Tauhid sesungguhnya merupakan fitrah dari manusia sejak Adam alaihissalam pertama kali diciptakan (QS. 7:172, 30:30). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang mengubahnya menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (HR. At-Thabrani dan Al-Baihaqi) Makna Tauhid
Kata “Tauhid” dalam bahasa Arab merupakan masdar (kata dasar) dari kata: wahhada- yuwahhada-tauhid yang berarti mengesakan/mengakui keesaan.
Secara istilah, kata “tauhid” berarti mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam rububiyah dan dalam uluhiyahNya, serta mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Tauhid sesungguhnya merupakan fitrah dari manusia sejak Adam alaihissalam pertama kali diciptakan (QS. 7:172, 30:30).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang mengubahnya menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (HR. At-Thabrani dan Al-Baihaqi)
Penyimpangan manusia dari fitrah tauhid ini terjadi karena pengaruh beberapa hal, antara lain :
1. Pendidikan yang salah
2. Godaan syetan
3. Mengikuti hawa nafsu
4. Taqlid buta kepada nenek moyang
5. Akibat perbuatan dosa
Jadi Allah telah mempersiapkan dengan fitrahnya itu untuk bertauhid kepadaNya. Dan untuk menyempurnakannya Allah mengutus para rasul sebagai teladan dan pemandu manusia.
Kedudukan Tauhid
1.Tauhid merupakan dasar aqidah Islamiyah yang dinyatakan dengan kalimat syahadat.
2.Tauhid menjadi sebab terjaganya jiwa, harta dan kehormatan seseorang.
Nabi bersabda:“aku diperintahkan memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, maka ketika mereka melakukan hal ini mereka akan terlindung jiwa dan hartanya kecuali dengan haknya” (Muttafaqun ‘alaih).
3.Menyerukan tauhid dengan tugas pokok para rasul sejak Nabi Nuh ‘alaihis salam sampai nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam (QS. 16?:36) Serauan pertama para rasul kepada kaumnya adalah seruan untuk menyembah Allah saja dan menjauhi sembahan selain Allah. (QS. 7:59, 65, 73, 85).
4.Tauhid adalah hak Allah atas manusia. Muadz bin Jabal meriwayatkan bahwa : “Saya pernah duduk dibelakang Nabi diatas seekor keledai lalu nabi bertanya kepadaku, “Hai Muadz, tahukah kamu apa hak Allah atas hambaNya dan apa hak hamba atas Allah” Saya menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui. Sabda Nabi: “hak Allah atas hambaNya adalah agar mereka menyembahnya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun. Dan hak hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak menyekutukannya dengan sesuatupun”. Saya bertanya: “Ya Rasulullah, bolehkah saya beritahukan ini kepada manusia?” Jawab Nabi: “Jangan, nanti mereka akan mengandalkannya semata” (Muttafaqun ‘Alaih)
5.Tauhid adalah salah satu syarat diterimanya ibadah.
6.Tauhid adalah seruan umat Islam kepada umat lain. (QS. 3:64)
7.Tauhid adalah penyebab seseorang mendapatkan syafa’at dari Rasulullah di hari kiamat. Nabi bersabda: “Orang yang paling beruntung dengan syafa’atku di hari kiamat adalah orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya” (HR. Bukhari)
Macam-Macam Tauhid
Keyakinan seorang muslim terhadap tauhid mencakup tiga macam tauhid, yaitu: rububiyah, uluhiyah, dan asma dan sifat.
1. Tauhid Rububiyah
Kata rububiyah adalah bentuk nisdbah kepada salah satu asma Allah yaitu Ar-Rabb yang memiliki beberapa arti antara lain : *Al-Murabby (Yang Mengatur, Mendidik, dan Membesarkan)
*An-Nashir (Yang Menolong, dan Membela)
*Al-Malik (Ynag Memiliki, Menguasai, dan Merajai)
*Al-Mushlih (Yang Memperbaiki)
*Al-Wali (Yang Melindungi, Menguasai, dan Memimpin).
Tauhid rububiyah artinya meyakini bahwa hanya Allah Yang Maha Menciptakan, Memiliki, dan Mengatur alam. Tiadak sekutu bagi Allah dalam berkuasa. Dan segala sesuatu selain Allah tidak ada yang mampu mendatangkan manfaat dan mudharat baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, kecuali atas izin dan kehendak Allah.
Tauhid rububiyah ini dapat diterima oleh setiap orang yang menggunakan akal sehatnya. Misalnya orang musyrik juga mengakui rububiyah Alah dalam penciptaan, tetapi mereka tetap disebut orang musyrik/kafir. (QS. 52: 35, 34:9, 23:84 -89). Oleh sebab itulah tauhid rububiyah ini belumlah cukup.
2. Tauhid Uluhiyah
Uluhiyah berasal dari kata “ilaah” yang artinya al-ma’bud (yang disembah dan al-mutha’ (yang dipatuhi). Jadi tauhid uluhiyah artinya mengesakan Allah dalam ibadah dan kepatuhan atau dengan kata lain, mengesakan Allah dalam perbuatan hamba seperti shalat, puasa, zakat, hani, penyembelihan, nadzar, takut, harap, dan cinta yang semuanyta dilakukan dalam rangka mematuhi Allah serta mengharap cinta dan ridhaNya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Agama Islam dibangun diatas dua pilar yaitu mewujudkan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan kesaksian bahwa Muhammmad adalah utusan Allah. Hal itu diawali dengan tidak menjadikan tuhan lain bersama Allah, sehingga anda tidak mencinta makhluk seperti kecintaan kepada Allah tidak mengharap kepada makhluk seperti pengharapan kepada Allah, dan tidak takut terhadap makhluk seperti takut kepada Allah.Barangsiapa yang menyamakan antara Allah Al-Khalik dengan makhluk dalam hal tersebut, sesungguhnya ia telah menjadikan tandingan kepada Allah dan menjadikan tuhan lain bersama Allah, walaupun ia meyakini bahwa hanya Allahlah yang menciptakan langit dan bumi…(Majmu’ Al-Fatawa, 1/310).
Pernyataan diatas maksudnya adalah beribadah hanya kepada Allah, dan tidak beribadah kepada tuhan-tuhan lain bersama ……. tanpa Allah. Dengan demikian, tidak ada satu jenis ibadahpun yang diarahkan kepada selain Allah dan tidak berhukum dalam segala urusan kecuali kepada Allah. Inilah dakwah seluruh rasul dan letak permusuhan mereka dengan musuh-musuhnya dari orang-orang musyrik sepanjang sejarah. Lihat QS 6:162-163,114,14.
3. Tauhid Asma’ wa Shifat
Tauhid asma dan sifat artinya mengakui dan meyakini dengan sepenuh hati nama-nama dan sifat Allah yang tercantung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa ta’thil (menafikan maknanya), tahrif (mengubah makna), tamtsil (menyerupakan), dan takyif (mereka-reka). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. 42-11
Bagian pertama dari ayat itu “Laitsa kamitslihi syai’un” (tiada sesuatupun yang serupa dengan Dia) berisi peniadaan secara total terhadap penyerupaan dan rekaan terhadap nama dan sifat Allah.
Dan bagian kedua “wa huwa As-Sami’ul Bashir” (dan Dialah ayng Maha mendengar dan Maha Melihat) berisi penetapan asma dan sifat Allah secara terinci sekaligus penolakan tehradap ta’thil dan tahrif (perubahan)
Dengan demikian, maka ahlus sunnah waljama’ah adalah pertengahan, antara kaum musyabbihah (orang-orang yang mentasybih) yang berlebihan dalam itsbat (penetapan sifat) sehingga menjadi para penyembah berhala dan kaum mu’ahthilah (yang menta’thil) yang berlebihan dalam tanzih (menyucikan) sehingga menjadi penyembah sesuatu yang tidak ada. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Maha Suci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam” (QS. 37: 180-182).
Allah telah menyuicikan diriNya dari sifat yang diberikan oleh orang-orang yang menentang para rasul, dan memberikan kesejahteraan kepada para rasul atas kebersihan ucapan mereka dari kekurangan dan cacat.
Abu Zur’ah dan Abu Hatim dalam I’tiqad-nya mengatakan, “Sesungguhnya Allah di atas arsy-Nya dan berbeda dengan makhlukNya, sebagaimana disifatkanNya sendiri dalam kitabnya melalui lisan RasulNya tanpa kayf (penggambaran), dan ilmu Allah meliputi segala sesuatu”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Prinsip dalam bab ini adalah menyifati Allah dengan sifat yang disebutkanNya sendiri dan sifat yang disebutkan rasulNya, baikd alam hal penafian maupun peng-itsbat-an. Kita menetapkan sifat yang Allah tetapkan untuk diriNya. Jalan yang ditempuh pendahulu ummat ini dan para imamnya adalah mentapkan sifat-sifat yang ditetapkan Allah tanpa takyif dan tamtsil, tanpa tahrif dan ta’thil. Begitu juga mereka menafikans ifat yuang Allah nafikah dari diriNya tanpa ilhad (pengingkaran), baik dalam asma’ (nama-nama)-Nya maupun ayat-ayat-Nya, karena Allah mencela orang-orang yang ilhad terhadap nama-nama dan ayat-ayatNya,” sebagaimana Allah firmankan, “Hanya milik Allah asmaul husna. Maka bermohonlah kepadanya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkan orang-orang yang mengingkari (ilhad) nama-namaNya. Nanti mereka mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (QS.7:180).
Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami., Maka apakah orang-orang yang dilemparkan kedalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa para hari kiamat. Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sehsungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. 41:40)
Jalan mereka adalah menetapkan nama dan disertai penafian mempersamakan dengan makhluik, yakni itsbat tanpa tasybih dan tanzih tanpa ta’thil, sebagaimana Allah firmankan, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. 42:11). “(Majmu’ Al-Fatawa, 3/257).
Itsbat = Penetapan
Tasbih = Penyerupaan