Tanya ustadz, Bagaimana memahami nama dan sifat Allah yang di antara kaidahnya adalah tanpa takwil sedangkan dalam beberapa sifat Allah mesti ditakwil misalnya ma’iyatullah ditakwil dengan makna umum dan khusus yang intinya tidak bermakna menyatu dengan Allah yang kadang jadi alasan sebagian manusia yang terjatuh dalam takwil sifat misalnya nuzul dll?
(Hasan di Enrekang, Sulawesi Selatan)
Jawab:
Dijawab oleh: Ust. Salahuddin Guntung, Lc., M.A. (Anggota Pleno Dewan Syariah Wahdah Islamiyah dan Kandidat Doktor King Saud University di Riyadh Saudi Arabia)
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه. اللهم علمنا بما ينفعنا وانفعنا بما علمتنا وارزقنا فهم كتابك واتباع سنة نبيك يا أرحم الراحمين، أما بعد:
Dalam memahami nas-nas Alquran dan Sunnah yang berkenaan dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah, kita wajib memahaminya sesuai dengan zhahirnya. Dan yang dimaksud dengan makna zhahir dari nas Alquran dan sunnah adalah makna yang bisa langsung tergambar di dalam benak pikiran orang yang pandai bahasa Arab saat membaca atau mendengarnya. Seperti lafaz:
يَدٌ (tangan),
وَجْهٌ (wajah),
قَدَمٌ (kaki),
يَنْزِلُ (turun),
اسْتَوَى عَلَى (bersemayam di atas),
جَاءَ (datang) dan semacamnya.
Ketika dibaca atau didengar oleh orang yang pandai bahasa Arab maka makna yang langsung tergambar atau terbetik dalam pikirannya adalah tangan, wajah, kaki, turun, bersemayam di atas, datang. Inilah makna zhahir dari setiap lafaz tersebut. Hanya saja makna zhahir dari setiap lafaz bisa berbeda-beda tergantung kepada susunan kalimat, konteks pembicaraan dan kepada siapa lafaz tersebut disandarkan. Lafaz atau kata يَدٌ ketika disandarkan kepada Ahmad hingga terangkai manjadi يَدُ أَحْمَد maka makna zhahirnya adalah tangan Ahmad, dan ketika disandarkan ke monyet dan dirangkai menjadi يَدُ القِرْدِ maka makna zhahirnya adalah tangan monyet, dan jika disandarkan kepada gajah dan dirangkai menjadi يَدُ الفِيْلِ maka makna zhahirnya adalah tangan gajah.
Ketika lafaz:
يَدٌ (tangan),
وَجْهٌ (wajah),
قَدَمٌ (kaki)
disandarkan kepada Allah atau Rabb hingga menjadi يَدُ الله atau وَجْهُ الله atau الرَّبِّ قَدَمُ maka makna zhahir dari lafaz tersebut adalah tangan Allah, wajah Allah dan kaki Rabb. Demikian pula lafaz yang berbentuk kata kerja seperti:
يَنْزِلُ (turun),
اسْتَوَى عَلَى (bersemayam di atas),
جَاءَ (datang)
jika disandarkan kepada Allah atau Rabb dan terangkai menjadi:
« يَنْزِلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى السَّمَاءِ»
maka makna zhahirnya adalah (Allah Azza wajalla turun ke langit). Demikian juga dengan
﴿وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا﴾
makna zhahirnya adalah (Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris) (QS. Al-Fajr: 22).
Begitu pula dengan
﴿إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى العَرْشِ﴾
makna zhahirnya adalah (Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy). (QS. Al-A’raf: 54).
Begitu juga dengan lafaz lainnya, hendaknya dipahami sesuai makna zhahirnya dan tidak memalingkan kepada makna lain yang bukan makna zhahir alias makna kiasan kecuali jika dalil yang memalingkannya adalah ayat Alquran, hadis sahih ataupun ijmak, bukan logika semata, mimpi, perasaan, prasangka dan semacamnya.
Memahami nas-nas Alquran dan sunnah, termasuk nas-nas yang berkenaan dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai makna zhahirnya telah dipertegas oleh Imam Syafi’I dalam kitab Al-Risalah. Beliau menulis:
“والقرآن على ظاهره، حتى تأتي دلالة منه أو سنة أو إجماع بأنه على باطن دون ظاهر”
“Alquran sesuai zhahirnya hingga ada dilalah dari Alquran, atau Sunnah atau ijmak yang menunjukkan bahwa dilalahnya secara batin dan bukan zhahir”.([1])
Artinya nas Alquran tidak boleh dikeluarkan dari makna zhahirnya hingga ada dalil yang mengalihkan zhahirnya kepada makna lainnya. Dan dalil yang dapat mengalihkannya adalah Alquran, atau Sunnah atau ijmak.
Di tempat lain dalam konteks membicarakan hadis-hadis yang berhubungan dengan larangan mengerjakan shalat setelah menunaikan shalat ashar hingga magrib dan shalat subuh hingga matahari terbit dan meninggi, beliau berkata:
“وهكذا غير هذا من حديث رسول الله، هو على الظاهر من العام حتى تأتي الدلالة عنه كما وصفت، أو بإجماع المسلمين: أنه على باطن دون ظاهر، وخاص دون عام”.
“Demikianlah, sikap terhadap hadis ini ataupun hadis Rasulullah yang lainnya, sesuai zhahirnya dan berlaku umum hingga terdapat dilalah dari hadis tersebut sebagaimana Aku sebutkan, atau ada ijmak kaum muslimin bahwa hadis tersebut berlaku batin dan bukan zhahir, khusus dan bukan umum”.([2])
Dalam kedua nukilan tersebut, setidaknya terdapat dua hal penting yang beliau pertegas, yaitu: pertama, kewajiban memperlakukan nas Alquran dan Sunnah apa adanya sesuai zhahirnya. Dan yang kedua, bahwa tidak boleh makna zhahir dari nas tersebut dialihkan kepada makna non zhahir kecuali dengan dalil yang beliau kemukakan. Yaitu dalil Alquran, atau Sunnah, atau ijmak.
Penegasan dan pembatasan beliau dengan ketiga jenis dalil tersebut memberi isyarat bahwa seseorang yang ingin mengalihkan makna zhahir kepada makna non zhahir dari nas Alquran dan Sunnah tidak boleh seenaknya dan sekehendaknya memainkan nas tanpa aturan. Adanya batasan pada ketiga jenis dalil tersebut menolak takwil-takwil yang tidak berdasar kepada ketiganya atau salah satu di antaranya. Dengan demikian mengalihkan makna zhahir suatu nas yang berkenaan dengan nama atau pun sifat Allah hanya karena alasan logika, perasaan atau tradisi dan semacamnya tertolak dalam pandangan Imam Syafi’I rahimahullah.
Sebagai contoh, firman Allah ta’ala:
﴿يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ﴾
Artinya: “Tangan Allah di atas tangan mereka” (QS. Al-Fath: 10).
Secara dzahir, ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai tangan yang hakiki. Maka wajib menetapkan tangan Allah tersebut sesuai dengan keagunganNya, dan tidak serupa dengan tangan makhluk. Jika ada orang yang mengatakan tangan tersebut harus ditakwil dengan kekuatan atau nikmat karena kalau diberlakukan sesuai zhahirnya bahwa Allah memiliki tangan hakiki maka konsekwensinya Allah itu jisim (visual), maka dikatakan kepadanya bahwa ini termasuk takwil, yaitu memalingkan makna ayat dari dzahirnya bukan dengan dasar ayat Alquran, Sunnah ataupun ijmak, melainkan hanya dengan dasar logika.
Contoh lainnya:
Dalam hadisnya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
« إِذَا مَضَى شَطْرُ اللَّيْلِ، أَوْ ثُلُثَاهُ، يَنْزِلُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا»
“Apabila seperdua malam atau duapertiganya telah berlalu maka turunlah Allah Tabaka Wata’ala ke langit yang terendah”. (HR. Muslim No. 758).
Zhahir hadis ini menunjukkan bahwa Allah turun ke langit terendah sesuai dengan keagungan dan kebesaranNya dan tanpa kita ketahui kaifayat turunNya karena Allah dan Rasulullah tidak menjelaskannya.
Dan jika ada orang yang mengatakan bahwa hadis ini harus ditakwil menjadi: turunlah malaikat, atau rahmat, atau perintah Allah. Bukan Allah yang turun, karena jika Allah yang turun maka hal tersebut berkonsekuensi bahwa Arsy akan berada di atasNya, atau Allah akan berada di langit terendah sepanjang waktu. Dengan alasan karena perbedaan waktu sepertiga malam terakhir di setiap negeri atau kawasan berbeda dari negeri dan kawasan lainnya. Maka dikatakan kepadanya bahwa takwil tersebut tidak dapat diterima karena hal tersebut merupakan pengalihan makna hadis dari makna zhahirnya tanpa dalil ayat atau hadis ataupun ijmak. Melainkan logika semata, padahal logika tersebut hanya berlaku bagi makhluk, sedang Allah tidak berlaku bagiNya logika seperti itu karena Allah tidak serupa dengan makhluk.
Perbedaan Istilah Takwil di Kalangan Salaf dan Khalaf
Terminologi takwil dalam tradisi keilmuan ulama mutaakhirin berbeda dengan terminologi takwil dalam tradisi keilmuan ulama salaf. Takwil dalam terminologi ulama mutaakhirin adalah mengalihkan makna suatu lafaz dari maknanya yang rajih (zahir) kepada makna yang marjuh disebabkan adanya dalil yang mengalihkannya. Sedang takwil dalam terminologi ulama salaf diartikan dengan salah satu di antara pengertian berikut, yaitu:
Pertama: tafsir suatu lafaz dan penjelasan maknanya.
Kedua: esensi yang kepadanya kembali suatu kalam. Makna ini biasa disebut sebagai akibat atau hasil akhir dari suatu hal.([3])
Dalam Ilmu Ushul Fikih, dalil ataupun dalih yang dipakai ahli takwil untuk memalingkan makna zhahir kepada makna non zhahir (marjuh) dibagi menjadi tiga([4]):
- Dalil yang sahih dan proporsional; baik ayat, hadis atau pun ijmak, maka takwil dengannya menjadi takwil sahih atau qarib.
- Dalil atau dalih yang diklaim sebagai dalil tidak proporsional maka takwil dengannya menjadikan takwil tersebut fasid atau batil.
- Tanpa dalil atau dalih sama sekali, maka cara ini dikategorikan sebagai bentuk mempermainkan nas-nas syar’i.
Cara yang ketiga tersebut dilakoni oleh orang-orang Syi’ah atau Rafidhah ketika menakwil ayat tertentu dalam Alquran, seperti saat mereka mentakwil kata al-baqarah (sapi betina) yang terdapat dalam ayat ke 67 dari surat al-Baqarah dan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-baqarah adalah Ummil Mukminin Aisyah radhiyallahu anha. Karena takwil tersebut tidak berdasarkan dalil maka dikategorikan sebagai tindakan mempermainkan nas Alquran.
Sedang cara kedua dilakukan oleh ahlul kalam dalam mentakwil nama-nama dan sifat-sifat Allah. Umumnya mereka mentakwil sifat-sifat Allah dengan mengalihkan makna zhahirnya kepada makna marjuh dengan menggunakan logika. Seperti saat mereka mentakwil sifat nuzul sebagaimana disebutkan di atas. Juga Ketika mereka mentakwil sifat majie’ Allah (datangnya Allah pada hari kiamat) dan mengatakan datanglah perintah Allah. Karena menurut mereka, jika makna zhahirnya dipakai, yaitu Allah benar-benar datang maka konsekuensinya Allah itu bergerak, atau mengosongkan tempat yang ditinggalkan dan mengisi tempat yang dituju sementara hal tersebut merupakan karakter jisim sedang Allah bukanlah jisim.
Sedang cara pertama dipakai atau diakomodir oleh salaf, sekalipun sejatinya tidak disebut sebagai takwil, melainkan tafsir. Baik tafsir ayat dengan ayat ataupun dengan hadis. Misalnya ketika para salaf menjelaskan sifat maiyyah (kebersamaan Allah) dengan makhluk yang disebut di dalam firman Allah:
﴿هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا ۖ وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ﴾ [الحديد: 4].
Artinya: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid: 4).
Ketika ayat ini ditafsirkan oleh para salaf bahwa maiyyah Allah dengan makhluk adalah kebersamaan ilmu dan penglihatan Allah. Artinya ilmu dan penglihatan Allah yang menyertai makhluk dan bukan zat-Nya yang membersamai makhluk. Maka sesungguhnya itu bukanlah takwil karena maknanya dalam konteks ayat sesuai zhahirnya. Sebab awal ayat berbicara tentang ilmu Allah dan akhir ayat berbicara tentang penglihatan Allah terhadap perbuatan hamba.
Demikian halnya dengan hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam:
«ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ»
Artinya: “Kasihilah dirimu dengan tidak mengangkat suara berlebihan, karena kalian sesungguhnya tidak berdoa kepada zat yang tuli ataupun gaib, tetapi sungguh kalian sedang berdoa kepada Zat yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat dan Dia bersama kalian”. (HR. Bukhari No. 4205 dan Muslim No. 2704).
Kebersamaan Allah dengan hamba yang berdoa adalah kebersamaan pendengaran. Penafsiran ini tidak keluar dari makna zhahir sehingga tidak dikatakan sebagai takwil. Pun kalau dikatakan sebagai takwil maka takwil tersebut didukung oleh dalil dari konteks hadis itu sendiri.
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah menegaskan: “Berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, dibolehkan salah satu ayat ditafsirkan dengan zhahir ayat lain dan memalingkan dengannya dari zhahir kalam. Tidak ada larangan dalam hal ini di kalangan Ahlus Sunnah. Meski tindakan tersebut disebut sebagai takwil dan pengalihan makna zhahir tetapi hal itu karena didukung oleh dilalah Alquran dan sejalan dengan Sunnah serta disetujui oleh salaf. Karena hal tersebut merupakan tafsir ayat Alquran dengan Alquran dan bukan tafsir dengan rakyu. Yang terlarang adalah memalingkan Alquran dari kandungannya tanpa dilalah dari Allah, RasulNya dan para salaf”.([5])
Demikian halnya, ketika para salaf membagi maiyyah Allah menjadi maiyyah umum yang bermakna kebersamaan ilmu, penglihatan dan pendengaran Allah dengan makhluk secara umum, baik yang (taat) ataupun yang durhaka. Dan maiyyah khusus, yaitu khusus untuk orang-orang taat, yang berarti kebersamaan Allah dengan makhluk tertentu dengan pertolongan, bantuan dan kemenangan dariNya. Dinamakan maiyyah khusus karena khusus orang atau kelompok tertentu. Hal ini diketahui dari konteks dalilnya. Misalnya maiyyah dalam firman Allah:
“Sewaktu dia (Muhammad) berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40). Ini adalah maiyyah khusus, yaitu kebersamaan Allah dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Abu Bakar radhiyallahu anhu saat bersembunyi di Gua Tsur.
Demikian halnya dengan firman Allah:
“Allah berfirman: “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat”. (QS. Thaha: 46) Ini adalah maiyyah khusus, yaitu kebersamaan Allah dengan Nabi Musa dan Nabi Harun alaihimus salam sewaktu diperintah oleh Allah untuk menjumpai dan mendakwahi Fir’aun.
Begitu pula dengan firman Allah:
“Bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46). Ini juga maiyyah khusus, yaitu khusus untuk orang-orang yang sabar.
Hal tersebut sejatinya tidak dinamakan sebagai takwil dalam terminologi khalaf karena hal tersebut merupakan makna zhahir dari ayat-ayat maiyyah yang didukung oleh ayat, hadis dan atsar dari salaf. ([6])
Dalam kajian nama-nama dan sifat-sifat Allah, istilah takwil dan penggunaannya telah menjadi bias. Sehingga kadang penjelasan makna zhahir dari nama ataupun sifat Allah pada ayat tertentu dengan menggunakan ayat lain atau pun hadis yang berhubungan dengannya dianggap sebagai takwil. Padahal dalam tradisi salaf penjelasan tersebut sesungguhnya bukanlah takwil melainkan tafsir ayat dengan ayat atau dengan hadis.
[1]() Lihat: Al-Risalah, hal. 435.
[2]() Lihat: Al-Risalah, hal. 278.
[3]() Lihat: Adhwa al-Bayan fi Iedhah Al-Qur’an bi Al-Qur’an, karya Syaikh Muhammad Amin al-Syinqithi: I/190. Muzakkirah Ushul al-Fiqh, karya Syaikh Muhammad Amin al-Syinqithi, hal 211. Ma’alim Ushul al-Fiqh inda Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Karya Prof. Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani, hal 386.
[4]() Lihat: Adhwa al-Bayan fi Iedhah Al-Qur’an bi Al-Qur’an, karya Syaikh Muhammad Amin al-Syinqithi: I/190-191. Muzakkirah Ushul al-Fiqh, karya Syaikh Muhammad Amin al-Syinqithi, hal 212-213. Ma’alim Ushul al-Fiqh inda Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Karya Prof. Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani, hal 386.
[5]() Lihat: Majmu’ al-Fatawa: VI/21.
[6]() Lihat: Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, Prof. Dr. Khalid al-Mushlih: X/7-8. Versi Maktabah Syamilah.