di dunia, apa lagi di akhirat sudah menjadi bagian yang diperintahkan untuk dikerjakan dalam agama Islam.

Tidak terkecuali marah, ada tuntunannya dalam Islam bagaimana semestinya ketika dalam keadaan marah agar kita tidak menuai kepahitan kerena marah. Sebab marah, bangunan yang susah-susah didirikan bertahun-tahun, runtuh seketika, keluarga yang dibina, dan punya komitmen sehidup semati bubar gara-gara marah yang tidak bisa dikendalikan, lantaran emosi, seseorang keluar dari komunitasnya, hubungan keluarga retak atau renggang adalah efek dari amarah tak terbendung, dan banyak lagi kerugian lain dalam kehidupan nyata yang ramai dalam pemberitaan di media massa, dan medsos, kesemuanya menjadi bukti bahwa marah sesuatu yang merugikan dalam kehidupan.

Peroleh surga dalam menahan amarah

Raih untung kalau kita bisa menahan amarah, meskipun sulit, tapi bukan hal yang mustahil kalau kita bisa meredamnya. Memang enteng dalam mengucapkan ‘jangan marah’, tapi praktek di lapangan banyak hambatannya, ya begitulah keadaannya sesuatu yang penuh kesulitan dalam mengamalkannya jika diraih mendatangkan keuntungan yang luar biasa, tidak tanggung-tanggung surga balasannya jika kita mampu menahan amarah kita. Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada seorang laki-laki yang meminta amalan yang memasukannya ke surga,

قال رسولُ الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -:
“لا تَغْضَبْ، ولَك الجَنَّةُ”.
[ناصر الدين الألباني ,صحيح الترغيب والترهيب ,3/46]
“Jangan kau marah, dan bagimu surga”. (HR. Thabrani) dalam shohih targib wa targib 3/46.

Dalam Taudhih Al Ahkam dinukil perkataannya Ibnu Rajab rahimahullah tentang makna ‘jangan marah’ dalam hadits tersebut, yaitu:
1. Perintah agar mengupayakan hal-hal yang menjadi sebab kita harus berakhlak baik, yaitu dengan santun, malu, tidak ceroboh, menahan diri untuk menyakiti, lapang dada, pemaaf, menahan marah, wajah berseri, dan menyenangkan, dan lain-lain dari akhlak yang mulia, karena sesungguhnya jiwa jika berakhlak yang mulia yang demikian dan sudah menjadi kebiasaannya pasti akan mampu menahan amarahnya ketika muncul sesuatu yang membuatnya marah.
2. Jangan melakukan atau melampiaskan amarahnya tatkala emosi itu datang, bahkan tahanlah emosimu untuk tidak melampiaskannya (baik dengan ucapan atau perbuatan), kerjakanlah apa yang Allah perintahkan, karena amarah jika menguasai anak cucu Adam maka ia akan menjadi pendorong melakukan sesuatu atau mencegah melakukan sesuatu. (Abdullah Bin Sholih Alu Bassam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughil Maryam, 7/423).

Jadi keuntungan yang kita dapatkan adalah surga ketika kita mampu menahan amarah kita dengan menampakkan akhlak yang baik dengan tidak melampiaskan dalam bentuk kata-kata yang tidak beretika dan perbuatan yang tidak bermoral dan tidak berperikemanusiaan. Bukan hanya itu ia mampu memberikan maaf kepada orang lain, Allah Ta’ala berfirman:

(…. وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ)
[Surat Asy-Syura 37]

Artinya: “…..dan apabila mereka marah segera memberi maaf”. (QS Asy Syura 37).

Dan bagimu surga

Kalimat tersebut adalah kalimat pemicu yang luar biasa bagi orang beriman untuk berbuat yang lebih baik, ini adalah janji yang keluar dari mulut manusia yang tak pernah sekalipun berkata dusta, tak pernah menyalahi janji. Orang yang ketika berbicara tidak mengikuti hawa nafsunya.

Orang yang hatinya penuh dengan keimanan akan terpicu hingga terpacu karena terpukau mendengar bahwa balasan bagi yang berhasil meredam amarahnya adalah surga yang dipersiapkan bagi orang yang bertakwa. Dan termasuk orang bertakwa adalah yang mampu menahan amarahnya, Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Artinya: ” (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.(QS. Ali Imran 134)”.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, yaitu mereka menyembunyikan amarah mereka dan tidak mengamalkannya (melampiaskan dalam bentuk ucapan dan perbuatan).

Amarah dalam keluarga

Seorang suami hendaklah mampu menahan amarahnya, tidak mengeluarkan cacian, makian karena sesuatu hal yang membuatnya marah. Sebenarnya untuk menonjok istrinya hingga terkapar dengan sekali pukul ia mampu, tapi itu tidak dia lakukan karena ia tahu bahwa yang paling kuat adalah yang paling bisa menahan amarahnya, ia tidak mau seperti lelaki lainnya yang bisa menahan amarahnya terhadap orang lain, tapi pada keluarga sendiri ia tidak tanggung-tanggung meluapkan murkanya dengan cacian, makian, bahkan rela mencederai perempuan yang menjadi teman hidupnya yang sah.

Di saat istri emosinya tak tertahankan untuk marah dan mengeluarkan kata-kata yang membuat ia tersinggung maka janganlah ia terpancing meladeninya dan membalasnya dengan luapan amarah juga, kalau begitu yang terjadi maka bisa jadi masalah yang sepele akan menjadi badai yang menggulung memporandakan bahtera pernikahan, diamlah dan tahan emosi, biarlah apa kata orang bahwa kita itu banci, di bawah ketiak istri, tidak jago dan apa lagi sebutan lainnya yang disematkan pada kita, sebab itu tadi karena kita mengerti yang kuat adalah yang pandai menahan amarah.

Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda

ليسَ الشديدُ بالصُّرَعَةِ، إنَّما الشديدُ الذي يَمْلِكُ نَفْسَه عند الغَضَبِ”.
Artinya: “Bukanlah orang yang kuat adalah orang yang pandai bergulat, hanya saja yang kuat adalah orang yang mampu menahan nafsunya ketika marah”.(Muttafaqun ‘alaihi).

Dalam Taudhih Al Ahkam Min Bulughil Maram, disebutkan bahwa: ” Hadits itu menunjukkan bahwa sesungguhnya kekuatan yang sebenarnya adalah bukanlah kuat otot, kuat jasmani, hanya saja kekuatan yang sebenarnya adalah kekuatan rohani, maka bukanlah yang kuat adalah orang yang membanting orang-orang yang kuat lainnya selalu. Hanya saja yang kuat itu adalah yang mampu melawan hawa nafsunya dan menundukannya tatkala amarahnya memuncak, ia mampu mengekangnya, hingga tidak dapat mendorongnya melakukan hal yang diharamkan, yaitu menyerang, dan menahan lidahnya hingga ia tidak mengucapkan ucapan yang diharamkan dari cacian, laknat, menuduh (tanpa bukti) atau selain dari itu. (Abdullah Al Bassam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughil Maram 7/394).

Sebaliknya ketika suami marah tapi masih tetap menghindari cacian, makian, sang istri diam seribu bahasa untuk menjaga adu mulut dan menjaga sang suami lebih naik tensinya, bahkan ia tetap menjaga etikanya dihadapan suami, ia rasakan tidak sedap tidurnya sebelum suami ridha padanya. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shalallahu’Alaihi Wasallam bersabda:

; ونساؤكم من أهل الجنة الودود الولود العؤود على
زوجها التي إذا غضب جاءت حتى تضع يدها في يد زوجها، وتقول: لا أذوق غمضا
حتى ترضى “.
أخرجه تمام الرازي في ” الفوائد ” (ق 202 / 1) وعنه ابن عساكر (2 / 87 / 2
[ناصر الدين الألباني، سلسلة الأحاديث الصحيحة وشيء من فقهها وفوائدها، ٥٧٨/١]
Artinya: istri-istri kalian yang termasuk penduduk surga adalah yang penyayang, yang subur, yang setia pada suaminya, yang mana jika suaminya marah (karenanya) ia datang (menghadapinya) sampai meletakkan tangannya pada tangan suaminya dan dia berkata aku tidak bisa memejamkan mata (untuk tidur) sampai engkau Ridha.”(HR. Tamam ar-Razi dalam Al Fawaid, silsilah ahadits ash shohihah oleh Al Albani).

Agar selaras dengan cita-cita kita menggapai surga dengan menahan amarah serta rumah tangga yang jadi ‘rumahku adalah surgaku tentu Seorang kepala keluarga hendaklah pintar-pintar menempatkan dirinya, kapan dia harus marah dan kapan harus meredam amarahnya. Rumah tangga yang jadi surga bagi penghuninya bukan berarti hampa prahara dan tragedi tapi semuanya seperti badai kan berlalu, dilalui dengan sabar dan saling pengertian. Ketika terjadi pelanggaran syar’i dalam keluarganya seperti meninggalkan salah satu perintah Allah maka hendaklah ia memperingatkannya agar tidak lalai, bahkan kalau perlu memarahinya tanpa menghilangkan kelembutan, tentu tujuannya agar mereka melaksanakan perintah Allah. Ini adalah marah karena Allah.

Akhirnya jika saja balasan di akhirat adalah surga bagi orang yang menahan amarahnya maka sudah cukup menunjukkan bahwa amalan ini sangatlah luar biasa.

H. Abdurrahman Ever Piter, SH

Artikulli paraprak‘Bahasa Cinta’ Diulas Di Taklim Sakinah Wahdah Islamiyah Gowa
Artikulli tjetërPasukan Salib Melawan Orang-orang “Kafir”

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini