MEMAHAMI HAKIKAT PERBEDAAN
(Bantahan Atas Tulisan Ismail Amin yang Berjudul: Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait)
Oleh: Rahmat A. Rahman
Ketua MUI Makassar dan Sekretaris Umum Forum IJABISAH
Tidak semua perbedaan itu terpuji sebagai sunnah alamiyah, tidak semua juga tercela, sebab memang manusia memiliki pola pandang yang berbeda dari setiap masalah. Di dalam masalah agama yang menjadi tolok ukur adalah dalil syar’i itu sendiri, di saat dalil memberikan kesempatan berbeda maka perbedaan dapat ditolerir ,dan di saat tidak ada kesempatan untuk itu, maka perbedaan dianggap aib. Khazanah umat Islam dalam persoalan fiqh begitu kaya sebab mereka mampu mendudukkan perbedaan pada tempatnya, sebaliknya dalam persoalan aqidah dan filosofi kebenaran, maka kita dapatkan kecaman dari zaman Rasulullah SAW, hingga saat ini sebab hal itu dapat membawa perpecahan yang bersifat destruktif.
Demikian halnya dalam memahami agama, fakta sejarah menunjukkan bahwa perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah SAW. Ternyata tidak menyentuh esensi dari agama itu sendiri sebagai satu kesatuan yang sempurna dan menyeluruh. Justru pola fikir yang ghuluw (berlebih-lebihan)-lah yang merusak perbedaan itu sehingga mengeluarkannya dari lingkaran menjadi perpecahan. Salah satunya, adalah dipaksakannya pemikiran Syiah yang menghendaki seorang khalifah pengganti Nabi harus dari kalangan Ahlul Bait, ternyata menyebabkan umat sejak saat itu terpecah dalam beberapa golongan.
Bahkan menimbulkan pertumpahan darah di beberapa waktu setelahnya. Terbunuhnya Umar ibnul Khattab -salah seorang sahabat Nabi yang utama- lalu Utsman ibn Affan RA, dan Ali ibn Abi Thalib RA., setelahnya juga adalah imbas dari masuknya pemikiran yang ekstrim tersebut. Fenomena ini, jika bisa membuka kembali lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan berkata, bahwa sesungguhnya perpecahan tersebut tidak perlu terjadi, jika semua tetap komitmen terhadap sunnah Rasulullah SAW., -sayangnya kaum munafiqin tidak suka jika umat tidak terpecah.
Sahabat dan Sunnah
Setiap Nabi yang diutus oleh Allah SWT akan dipilihkan sahabat setia yang akan melindungi, dan melanjutkan ajaran yang dibawa oleh para Nabi tersebut. Para pendamping ini tentulah juga dari kalangan orang-orang pilihan, sebab Allah tentu tahu peran yang akan mereka emban khususnya setelah sang Nabi telah wafat.
Demikian pula halnya dengan Rasulullah Muhammad SAW. dipilihkan oleh Allah sahabat setia sebagai pendamping dan pelanjut perjuangan beliau, terpilihlah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar ibnul Khatthab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Zaid ibn Tsabit dan lainnya -Radhiyallahu Anhum- sebagai orang-orang kepercayaan Rasulullah SAW. dalam memahami dan mengamalkan serta mengajarkan agama ini.
Pengorbanan yang mereka berikan dalam aktualisasi diri sebagai seorang muslim dan pelanjut perjuangan menyebarkan agama sebagaimana yang mereka dapatkan dari Rasulullah SAW. sungguh tak tertandingi, harta bahkan jiwa mereka berikan semuanya untuk agama Allah hingga mencapai maqam Ridha. Makanya, Allahpun ridha terhadap mereka, dan surga adalah balasan yang setimpal atas pengorbanan mereka. Hal ini dijelaskan Allah dalam Al Qur’an diantaranya;
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.(Q.S.09:100)
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)” (Q.S. 48:18)
Komitmen para sahabat terhadap sunnah jangan diragukan, bahkan merekalah panutan dalam hal ini, rasanya sangat naif, jika ada orang yang menuduh mereka sengaja menyimpang dari sunnah Rasulullah SAW. Pada saat beliau justru menyuruh umat untuk komitmen terhadap jalan hidup mereka (Hadits Riwayat Abu Daud dari al-Irbadh ibn Sariyah), atau meragukan lurusnya pemahaman mereka hanya dengan dalih karena mereka sering bersengketa. Padahal silang sengketa para sahabat bukanlah dalam perkara esensial sebagaimana telah kami jelaskan di muka.
Ahlus Sunnah dan Ahlul Bait
Dua istilah yang sangat sering didikotomikan oleh sebagian kaum muslimin padahal tidak semestinya seperti itu. Ahlus Sunnah adalah golongan yang senantiasa komitmen terhadap sunnah Rasulullah SAW, dalam segala hal sedangkan Ahlul Bait adalah keluarga Rasulullah SAW, yang beriman dan komitmen terhadap ajaran beliau hingga wafat. Semua Ahlul Bait adalah golongan Ahlus Sunnah meskipun tidak semua Ahlus Sunnah dikategorikan Ahlul Bait namun mereka wajib mencintai Ahlul Bait sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW.
Membedakan pemahaman para sahabat dengan pemahaman Ahlul Bait adalah suatu hal yang tidak obyektif dan hanya menambah panjang sebab perpecahan di tengah umat, kecuali jika di balik seruan itu memang ada maksud tersembunyi -wallahu a’lam-. Saatnya untuk umat saat ini melepaskan diri dari segala bentuk dikotomi yang diwariskan oleh kaum ekstrimis di zaman dahulu yang hanya menimbulkan perpecahan, jika kita mau jujur memandang, bukankah Islam di zaman Nabi itu satu ? dari manakah pemahaman bahwa yang menjadi khalifah sepeninggal Nabi haruslah dari kalangan keluarga beliau padahal beliau tidak pernah mengajarkan itu ? dari manakah asal keraguan bahwa para sahabat pendamping Rasulullah SAW. tidak lebih baik pemahamannya dari Ahlul Bait padahal para sahabat pun tidak pernah mau dikotomikan seperti itu ?
Catatan:
Sejak kapan Jalaluddin ar-Rumi, Ibnu Sina, Mullah Sadra, Taba’tabai dan Khomeini menjadi Ahlul Bait ?