Mau Tahu Pendapat Salaf Tentang Alat Tasbih ? Baca Ini

Date:

123940_tasbih

HUKUM MENGGUNAKAN ALAT TASBIH KETIKA BERZIKIR- 1

Menghitung dzikir dengan tanpa jari tangan seperti menggunakan alat tasbih, untaian biji-bijian, dan lainnya : hukumnya boleh menurut pendapat yang shahih, dan saya tidak mengetahui ada seorang salaf atau dari para imam mu’tabar dari kalangan ulama salaf berpendapat akan bid’ahnya alat tasbih ini, walaupun yang lebih utama adalah dengan menggunakan jari tangan.

Telah ada hadis keutamaan menggunakan jari tangan dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ; HR Abu Daud Dan Tirmidzi ,dari hadis Yusairah (seorang shahabiyah yang pernah hijrah ke Madinah) ia berkata : “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepada kami :

عليكن بالتسبيح والتهليل والتقديس واعقدن بالأنامل فإنهن مسئولات مستنطقات

Artinya : “Hendaklah kalian membaca tasbih, tahlil, dan taqdis, hitunglah dengan menggunakan jari karena jari-jari akan menjadi saksi yang bisa berbicara (hari kiamat kelak)”.2

Hadis ini dikomentari Imam Tirmidzi : “Diriwayatkan secara tafarrud oleh Hani bin Utsman, dan ia tidak shahih”.

Juga ada hadis dari jalur lain ; HR Tirmidzi, Abu Bakr Asy-Syafi’i, dan Al Hakim dalam Al Mustadrak, dari hadis Hasyim bin Sa’id Al Kufi, dari Kinanah ,Maula Shafiyah radhiyallahu’anha, ia berkata : “Saya mendengar Shafiyah berkata : ” Suatu ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam masuk padaku sedangkan dihadapan saya ada 4000 biji kurma yang saya gunakan untuk berdzikir, Saya berkata : “Saya telah berdzikir dengan menggunakan ini semua”. Beliau lalu bersabda :

ألا أعلمك بأكثر مما سبحت ؟ فقلت : علمني . فقال : قولي سبحان الله عدد خلقه

Artinya : “Maukah jika saya mengajarkanmu dzikir yang lebih banyak daripada apa yang engkau dzikirkan ? saya menjawab : “Tentu, ajarkanlah padaku”. Beliau bersabda : “bacalah : Subhaanallahi ‘adada kholqihi” (Maha Suci Allah sebanyak jumlah makhlukNya)”.3

Hadis ini diriwayatkan secara tafarrud oleh Hisyam bin Sa’id –sebagaimana penjelasan Imam Tirmidzi- dan hadis ini tidak shahih dari Shafiyah radhiyallahu’anha ,dan hadis-hadis larangan menggunakan alat tasbih atau untaian biji-bijian lainnya : tidak ada yang shahih. Adapun kebolehannya telah disebutkan oleh beberapa imam seperti : Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hajar, dan kebolehannya juga diriwayatkan dari beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Abu Sa’id Al Khudri, Abu Darda’, Sa’ad bin Abi Waqash dan selain mereka.

Dalam Musnadnya, Imam Ahmad meriwayatkan : Ismail bin Ibrahim Menceritakan kepada kami, dari Al Jurairi dari Abu Nadhrah ,dari Ath-Thufaawi, ia berkata : “Saya mendatangi Abu Hurairah, dan saya tidak mendapati sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang lebih memperhatikan dan sangat melayani tamu daripada beliau. Ketika saya bersamanya, sedangkan beliau duduk diatas ranjangnya, dibawah ranjang duduk seorang budak wanita berkulit hitam, dan didepan beliau terdapat kantong yang berisi kerikil dan biji kurma sembari membaca dzikir : “Subahaanallah, Subhaanallah”, ( sambil menghitungnya dengan kerikil/biji kurma tersebut), jika semua isi kantong tersebut habis (dikeluarkan untuk menghitung dzikirnya), beliau memberikan kantong tersebut kepada sang budak, lalu ia mengumpulkan semua (kerikil dan biji kurma) dalam kantong lalu ia serahkan kembali kepada beliau”.4

Dalam sanad hadis ini terdapat rawi bernama Ath-Thufaawi, ia dulu sempat singgah dikediaman Abu Hurairah selama 6 bulan, ia sempat mendapati beberapa sahabat Rasulullah yang masih hidup saat itu ,dan ia tidak diketahui meriwayatkan hadis kecuali dalam hadis ini.

Dalam Kitab “As-Siyar” dalam biografi Yahya bin Sa’id , Adz Dzahabi berkata : Yahya bin Ma’in berkata : “Dulu ,Yahya bin Sa’id Al-Qaththan membawa alat tasbih, ia sembunyikan didalam bajunya dan berdzikir dengan menghitungnya”, maksudnya : ia menyembunyikan amalannya, agar tidak dilihat.

Dalam Kitab “Al Jawahir wa AdDurar Fi Tarjamati Ibnu Hajar”5 As-Sakhawi mengisahkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Hajar bersama suatu kelompok penuntut ilmu saling mengulang pelajaran setelah shalat isya, lalu iapun memasukkan alat tasbih kedalam lengan bajunya agar tidak dilihat (sedang berdzikir), jika alat tasbih tersebut terlepas dari dalam lengan bajunya ,ia merasa tidak enak hati, karena kecintaannya menyembunyikan dzikir”.

Tentang kebolehan dzikir dengan menggunakan alat tasbih ini, telah ditulis oleh beberapa imam, seperti As-Suyuthi dalam risalahnya : “Al-Minhah fi As-Subhah”, Ibnu Thulun dalam risalahnya : “Al Mulhah fii maa warada fi ashli assubhah”, juga Ibnu ‘Allaan Asy-Syafi’i dalam risalahnya : “Iiqaadul Mashaabiih li masyru’iyyati ittikhaadzil mashaabiih”.

Juga telah populer beberapa ahli fiqh dan para rawi hadis yang memiliki nisbat : As-Subahi, nisbat terdapat untaian biji-bijian yang mereka gunakan untuk berdzikir ,seperti Abul’Abbas Ahmad bin Khalf, Abu Bakr Al-Maqdisi, Muhammad bin Sa’id Al-Maqdisi, Abu Sa’id AbdurRahman bin Sullam dan selain mereka. Dan nisbat ini juga populer dikalangan ahli shufi dan ahli ibadah diantara mereka.

Bahkan terdapat beberapa dalil yang mungkin dijadikan hujjah atas bolehnya menggunakan alat tasbih, khususnya bagi orang yang suka lupa, dan tidak bisa menghitung baik karena faktor ketuaan, ataupun banyaknya pikiran dan kesibukan. Ibnu Abi Syaibah dalam AlMushannaf meriwayatkan dari hadis Shalih bin Dirham dari Abdullah bin Umar ; bahwasanya beliau didatangi seseorang yang bertanya tentang sai di Shafa, maka beliaupun berkata : “Mulailah sai dari Shafa, dan akhirilah di Marwah, namun jika engkau khawatir lupa jumlah sai, maka ambillah tujuh kerikil, buanglah di Shafa satu kerikil, dan di Marwah satu kerikil”6.

Al-Fadhl bin Saazaan dalam Kitab ” ‘Addul AAyi wa Ar-Raka’aat fi Ash-Shalaah” meriwayatkan dari hadis AbdurRahman bin Al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwasanya beliau dahulu menghitung rakaat shalatnya menggunakan cincin dengan cara memindahkannya dari tangan yang satu ketangan lainnya”. Sanad riwayat ini ; shahih.

Juga diriwayatkan dari hadis Abu Ma’syar dari Ibrahim An-Nakha’i, ia berkata : “Tidak mengapa menghitung jumlah rakaat shalat dengan cincin, serta menjaga hitungannya dengannya”.

Saya tidak mengetahui seorang salafpun yang mengharamkan dan membenci dzikir dengan menggunakan alat tasbih, atau biji-biji kurma kecuali satu riwayat Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan Ibnu Wadhdhah dalam kitabnya “Al-Bida’ wa An-Nahyu ‘Anha”7 : dari hadis Ash-Shalt dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu bahwa beliau melhat seorang wanita memegang alat tasbih, lalu beliaupun memutuskannya”.

Ketidaksukaan beliau terhadap hitungan dzikir dengan alat tasbih ini adalah khusus pada dzikir yang tidak dibatasi dengan jumlah tertentu karena setelah memutuskan untaian alat tasbih itu beliau berkata : “Apakah ia mengungkit-ngungkit (menghitung-hitung) kebaikannya kepada Allah ?! “. Juga diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau tidak suka menghitung-hitung dzikir muthlaq (yang tanpa batasan jumlahnya).

Kesimpulannya : Jawaban dari atsar diatas yang seakan mengharamkan alat tasbih ini adalah : bahwasanya pendapat Ibnu Mas’ud diatas bermakna larangan dari menghitung-hitung kebaikan diri sendiri, karena beliau –dalam atsar riwayat Ibnu Wadhdhah- : lalu berkata kepada mereka : ” hitunglah keburukan-keburukan kalian”. Karena mereka dulu mengatakan : “bertasbihlah 100 kali, bertahlillah 100 kali, dan semacamnya”8. Sehingga larangan Ibnu Mas’ud ini ditujukan pada hitungan dzikir muthlaq (yang tidak ada batasan jumlahnya dari syariat dan bukan larangan menggunakan alat tasbih -pent).

Adapun amalan sebagian Ahli Kufah (adalah bolehnya berzikir dengan alat tasbih) sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah9 dengan sanad jayid dari Ibrahim An Nakhai bahwa beliau melarang puterinya dari membantunya mengikat tali yang ia gunakan untuk menghitung dzikirnya”.

Ibnu Taimiyah telah membolehkan dzikir dengan menggunakan alat tasbih, kecuali jika merasa akan menimbulkan sifat riya’ dengan hal tersebut, karena mungkin saja orang-orang akan melihatnya berdzikir dengan menggunakan alat ini, sehingga rasa riya’pun merasuk dalam hatinya, dalam kondisi inilah alat tasbih dilarang digunakan, adapun jika meyakini tidak terjadinya riya’ ; maka tidak mengapa.

Adapun yang diriwayatkan dari beberapa sahabat seperti Abu Hurairah dan selain beliau yang mana mereka ber-istighfar sebanyak 12.000 kali, maka ini tidak bisa terhitung kecuali dengan menggunakan alat tasbih, seperti ini jugalah diriwayatkan dari sebagian salaf, dan bahwasanya tidak mungkin jumlah ini dihitung dengan jari tangan, ini merupakan hal yang populer.

Dalam Majmu’ Al Fatawa10 Syaikhul-Islam Ibnu taimiyah berkata : “Adapun menghitung dzikir dengan jari tangan maka hukumnya sunat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada para wanita : “Hendaklah kalian membaca tasbih, tahlil, dan taqdis, hitunglah dengan menggunakan jari karena jari-jari akan menjadi saksi yang bisa berbicara (hari kiamat kelak)”.11 Dan adapun menggunakan biji-bijian kurma atau kerikil atau selainnya maka bagus juga, dulu ada beberapa sahabat yang melakukannya, bahkan Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah melihat Ummul Mukminin berdzikir menggunakan kerikil, dan beliau menyetujui perbuatannya tersebut, serta diriwayatkan juga bahwa Abu Hurairah dulu berdzikir dengannya”.

Adapun alat tasbih yang diikat dalam rantaian biji-bijan atau semacamnya, sebagian orang ada yang tidak menyukainya, dan sebagiannya lagi menyukainya, namun jika ia digunakan dengan niat yang baik (karena adanya maslahat dan bukan untuk riya’) ; maka ini bagus dan tidak makruh. Adapun menggunakannya tanpa adanya hajat ,atau demi menampakkannya dihadapan manusia seperti mengalungkannya dileher seperti kalung, atau ditangan seperti gelang, atau lainnya , maka hal ini kalau bukan merupakan ;

1). ciri sikap riya’yang hukumnya haram ,maka ia merupakan ;

2).pintu menuju riya’, serta menyerupai orang-orang riya’ tanpa ada hajat. Dan ini hukumnya : minimal makruh karena memperlihatkan amalan ibadah khusus dihadapan manusia seperti shalat, puasa, dzikir, membaca Al-Quran dengan tujuan riya’ merupakan diantara dosa besar. Allah ta’ala berfirman (dalam ciri orang-orang yang celaka) :

{الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ} [الماعون: 6]

Artinya : “Yaitu orang-orang yang menampakkan amalannya (agar dipuji)”. (Al Ma’un : 6)

Kesimpulan akhir : Diantara bentuk kedalaman fiqh dan hikmah seseorang : Tidak perlu melarang atau membenci adanya alat tasbih atau semacamnya yang dipakai berzikir oleh orang-orang yang suka lupa atau yang memiliki kesibukan atau pikiran banyak atau semacamnya.

1 . (Diterjemahkan Dari Kitab : Adzkaar Ash-Shabaah Wal-Masaa’ Oleh Syaikh Abdul’Aziz Ath-Thuraifi : hal. 36 – 42 dengan sedikit perubahan)- Abu Shofwan-

2 .HR Abu Daud (1503) dan Tirmidzi (3486)

3 .HR Tirmidzi (4554) dan Al Hakim : (2008)

4 .HR Ahmad : 10977, dan Abu Daud : 2176 .

5 .1/171

6 .14879

7 .1/7

8 .1/82

9 .Mushannaf : 7740

10 .22/509

11 .HR Abu Daud (1503) dan Tirmidzi (3486)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Optimalisasi Fungsi Masjid Berdayakan Umat Lewat Event Bazar dan Kegiatan Keislaman Akhir Pekan

MAKASSAR, wahdah.or.id - Sudah dua pekan Program Masjid Berdaya...

Gelar Workshop Kehumasan, Upaya Memperkuat Brand dan Popularitas Wahdah Islamiyah

KARANGANYAR, wahdah.or.id - Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama...

Rapat Kerja Pertama One Wakaf Usung Tema “Kolaborasi dan Inovasi Untuk Kemaslahatan Umat”

MAKASSAR, wahdah.or.id – One Wakaf sukses menggelar Rapat Kerja...