Seperti diberitakan beberapa media akhir-akhir ini, kemungkinan kembali akan terjadi perbedaan dalam penetapan Idul Fitri 1 Syawal 1436 H. Sebagian ormas yang menggunakan metode hisab telah menetapkan sejak jauh sebelumnya bahwa 1 Sayawal 1436 H jatuh pada hari Jum’at, 17 Juli 2015. Meskipun adapula pengguna metode hisab yang menetapkan hari Sabtu. Sementara pengguna metode ru’yat yang merupakan madzhab resmi pemerintah dan didukung oleh ormas Islam lainnya masih menunggu hasil pemantauan hilal syawal yang akan dilakukan pada hari Kamis (16/07). Hasil pemantauan hilal tersebut kemudian akan dibahas dan diputuskan dalam sidang itsbat yang akan dilakukan pada hari yang sama.
Apakah penetapan hari Raya 1 Syawal penganut metode hisab akan berbeda dengan penganut metode ru’yat? Apakah masalah ini tidak bisa menemukan titik temu untuk bersatu? Apa saja langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh demi mewujudkan penyamaan penetapan 1 Syawal?
Berikut wawancara Dr. H. Zaitun Rasmin, Ketua Umum Wahdah Islamiyah dengan Pro 3 RRI Pusat, pada Rabu (15/07)
Akankah ke depan Indonesia biasa bersatu dalam pelaksanaan Idul Fitri?
Untuk tahun ini kami dari Wahdah Islamiyah sangat optimis kemungkinan akan jatuhnya hari raya Idul Fitri yang disepakati secara bersama oleh masing-masing komponen. Kami sampaikan ini tentu punya dasar karena posisi bulan pada terbenannya matahari nanti itu sudah tiga derajat pada sebagian wilayah di Indonesia.
Kerena itu kemungkinan untuk diru’yat sangat besar atau dalam istilah sekarang imkanur ru’yat. Ini untuk menepis pesimisme yang disampaikan oleh sebagian kalangan yang mengatakan bahwa hari raya Idul Fitri kali ini kembali berbeda. Bagi saya, semestinya para tokoh, ulama, intelektual, politisi, pimpinan ormas harus mengedepankan optimisme persatuan daripada pesimisme.
Kalau kita melihat negara-negara lain seperti Malaysia, Arab Saudi, dan Turki, kenapa mereka begitu mudah bersatu menyepakati hari raya Idul Fitri? Bagaimana dengan Indonesia?
Ini sedikit perbedaan dengan kita di Indonesia, jika dibandingkan dengan misalnya Malaysia, Arab Saudi dan Turki. Sebab mereka memiliki sebuah lembaga otoritas khusus yang dapat diterima oleh seluruh komponen masyarakat Islam. Jika lembaga tersebut mengumumkan penetapan hari raya maka seluruh masyarakat dapat menerima baik yang menggunakan metode ru’yat maupun hisab. Kita berharap suatu saat di negeri kita juga terjadi demikian.
Karena itu, jalan menuju persatuan, selain diskusi tentang metode, kriteria, termasuk tentang kalender, maka segera menyepakati sebuah otoritas tentang persoalan penetapan hari Raya ini. Ini Sangat penting sebab kemungkinan berbeda itu selalu ada.
Kalau mereka punya badan tersendiri untuk menyatukan hari raya, kita kan punya Kementerian Agama? Apakah itu belum cukup?
Semestinya sudah cukup. Namun kita memaklumi kalau sebagian dari kita memiliki pandangan lain, bukan pada posisi tidak mau mengakui otoritas Kementerian Agama, cuma saja ada keyakinan bahwa ini ta’abbudi, masalah ibadah yang masing-masing berhak menentukan. Nah, di sini yang perlu diluruskan, kita setuju pandangan yang mengatakan ini ta’abbudi tapi khusus untuk penetapan awal Ramadhan dan akhir Ramadhan sesungghnya ini ibadah bukan hanya untuk perorangan atau hanya untuk kelompok, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, As-Shaumu yauma tashumun wal fithru yauma tufthirun. Hadis ini menunjukkan bahwa ibadah puasa adalah ibadah jama’iyah yang harus dilakukan secara bersama-sama sejak awal sampai akhir. Tentu saja kita sangat menghargai perbedaan metode yang digunakan tapi diperlukan adanya diskusi untuk menemukan katakesepakatan itu.
Sudah sejauh mana wacana untuk membentuk badan otoritas itu?
Sebetulnya pembicaraan ke arah itu belum terlalu tajam karena selama ini masih mendiskusikan perbedaan metode dan kriteria. Saya sangat berharap agar diskusi tentang otoritas penyatuan ini dimunculkan. Namun untuk penetapan 1 Syawal 1436 Hijriah ini saya sangat optimis akan bersatu. Selain itu, sebetulnya ada metode lain yang bisa digunakan untuk penetapan 1 Syawal, walaupun belum ada sebuah otoritas yang disepakati bersama, misalnya Menteri Agama yang sekarang ini dipandang memiliki otoritas oleh mayoritas umat, bisa saja menetapkan 1 Syawal walaupun besok tidak ada yang melihat bulan tetapi dengan pertimbangan tertentu karena beliau memegang otoritas apalagi sudah ada imkanur ru’yat, maka bisa saja ia menetapkan bahwa Idul Fitri jatuh pada hari Jumat, insya Allah semua bisa menerima. Itu opsi pertama.
Opsi kedua, bisa saja Ormas-ormas yang terlanjur mengumumkan bahwa 1 Syawal itu jatuh pada hari Jumat namun dalam kompromi dari hasil musyawarah, demi menjunjung persatuan dan ukhuwah bisa saja mengalah untuk kemudian tidak puasa pada hari Jumat namun Idul Fitrinya bersamaan dengan pemerintah pada hari Sabtu, ini juga ada dasarnya dari sunnah Nabi, Bahwa bisa saja seseorang yang telah mengetahui munculnya bulan namun mayoritas tidak mengakui itu maka mereka bersabar untuk menunggu lebaran bersama walaupun sudah tidak puasa lagi. Dengan dua poin itu, saya berharap kita bisa bersatu, dan semoga Bapak Menteri Agama dapat mengambil langkah tersebut. Intinya ukhuwah lebihdiutamakan.
Sebagai penutup, andaikan terpaksa harus berbeda lagi, ada yang lebaran pada hari Jumat dan ada yang hari Sabtu, maka kita tetap menjaga ukhuwah dan persatuan, saling menghormati, tidak saling menghalangi dan menyalahkan walaupun dengan catatan, ini sangat disayangkan di negeri kita, bagi bangsa yang cinta persatuan namun sangat susah bersatu ketika menentukan 1 Syawal untuk Idul Fitri.