Mendung Di Langit Karbala (Episode 3)
Lanjutan kisah dari -> MENDUNG DI LANGIT KARBALA (episode 2)
MADINAH DAN SECERCAH KENANGAN
Madinah 41 H.
Bukit-bukit yang menjulang laksana lingkaran tasbih jingga bertengger dalam hamparan kanvas suci nan indah, mengelilingi pemukiman orang-orang tersuci kala itu. Bukit-bukit tandus itu sambung menyambung membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dari arah utara samar-samar terlihat lingkaran Gunung Uhud yang masih lengang terus tebarkan aroma cinta dan sketsa kenangan. Dikakinyalah jasad-jasad suci Syuhada Uhud sejak 40 tahun lalu itu terbujur kaku dengan semerbak darah syahid, berbalutkan tanah suci. Kala itu disana belum ada hingar bingar suara para peziarah, atau kebisingan suara mesin bus-bus jamaah haji dan umrah. Bahkan belum ada insiatif orang-orang untuk mendirikan emperan jualan kaki lima yang berjejer rapi didepan Makam Syuhada Uhud tuk menawarkan aneka oleh-oleh yang tak gratis tentunya. Tak jauh darinya, terhampar kebun-kebun kurma yang menyejukkan mata bak permadani hijau, seolah ingin memamerkan keindahan pucuk-pucuknya sebagai salah satu daya tarik kota kecil itu. Saya yakin, anda akan makin terpesona bila suatu hari nanti diberikan anugrah berdiri gagah diatas bukit Rummah yang mungil dan terletak dibawah kaki Uhud itu.
Jauh diselatan lereng terjal Uhud tercinta, berdiri satu bangunan sakral yang dikelilingi rumah-rumah batu beratapkan pelepah kurma. Didalamnya terdapat banyak jejak-jejak orang suci. Di raudhah-nya yang juga taman surga itu masih terkenang lantunan tilawah merdu Sang Nabi yang seringkali tertahan suara tangisan khusyu dan khasy-yah, diutaranya masih tersisa desis Ahli Shuffah yang siang malam mematri diri larut dalam munajat kepada Allah. Dari tiang-tiangnyalah Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, dan Ibnu Umar menjelma menjadi ulama-ulama kibar, Khalid bin Walid, Usamah bin Zaid, atau Ubaidah bin Jarraah tertempa menjadi mujahid-mujahid tangguh. Juga dari jantung bangunan sederhana inilah lahir generasi yang meruntuhkan singgasana Kisra Persia dan meluluhlantahkan tahta Kaisar Romawi. Disamping kirinya, ada rumah Sang Bunda Aisyah yang masih rajin memberikan ilmu dan menukil hadis-hadis Nabi kepada murid-muridnya, Abdullah, Urwah, Mush’ab, Aswad, ‘Amrah dan para muda-mudi tabiin lainnya yang haus ilmu. Dalam kamar rumah Sang Bunda inilah, jasad suci Baginda Rasul bersama dua sahabat tercintanya bersemayam.
Ah, sungguh ada banyak kisah indah, jejak perjuangan dan linangan air mata yang terselip disudut-sudut kota ini.
Disinilah Hasan-Husain sekeluarga dan Ahli Bait melabuhkan kembali hidup mereka, merasakan kembali indahnya suasana Kota Madinah yang teduh, jauh dari makar huru hara dan amukan fitnah, tak seperti Kufah ataupun Basrah. Bedanya, Sang Kakek kini telah tiada, bahkan Sang Ayahpun kini telah terkubur dalam liang lahad ribuan mil darinya.
Sekitar 40 tahun lalu, di kota suci inilah -tepatnya Ramadhan 3 H- Sang Kakak lahir dari rahim Sang Puteri Bungsu Rasulullah; Fatimah radhiyallahu’anha. Saking senangnya, sampai-sampai Sang Ayah terburu-buru menamainya “Harb”. Hingga datang Sang Kakek shallallahu’alaihi wasallam dengan wajah berseri dan penuh gembira, seraya bersabda: “Perlihatkanlah cucuku padaku, kalian menamakannya siapa? “.
“Harb”, Jawab Ali dan Fatimah serempak.
Dengan penuh kelemahlembutan beliau berujar: “Tidak, janganlah kalian menamainya dengan nama itu, akan tetapi namanya adalah Hasan”1.
Nampaknya kebahagiaan Baginda Rasul begitu besar dalam menyambut kelahiran cucu tercinta ini, hingga ketika hari ketujuh dari kelahirannya beliau sendirilah yang langsung menanggung dan menyembelih dua ekor kambing sebagai acara aqiqah bagi sang bayi2. Beliau lalu bersabda kepada Fatimah: “Kamu tidak perlu melakukan aqiqah untuknya, namun kamu cukup mencukur rambutnya, dan bersedekah dengan perak seberat timbangan seluruh rambutnya”3.
Dua tahun kemudian, lahirlah Sang Adik, Husain, juga dari rahim Ratu wanita surga itu. Lagi-lagi Sang Ayah menamainya “Harb”, namun Sang Kakek lagi-lagi merubahnya dan menamainya: “Husain”4, dan beliau jualah yang menanggung biaya aqiqah dua ekor kambing, dan dengan dua tangan sucinya kambing-kambing tersebut disembelih.
Beberapa tahun setelahnya, lahirlah cucu ketiga dan beliau langsung menamainya “Muhassan”. Namun ia wafat ketika masih bayi5. Tak perlu anda menoleh pada riwayat dusta lagi mengada-ada bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu yang menggugurkan Muhassan dengan menendang kandungan Fatimah. Riwayat bohong ini hanyalah sampah klasik yang mengotori buku-buku sejarah peradaban dan sengaja digembar-gemborkan oleh kaum tertentu demi satu dendam kesumat yang bergejolak sejak belasan ribu tahun lalu, dan entah kapan kan berakhir.
Sungguh Muhassan telah lahir tatkala Sang Kakek masih hidup, dan beliau sendirilah yang menamainya dengan nama itu sambil bersabda: “Sungguh saya telah menamakan mereka (anak-anak Fatimah) dengan nama-nama yang mirip dengan nama anak-anak Nabi Harun -alaihissalaam- yaitu: Syabar, Syubair, dan Musyabbar”6.
Mereka berdua adalah anugrah terindah yang dikaruniakan kepada Rasulullah, serta puteri dan menantunya, Ali. Inilah anugrah yang sangat disyukuri oleh beliau yang semua puteranya dipanggil oleh Rabb tabaraka wata’ala sejak usia dini. Suatu waktu Abu Bakrah menyaksikan Hasan-Husain menaiki punggung Kakek mereka sedang beliau sedang sujud dihadapan Allah ta’ala, lalu beliau memegang keduanya agar tidak terjatuh, dan sama sekali tidak membangunkan tubuhnya hingga keduanya puas dan turun. Setelah selesai shalat, dengan penuh kasih Sang Kakek mendekap dan mendudukan mereka diatas pangkuannya, sembari mengusap kepala mereka berdua lalu menghadapkan wajahnya kepada para sahabatnya dan bersabda: “Sungguh kedua cucuku ini adalah dua anugrah dunia yang termulia untukku”. Lalu mengisyaratkan mereka pada Sang Kakak: “Sungguh dia seorang sayid, dan saya sangat berharap agar Allah menjadikannya sebagai pendamai atas dua kubu besar yang bertikai di akhir zaman”7.
Wajah keduanya sangat mirip dengan wajah suci Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam hanya saja Hasan lebih banyak kemiripannya. Sungguh betapa hati ini terharu tatkala membaca hadis ini dalam Shahih Bukhari; Bahwa Abu Bakr radhiyallahu’anhu shalat ashar di Masjid Nabawi sepeninggal Baginda Rasul, lalu beliau keluar dari Masjid berjalan bersama Ali bin Abi Thalib, tiba-tiba mata beliau tertuju pada Hasan yang lagi bermain ria bersama teman-temannya. Tanpa bersabar, beliaupun menangkap Hasan, mendekapnya dan mendudukkannya diatas pundaknya seraya berujar: “Sungguh, ia sangat mirip dengan wajah Nabi shallallahu’alaihi wasallam, dan tidak mirip dengan Ali”. Mendengar itu Ali-pun tak bisa menahan tawa8.
Hani bin Ali berkata: “Hasan lebih mirip dengan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dari bagian dada hingga kepala, sedangkan Husain lebih mirip dengan beliau dari bagian dada ke bawah”9.
Dalam Shahih Bukhari, Abu Bakrah meriwayatkan: “Saya menyaksikan Nabi shallallahu’alaihi wasallam sedang beliau diatas mimbar, dan Hasan ada disampingnya. Terkadang beliau memandang kearah hadirin dan terkadang memandangi Hasan, lalu bersabda: “Sesungguhnya cucuku ini adalah seorang sayid, saya sangat berharap agar Allah menjadikannya sebagai pendamai atas dua kubu besar yang bertikai di akhir zaman”10.
Dulu disudut-sudut kota inilah Hasan-Husain kecil bercanda ria, dan bermain dengan sahabat-sahabat kecil mereka. Dijalan-jalan kecilnya masih terkenang Sang Kakek main kejar-kejaran dengan Husain, Husainpun berlari kegelian agar tak jatuh dalam tangkapan Sang Kakek yang mengejarnya sambil menyunggingkan senyum dan gelak tawa. Dengan kedua tangan sucinya, beliau menangkapnya, mendekapnya, memegang kepala dan dagu Husain lalu menciumnya sambil berkata: “Husain adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian dari Husain, Ya Allah cintailah orang yang mencintai Husain, Husain adalah satu diantara cucu-cucuku (dari anak perempuan)”11.
Disuatu siang, Syaddad bin Al-Haad radhiyallahu’anhu melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam keluar untuk melaksanakan salah satu shalat pada setengah hari terakhir -zuhur atau ashar- sedangkan dia menggendong Hasan atau Husain. Nabipun maju untuk shalat mengimami para sahabat dan meletakkannya ditanah, lalu beliau mengucapkan takbiratul-ihram, ketika sujud beliau melakukan sujud yang sangat lama. Syaddad mengisahkan: “Sayapun menengadahkan kepalaku untuk melihatnya, ternyata anak tersebut menunggangi punggung Rasulullah sedang ia dalam keadaan sujud, dan kemudian saya kembali sujud. Ketika beliau menyelesaikan shalatnya, para sahabat bertanya kepada beliau: Wahai Rasulullah, sungguh Engkau telah melakukan sujud yang sangat panjang hingga kami menyangka bahwa ada sesuatu yang menimpamu, atau engkau sedang menerima wahyu ?. Beliau menjawab: “Semua yang kalian sangka tidaklah terjadi, hanya saja cucuku ini menaiki punggungku tatkala sujud, dan saya suka untuk membiarkannya bermain diatas punggungku hingga ia puas”12.
Bahkan para sahabat Nabi sangat mencintai dan mengistimewakan Hasan dan Husain. Sungguh mencintai keduanya merupakan bukti cinta kepada kakek mereka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Pengetahuan mereka bahwa beliau sangat mencintai dua cucunya ini membuat mereka sangat mengistimewakan keduanya dibandingkan dengan anak-anak sahabat lainnya. Pernah Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu memberikan pakaian kepada anak-anak para sahabat, akan tetapi diantara pakaian tersebut tidak ada yang cocok untuk Hasan dan Husain, maka beliaupun memesankan pakaian dari Yaman, hingga datang dengan pakaian yang cocok untuk mereka berdua, lalu setelah Hasan dan Husain memakainya, Umar berkata: “Sekarang, hatiku telah tenang”13.
Kisah ini menunjukkan bahwa Khalifah Umar sangat mencintai Hasan dan Husain, bahkan beliau menjadi ipar bagi mereka berdua dengan menikahi saudari seayah mereka yang bernama Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib rahimahallaah. Tidak ada bukti otentik bahwa Khalifah Umar sangat membenci dan menzalimi Ahli Bait, apalagi sampai menyiksa Fatimah radhiyallahu’anha. Sungguh secara logika, Imam Ali tak akan pernah membiarkan atau mendiamkan siapapun untuk mencederai Fatimah, termasuk Umar atau selainnya. Sebaliknya sikap lemah lembut dan perhatian Khalifah Umar kepada Ahli Bait dan kesediaan beliau menjadi bagian dari keluarga besar mereka dengan menjadi ipar Hasan-Husain harusnya tak diabaikan untuk menjadi bukti absah akan keharmonisan antara Khalifah Umar dengan Ahli Bait termasuk Hasan dan Husain. Bahkan Hasan dan Husain sangat mencintai beliau yaitu dengan secara suka rela menerimanya sebagai suami adik mereka. Tak hanya sampai disitu, literatur-literatur sejarah yang otentik membuktikan bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki putera yang dinamakan Umar, juga Abu Bakr, dan Utsman. Husain sendiri memiliki putera yang bernama Umar, juga Abu Bakr, yang mana semuanya syahid di Karbala. Ini sebagai bukti kuat bahwa Ahli Bait sama sekali tidak membenci Abu Bakr, Umar, dan Utsman; tiga khalifah umat islam sepeninggal Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
Bahkan Abu Hurairah AbdurRahman bin Shakhr Al-Dausi radhiyallahu’anhu yang bukan berasal dari Kabilah Quraiys, dan hanya tiga tahun bersama Nabi shallallahu’alaihi wasallam, sangat mencintai dan menyayangi Hasan-Husain radhiyallahu’anhuma. Beliau sampai-sampai meriwayatkan sabda suci Baginda Rasul: “Ya Allah, sungguh saya mencintai Hasan, maka cintailah ia, dan cintailah orang yang mencintainya”. Abu Hurairah lalu berkata mengungkapkan rasa cinta dan sayangnya pada Hasan: “Sungguh, tidaklah mata saya memandang Hasan kecuali mataku meneteskan air mata”14, sebagai tanda cinta dan harapan agar cinta tersebut menjadikan Allah ta’ala mencintainya sebagaimana dalam doa yang dipanjatkan oleh Baginda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
Ya Allah, sungguh kami mencintai Hasan-Husain, cucu kesayangan Nabimu, Dua Penghulu Pemuda Ahli Surga, cinta suci yang tak dicoreng oleh sikap ghuluw, pengkultusan dan berlebih-lebihan. Cinta yang Engkau dan Nabi-Mu ajarkan pada kami. Maka cintailah kami dan binasakanlah suatu kaum yang mengklaim kecintaan pada mereka dan Ahli Bait namun kecintaan itu hanyalah topeng tuk mengkafirkan para sahabat Nabi-Mu. Allaahumma aamiin.
- SATU PERSIMPANGAN – MENDUNG DI LANGIT KARBALA (episode 1)
- HIJRAH YANG TAK DIRINDUKAN – MENDUNG DI LANGIT KARBALA (episode 2)
- MADINAH DAN SECERCAH KENANGAN – Mendung Di Langit Karbala (Episode 3)
1 .Lihat: Musnad Ahmad: 1/98 dan Ibnu Hibban: 15/410 dengan sanad shahih
2 .Lihat: Sunan Nasai: 7/166 dengan sanad shahih, dan Sunan Abi Daud: 2841 dengan sanad hasan lighairihi.
3 .Lihat: Musnad Ahmad: 6/392 dan Jami’ Tirmidzi: 1519 dengan sanad hasan lighairihi.
4 .Lihat: Musnad Ahmad: 1/98 dan Ibnu Hibban: 15/410 dengan sanad shahih
5 .Lihat: Musnad Ahmad: 1/98 dengan sanad hasan dan Al-Tabyin fi Ansab Al-Qurasyiyin: 133
6 . Lihat: Musnad Ahmad: 1/98
7 .HR Ibnu Hibban: 6964
8 .HR Bukhari: 3542
9 .HR Tirmidzi: 3779, dan Ahmad: 374
10 .HR Bukhari: 3746
11 .Fadhail Shahabah, Imam Ahmad: 2/722, dengan sanad hasan.
12 .Lihat Musnad Ahmad: 27647
13 .lihat: Musnad Al-Faruq: 2/326
14 .HR Ahmad: 10891 dengan sanad hasan.