Apabila seorang wanita balig melaksanakan salat berjemaah bersama mahramnya saja. Maka apabila imam keliru dalam bacaannya, atau tidak dapat melanjutkan bacaannya (dan ia menunggu untuk dibantu) sedang tidak ada yang dapat membetulkan bacaannya, maka dibolehkan bagi sang wanita untuk membenarkan bacaan imamnya.
Namun dalam kondisi seorang wanita melaksanakan salat bersama pria yang bukan mahramnya (baik imam atau makmum) kemudian sang imam keliru dalam bacaannya dan tidak ada yang dapat membenarkannya, maka tidak dibolehkan bagi seorang wanita untuk membetulkannya berdasarkan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atas kaum wanita untuk bertasbih saat memperbaiki kekeliruan imam, kemudian mereka diperintahkan untuk bertepuk tangan. Imam Bukhari meriwayatkannya[1] dari jalur sahabat Sahl bin Saad radhiyallahu anhu, beliau menceritakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ إِلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ، فَحَانَتِ الصَّلَاةُ فَجَاءَ الْمُؤَذِّنُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ : أَتُصَلِّي لِلنَّاسِ فَأُقِيمَ ؟ قَالَ : نَعَمْ. فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلَاةِ، فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ، فَصَفَّقَ النَّاسُ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ لَا يَلْتَفِتُ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ الْتَفَتَ، فَرَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «أَنِ امْكُثْ مَكَانَكَ»، فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَدَيْهِ، فَحَمِدَ اللَّهَ عَلَى مَا أَمَرَهُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ذَلِكَ، ثُمَّ اسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ، وَتَقَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ : «يَا أَبَا بَكْرٍ، مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ ؟»، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ : مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «مَا لِي رَأَيْتُكُمْ أَكْثَرْتُمُ التَّصْفِيقَ ؟ مَنْ رَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ؛ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ، وَإِنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ«.
Artinya:
“Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi menemui Bani ‘Amru bin ‘Auf untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. Kemudian tiba waktu salat, lalu ada seorang muazin menemui Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu seraya berkata, “Apakah engkau mau memimpin salat berjemaah sehingga aku bacakan ikamahnya?” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Ya.” Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memimpin salat. Tak lama kemudian datang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedangkan orang-orang sedang melaksanakan salat. Lalu beliau bergabung dan masuk ke dalam saf. Orang-orang kemudian memberi isyarat dengan bertepuk tangan namun Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tidak bereaksi dan tetap meneruskan salatnya. Ketika suara tepukan semakin banyak, Abu Bakar berbalik dan ternyata dia melihat ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi isyarat yang maksudnya: ‘Tetaplah kamu pada posisimu”. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengangkat kedua tangannya lalu memuji Allah atas perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Kemudian Abu Bakar mundur dan masuk dalam barisan saf lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maju dan melanjutkan salat. Setelah salat selesai, beliau bersabda: “Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu ketika aku perintahkan agar kamu tetap pada posisimu?” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Tidaklah patut bagi anak Abu Qahafah untuk memimpin salat di depan Rasulullah”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mengapa kalian tadi banyak bertepuk tangan?” Barang siapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam salat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan untuk wanita.”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar:
وَكَأَنَّ مَنْعَ النِّسَاءِ مِنَ التَّسْبِيحِ لِأَنَّهَا مَأْمُورَةٌ بِخَفْضِ صَوْتِهَا فِي الصَّلَاةِ مُطْلَقًا لِمَا يُخْشَى مِنَ الِافْتِتَانِ وَمُنِعَ الرِّجَالُ مِنَ التَّصْفِيقِ لِأَنَّهُ مِنْ شَأْنِ النِّسَاءِ
Artinya:
“Larangan bagi wanita untuk bertasbih karena seorang wanita diperintahkan untuk mengecilkan suaranya dalam salat secara mutlak karena dikhawatirkannya kaum pria dapat terfitnah, sedangkan kaum pria dilarang bertepuk tangan karena ia adalah kebiasaan kaum wanita.”[2]
Kemudian para ulama berbeda pendapat pula tentang makna larangan bertasbih bagi wanita dalam hadis ini. Sebagian ulama memandang larangan ini adalah sebagai pengharaman apalagi jika dipandang bahwa suara wanita adalah aurat (meskipun yang rajih bahwa suara wanita bukanlah aurat, oleh karena yang dilarang adalah melembutkan suara di hadapan ajnabi), sedangkan ulama lainnya memandang hukumnya makruh.
Berkata Ibnu Abdil Barr:
وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِنَّمَا كُرِهَ التَّسْبِيحُ لِلنِّسَاءِ وَأُبِيحُ لَهُنَّ التَّصْفِيقُ مِنْ أَجْلِ أَنَّ صَوْتَ الْمَرْأَةِ رَخِيمٌ فِي أَكْثَرِ النِّسَاءِ وَرُبَّمَا شَغَلَتْ بِصَوْتِهَا الرِّجَالَ الْمُصَلِّينَ مَعَهَا
Artinya:
“Berkata sebagian ulama: dimakruhkannya seorang wanita untuk bertasbih saat memperbaiki kekeliruan imam dan dibolehkannya bertepuk tangan disebabkan karena mayoritas suara wanita lembut, sehingga hal itu dapat menjadi fitnah bagi kaum pria ajnabi yang salat saat itu.”[3]
Oleh Dewan Syariah Wahdah Islamiyah
[1] Shahih al-Bukhari no. 684.
[2] Fath al-Bari, 3/77.
[3] Al-Tamhid, 21/108.