Mari Bergerak…!
Namun satu hal yang pasti, kebenaran maupun kebatilan sama-sama memerlukan pendukung. Sehingga medan pertarungan yang sebenarnya berporos pada kemampuan rekruitmen. Da’i kebenaran hari ini harus bertarung lebih keras karena tidaklah ia menyeru disuatu tempat melainkan di tempat itu telah ada syaithan yang mengajak kepada kebatilan dengan cara yang mungkin lebih menarik hati.
Oleh karena itu, jika saya ditanya program apa yang paling strategis, maka jawabnya adalah rekruitmen dan kaderisasi. Akan tetapi, rekruitmen dan kaderisasi membutuhkan da’i-da’i yang sabar dan memiliki wawasan yang jelas akan kenyataan pertarungan ini. Da’i kebenaran pada hari ini memerlukan nafas yang lebih panjang dan strategi perang yang lebih jitu. Dan karena hal itulah, maka menyadarkan para da’i jauh lebih berharga dan lebih strategis dibanding menyadarkan orang yang lalai dan belum memiliki komitmen untuk itu.
Seni Pertarungan
Seni Pertama:
Seni pertama, adalah lakukan persiapan. Para ulama dan penulis telah mengulas panjang lebar keutamaan melakukan persiapan sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Anfal ayat 60. Dari ayat-ayat yang mengiringi ayat ke 60 didepan dan dibelakangnya, dapat diambil beberapa kesimpulan urgensi dan manfaat dari persiapan. Pertama, untuk mencegah terjadinya pengkhianatan baik dari kalangan internal maupun eksternal yang memiliki perjanjian dengan para da’i (ayat 58 dan 59). Dengan persiapan kekuatan dan posisi yang strategis para da’i, mereka akan menjadi ragu dan berpikir untuk berkhianat. Secara internal, persiapan ini akan mencegah para anggota yang disusupkan untuk melakukan pengkhianatan. Mereka akan berpikir pengkhianatan mereka tidak akan melemahkan barisan; dan karenanya, pengkhianatan tersebut tidak bermanfaat.
Kedua, untuk memudahkan kalkulasi kekuatan. Kalkulasi yang dimaksud mencakup kuantitas dan kualitas anggota (lihat ayat 65 dan 66). Dari kalkulasi ini, muncullah jenjang, posisi, dan tanggungjawab. Dalam kamus manajemen modern, kalkulasi ini disebut dengan job analysis (analisis tugas) yang berfungsi mengukur beban kerja dan kemampuan pengembannya. Salah satu hal yang mematikan kreativitas dan mempercepat kelambanan adalah beban yang melebih kemampuan untuk memikulnya.
Dalam medan dakwah, setelah kalkulasi dan filterisasi, muncullah anggota dengan kategori pemimpin, da’i, dan simpatisan. Saat ini, melakukan kalkulasi adalah hajat yang tidak bisa dihindarkan. Karenanya, setiap da’i harus memiliki kebesaran jiwa dan keterbukaan untuk dievaluasi dan dikoreksi tugas dan posisinya. Jika para da’i tidak memiliki kebesaran jiwa ini, maka bagaimana mungkin mereka mengharapkan orang lain untuk berbesar hati menerima dakwah dari mereka?
Seni Kedua:
Seni kedua, adalah ambillah tempat yang strategis. Dalam sejarah perang baik tradisionil maupun modern, persoalan tempat terkadang menjadi persoalan prinsip. Perang Uhud sebagai contoh adalah bukti nyata urgensi tempat. Kaum muslimin yang mengambil tempat strategis dengan mudah menyerang orang musyrik yang berada di bawah mereka. Oleh karenanya, ketika mereka melalaikan dan meninggalkan tempat bertahan mereka di atas bukit, mereka menjadi lemah dan hampir dibinasakan oleh pasukan Khalid bin Walid.
Tempat yang strategis dalam sebuah peperangan sangat tergantung dari jenis perangnya. Namun satu hal yang terpenting adalah disembunyikannya kekuatan yang sebenarnya dari pengetahuan musuh. Kata ahli strategi perang Cina, Sun Tzu, jika anda mengetahui diri anda dan mengenal lawan anda, maka seratus persen anda akan menang. Jika anda hanya mengenal diri anda, maka kemungkinan anda menang fifty-fifty. Dan jika anda tidak mengenal diri anda maupun lawan anda, maka lebih baik anda bersiap untuk lari.
Dakwah bukanlah perlombaan memamerkan otot, bukan pula pertandingan show of force, terlebih dimasa kepentingan penguasa terhadap para da’i hanya sebatas kepentingan politik. Pengumpulan massa, temu kader, silaturahmi akbar, apalagi ikrar bersama, bukanlah cara bijak memposisikan dakwah, khususnya dalam kondisi saat ini.
Dalam medan dakwah, kita harus jeli memilih tempat. Tempat itu berlokasi diantara istana penguasa dan kesulitan rakyat jelata. Kita memilih diantara kedua pihak itu karena dakwah menghajatkan nasehat kepada keduanya. Kita memilih lokasi itu karena kita menghindari fitnah kekuasaan dan kerusakan orang-orang lemah. Kita memilih berada disitu karena berada disalah satu dari keduanya berarti bid’ah dan penyimpangan manhaj.
Kita juga harus pandai mendirikan menara karena menara kita adalah menara azan perubahan. Menara kita harus menyuarakan suara yang jelas yang dapat menyadarkan istana sekaligus mengarahkan masyarakat.
Suara yang mungkin dapat menyadarkan orang yang berada dalam istana adalah suara yang lembut namun tegas karena mereka mengidap penyakit sombong dan lupa dengan Hari Pertanggungjawaban. Sementara suara yang dapat mengarahkan masyarakat adalah suara yang tegas namun lembut karena mereka mengidap penyakit malas dan putus asa.
Seni Ketiga:
Seni ketiga, adalah keteraturan barisan. Allah telah menjelaskan bentuk formasi perang kaum muslimin dalam surah As-Shaff ayat keempat yaitu dalam formasi bershaf. Formasi ini akhirnya diikuti oleh para pemimpin perang modern (lihat War and History). Sebelumnya, formasi dan metode perang orang Arab adalah dengan hit and run (pukul lalu menghindar). Metode tersebut akhirnya kalah ketika berhadapan dengan formasi bershaf kaum muslimin.
Dalam medan dakwah, keteraturan barisan adalah kewajiban jika ingin menghasilkan kemenangan yang lebih berarti. Kita tidak mengingkari adanya orang-orang ikhlas yang mampu bertarung dan tampil sendirian serta kemudian muncul sebagai tokoh publik dan memiliki pengikut. Akan tetapi kenyataan juga yang menyadarkan betapa hal tersebut tidak memiliki pengaruh jangka panjang. Pengaruh dakwah dengan menyandarkan kepada tokoh hanya seumur dan sepanjang usia tokoh tersebut atau mungkin lebih pendek.
Oleh karena itu, tanzhim dakwah yang baik adalah yang menyusun formasi para da’i sesuai karakteristik dan potensi masing-masing. Harus ada orang-orang yang mengumpulkan informasi, menganalisis, dan menyampaikannya kepada pimpinan dakwah. Harus ada orang-orang yang mempersiapkan perbekalan da’i. Harus ada orang-orang yang menjadi penunjuk jalan para da’i. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai orang yang diberi petunjuk pun menggunakan penunjuk jalan baik disaat hijrah maupun disaat perang, apalagi kita. Dan terakhir, harus ada orang yang dipersiapkan sebagai bala bantuan sewaktu-waktu.
Karena pembagian tugas inilah, maka akan lahir wajah dakwah yang menarik dan akan muncul gerakan yang teratur. Tidak semua orang harus muncul. Tidak semua orang harus diberi selamat. Tidak semua orang harus hadir dalam acara-acara. Mudah-mudahan orang-orang seperti itulah yang disebut Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam , “… idzaa ghaaba lam yuftaqaduu wa idzaa hadharuu lam yud’aw…”. Ketika mereka tidak ada, mereka tidak dicari oleh orang banyak. Dan jika mereka muncul, tak seorang pun memanggil mereka ataupun mengenali mereka. Alhamdulillah, orang seperti itu takkan pernah hilang dari ummat ini.
Mari Bergerak…!
Hal-hal diatas adalah teori dan selebihnya adalah pelaksanaan. Dengan menyadari pertempuran yang terjadi serta perlunya pembenahan da’i dan personil dakwah, maka langkah selanjutnya adalah mulai bergerak. Jika anda bertanya, siapakah yang pertama-tama memulai bergerak? Maka lihatlah kereta api yang panjang itu. Gerbong-gerbong panjang dibelakangnya sesungguhnya hanya ditarik oleh sebuah lokomotif didepannya. Lokomotif itu adalah jajaran pimpinan dan setiap lokomotif mempunyai kunci dan masinis, mereka itulah pimpinan tertinggi. Akan tetapi ketika kereta telah berjalan dengan kencang, maka lokomotif itu sendiri akan mendapatkan tambahan daya dorong dari gerbong dibelakangnya. Bahkan lokomotif itu dapat diistirahatkan jika kondisi jalan rata atau menurun. Selanjutnya tugas masinis hanya mengarahkan dan mengerem. Terkadang menyuruh memeriksa sambungan antar gerbong agar semua gerbong tetap pada posisinya. Demikian pula dengan laju sebuah kereta dakwah.
Perputaran waktu yang semakin cepat, perhatian akan penyempurnaan kerja-kerja da’i dan rekruitmen sangatlah mendesak dan mendasar. Dan karena kerja-kerja ini tidaklah dapat diselesaikan dibelakang meja, maka setiap da’i murabbi harus mempersiapkan diri untuk menyusuri jalan-jalan, lorong-lorong, mushalla-mushalla, masjid-masjid, kamar-kamar kost, pasar-pasar, dan tempat-tempat lain sebagai ladang mencari kader. Kerja-kerja ini juga menghajatkan ditinggalkannya istirahat panjang dan kesenangan bersama keluarga yang memabukkan. Tugas ini adalah bergerak dan bukan tidur.
Dalam Al Qur’an ada seorang laki-laki yang bernama Habib an-Najjar yang diabadikan dalam surah Yasin ayat 20. Perhatikan ayat tersebut dengan terjemahan sebagai berikut: “Dan datanglah seorang dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib an-Najjar) dengan bergegas-gegas ia berkata: ‘Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu’ “.
Laki-laki ini mendengar dakwah lalu menyambutnya. Dan ketika ia merasakan keimanan, maka hakikat keimanan tersebut bergerak didalam dirinya sehingga ia tidak mampu diam. Ia tidak berdiam diri dirumahnya dengan aqidahnya, sedangkan ia melihat kesesatan, pembangkangan dan kekejian di seputarnya. Ia bergegas menemui kaumnya saat mereka mendustakan, ingkar, mengancam, dan menekan. Ia datang dari “ujung kota” menunjukkan ia berjalan dari tempat yang jauh. Ia juga “bergegas-gegas” menunjukkan semangatnya yang membara.
Isyarat-isyarat ini haruslah membuat kita merenung, apakah kita siap berjalan ke tempat yang jauh dan bergegas-gegas karena izzah dan semangat ? Ataukah kita merasa kitalah yang dibutuhkan ummat? Dalam sebuah hadits Muslim disebutkan tentang seorang Badui yang bertanya kepada Rasulullah mengenai rukun-rukun Islam. Ketika diberitahu, ia berkata, “Aku tidak menambahi dan mengurangi”. Namun yang menarik adalah bagaimana ia memulai pertanyaannya dengan mengatakan, “Wahai Muhammad, utusanmu mendatangi kami, lalu menyampaikan bahwa kamu mendakwakan bahwa Allah telah mengutusmu”. Ya, “utusanmu mendatangi kami”, dan bukan “kami mendatangi utusanmu”. Rupanya kepada Badui ini telah datang salah seorang sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Dia mengarungi gurun demi gurun, meninggalkan keluarga, rumah dan anak-anaknya, menghadapi panas dan terik serta bahaya di perjalanan.
Bagi anda para da’i murabbi, saya kutipkan berita yang disampaikan oleh seorang sahabat bernama Thalhah bin Ubaidillah al-Qurasyi radhiyallahu anhu yang mengatakan “Inna aqalla al-‘aibi ‘alal mar’i an-yajlisa fii daarihi (Sesungguhnya, aib yang paling ringan bagi seseorang adalah ia duduk-duduk di rumahnya)” (Thabaqat ibnu Sa’ad, jilid 3 h.221). Bagi Thalhah, orang yang terhormat adalah orang yang memerdekakan dirinya dari kecenderungan kesenangan yang mubah. Lebih tegas lagi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Min husnil Islamil mar’i, tarkuhu ma laa ya’niih (Diantara tanda baiknya keislaman seseorang ialah ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna)”. Rupanya menjadi muslim yang baik haruslah dengan keseriusan dan menjauhi hal-hal sepele. Terlebih lagi seorang da’i.
Penutup
Waktu, tenaga, dan pikiran para da’i adalah milik ummat. Semuanya adalah amanah Allah yang Dia anugerahkan kepada ummat ini. Oleh karenanya, tidaklah pantas seorang da’i menghabiskan waktunya duduk bersantai-santai, terlebih berjuang semalaman menonton piala dunia yang merupakan sarana kapitalis. Tidak pantas pula seorang da’i menghabiskan tenaga atau memaksimalkan tenaga hanya untuk membangun dunia dan keridhaan manusia, sementara untuk kerja-kerja dakwah dilakukan secara serampangan dan tanpa konsentrasi.
Satu hal yang ironis adalah ketika kita mengurus urusan dunia, kita akan berusaha merancangnya agar tidak ada satupun kerugian. Kita akan bertanya dan berdiskusi dengan semua orang. Akan tetapi ketika melakukan kerja-kerja dakwah dan berusaha merancangnya, kita pun jatuh tertidur pada jam-jam pertama pembahasan. Ketika kita ditanya tentang masa depan anak-anak kita, kita dengan fasih menuturkan rencana-rencana kita. Kita akan menguraikannya mulai dari anak yang sulung hingga anak ke sepuluh jika kita memiliki sepuluh anak. Kita menjelaskan cita-cita dan jalan-jalan yang akan kita siapkan untuk setiap anak kita. Akan tetapi ketika kita ditanya apa rencana dakwah kita setahun, dua tahun, tiga tahun atau lima tahun ke depan, maka kita pun akan menjawab dengan hati bimbang dan terbata-bata.
Dan terakhir, seorang da’i juga bukanlah seorang yang pikirannya senang diombang-ambingkan oleh khayalan dan perasaan. Pikiran untuk menjadi populer dan dikagumi atau mendapatkan keuntungan duniawi dari dakwah, akan dibuangnya ke tong sampah. Demikian pula halnya, ia akan merasa bersalah dan melalaikan amanah ummat jika pikirannya siang dan malam hari disibukkan oleh tuntutan pribadi. Menikah lagi, misalnya…