Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, maka tidak heran jika ada ribuan masjid megah yang berdiri dari Sabang sampai Merauke. Salah satu di antaranya adalah masjid Dian Al-Mahri yang berada di Depok, lebih sering disebut masjid Kubah Emas yang didirikan oleh Dian Djuriah Rais dibangun mulai 2001 dan selesai pada 2006.
Dari desain eksteriornya masjid Dian Al-Mahri memiliki lima kubah, satu kubah utama dan empat kubah kecil. Uniknya, seluruh kubah dilapisi emas dua puluh empat karat setebal dua sampai tiga milimeter dan mozaik kristal.
Totalitas Dian dalam membangun mesjid juga terlihat pada interiornya. Antara lain masjid memiliki lampu gantung berlapis emas dari Itali seberat dua koma tujuh ton, relief di atas tempat imam dari emas delapan belas karat, dan pilar yang tinggi menjulang. Untuk pilar, masjid memiliki seratus enam puluh delapan buah dan dilapisi prado atau sisi dari emas.
Wah, megah sekali yah masjidnya. Semoga apa yang telah dibangun oleh Ibu Dian Djuriah Rais Rahimahallahu menjadi pahala yang besar bagi beliau di hari akhir nanti, dan semoga Allah membangunkan rumah yang megah bagi beliau di surga-Nya kelak sebagaimana beliau telah membangunkan rumah bagi Allah di dunia.
Beberapa tahun terakhir muslim Indonesia sangat antusias dan belomba-lomba dalam membangun masjid yang megah. Hal ini menunjukkan betapa muslim Indonesia sangat besar perhatiannya terhadap rumah Allah. Bukan hanya itu mereka juga termotivasi dengan salah satu hadist Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menjanjikan akan dibagunkan rumah di surga bagi mereka yang membangunkan masjid untuk Allah di dunia. Sebagaimana sabda beliau,
“Siapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun baginya semisal itu di surga,” (HR. Bukhari no. 450 dan Muslim no. 533)
Tak ada yang salah bagi mereka yang berlomba-lomba memegahkan rumah Allah, justru itu adalah sesuatu yang dianjurkan dalam Islam, namun ada satu sisi yang jangan sampai dilupakan, jangan sampai kita sibuk membangun mesjid, terlalu fokus pada kemegahannya namun lupa membangun satu bagian yang sangat penting yaitu jamaahnya. “Karena terkadang masjid yang megah, justru kosong dari hidayah. Kita sibuk memegahkan bangunannya, sementara tetangga masjid yang kekurangan justru mencari santunan kepada orang yang tidak seiman.” (Muhammad Fauzil Adhim)
Bahkan, ada sebagian di antara kita mampu menunaikan ibadah haji berkali-kali. Mereka pergi ke Tanah Suci menuju Baitullah, mereka berputar-putar mengelilingi Ka’bah dengan air mata yang berjatuhan. Sementara di saat yang sama tetangganya juga tidak kuat menahan air mata karena tak ada lagi sesendok nasi yang bisa dikais untuk anaknya. Ia tahu keadaan tetangganya, tapi tidak pernah menyisihkan sedikit dari hartanya untuk mereka. Allah menganggap mereka sebagai pendusta agama sebagaimana dalam firman-Nya,
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Yakni mereka yang menghardik anak-anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Ma’un: 1-3)
PENDUSTA AGAMA.
Surah Al-Ma’un ayat satu sampai tiga menegaskan bagaimana sifat pendusta itu, menurut Prof. H. Zaini Dahlan, MA., “Yaitu dia tidak mengajak orang lain untuk membantu dan memberi makan orang miskin. Berdasarkan keterangan ini, bila seorang tidak sanggup membantu orang-orang miskin, maka hendaklah ia menganjurkan orang lain untuk usaha yang mulia itu.”
“Ayat ini,” kata Muhammad Abduh. “Merupakan kiasan tentang manusia yang tidak biasa mendermakan sebagian dari hartanya kepada orang-orang miskin yang tidak cukup penghasilannya untuk membeli makan untuk dirinya dan keluarganya.”
Saya teringat sebuah hadist Qudsi yang sangat indah maknanya, diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Aku sakit mengapa engkau tidak menjenguk-Ku, ia berkata: ‘Wahai Tuhanku, bagaimana mugkin aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?’ Allah berfirman: Engkau tahu bahwa seorang hamba-Ku sekit di dunia, akan tetapi engkau tidak menjenguknya, seandainya engkau menjenguknya sungguh engkau akan dapati Aku di sisinya.”
“Wahai anak Adam, Aku meminta makan kepadamu, mengapa engkau tidak memberi-Ku? Orang itu berkata: ‘Wahai Tuhanku, bagaimana mungkin aku memberi-Mu makan sedangkan Engaku adalah Tuhan semesta alam?’ Allah berfirman: Engkau mengetahui ada dari hamba-Ku yang kelaparan dan engkau tidak memberinya makan, sekiranya engkau memberinya makan, niscaya engkau mendapati Aku di sisinya.”
“Wahai anak Adam, Aku meminta minum padamu sedang engkau enggan memberi-Ku minum. Ia berkata: ‘Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam? Allah menjawab: Seseorang meminta minum padamu dan engkau tak memberinya, sekiranya engkau memberinya minum niscaya engkau dapati Aku di sisinya.”(HR. Muslim)
Dalam ilmu balaghah ada yang disebut dengan tasybih baligh, yaitu ungkapan yang sangat mendalam untuk menggambarkan suatu kondisi sehingga pendengarnya ikut larut dalam kesedihan dan kegembiraan, simpati atau antipati terhadap keadaan yang digambarkan oleh pembicara.
Jadi, maksud Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari kata lapar, haus, dan sakit yang terdapat dalam hadist ini adalah kata kiasan yang maknanya sangatlah jauh dari sifat-sifat Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Karena Dia-lah Dzat yang Maha Perkasa, Maha Sempurna, Maha Gagah, Maha Berkuasa dan sifat-sifat maha lainnya, sehingga suatu hal yang sangat mustahil menurut akal jika Allah menderita sakit, lapar, dan haus.
Tapi, maksud ungkapan yang diutarakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada hadist di atas adalah untuk mengetuk hati pendengar dengan cara yang paling halus, paling sensitif agar pendengar bersungguh-sungguh memperhatikan nasib orang lain yang sedang mengalami penderitaan dan berjuang sepenuh hati untuk menyelamatkan si penderita.
Oleh sebab itu, untuk mendorong hati manusia menaruh rasa belas kasih kepada sesamanya, Allah gambarkan orang-orang yang sedang sakit atau menderita kehausan dan kelaparan sebagai kondisi yang dialami oleh Allah sendiri. Artinya, ketika kita ingin bertemu dengan Allah, maka temuilah segera saudara-saudara kita yang tengah ditimpa kemalangan, berbaring sakit, dan kelaparan.
Hadist ini mengandung pesan bahwa kesalihan individu tanpa dibarengi dengan kesalihan sosial adalah sia-sia. Maknanya, bahwa kita tidak disebut sebagai orang yang beriman, kata Nabi, di saat kita tidur nyenyak dan perut kita kenyang, sementara pada saat yang sama, saudara kita, tetangga kita merasakan perutnya keroncongan karena kelaparan.
Agama Islam bukan hanya memerintahkan kita untuk melaksanakan ibadah-ibadah spiritual saja. Tapi juga memerintahkan agar kita melaksanakan ibadah-ibadah sosial. Di dalam Islam, kita tidak hanya diperintahkan untuk bersegera berangkat ke masjid ketika adzan dikumandangkan. Tapi juga diperintahkan untuk segera mengulurkan tangan ketika mendengar saudara kita yang lagi ditimpa kesusahan.
Bahkan kita tidak hanya dituntut untuk berani mengeluarkan puluhan juta rupiah guna ongkos berangkat haji, tapi dituntut juga agar berani mengeluarkan puluhan ribu untuk membantu saudara kita yang lagi membutuhkan.
Jadi, seorang muslim yang abai, tidak peduli akan nasib yang menimpa saudaranya, padahal ia mampu untuk berbuat sesuatu untuknya, maka Allah menyebutnya sebagai pendusta agama.
“Ketaatan seorang muslim itu tidak hanya ditakar dari khusyu’nya ia shalat, rajinnya membaca Al-Qur’an, tekunnya menjalankan puasa sunnah serta kesanggupannya bangun di sepertiga malam untuk mengerjakan shalat lail. Tapi ditakar juga dari sejauh mana ia peduli terhadap nasib yang menimpa saudaranya.”(NS. Risno)
Oleh Andri Astiawan Azis/ Mahasiswa Qassim University, KSA