Aku dan Wahdah Islamiyah
(KUTEMUKAN DAKWAH BIJAK AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DI WAHDAH ISLAMIYAH)
Cuplikan naskah peserta lomba menulis Wahdah Islamiyah 2016
Oleh Fulana
Masa SMA adalah masa pancaroba, saat-saat mencari jati diri. Alhamdulillah, Allah pilihkan teman-teman yang baik dalam lingkungan saya. Teman-teman yang memiliki ghirah untuk memperbaiki diri. Pada bulan Ramadhan, kami bersepakat mengikuti kegiatan Pesantren Kilat yang diadakan di sebuah Mesjid Agung di kota Bireuen selama 7 hari 7 malam. Dari kegiatan tersebut, segalanya bermula. Semangat dan pengorbanan Ustadz dan Ustadzah dalam menumbuhkan benih-benih keta’atan telah menorehkan kesan yang mendalam. Gamis dan jilbab lebar sang Ustadzah memberi inspirasi untuk mengamalkan perintah Allah dalam menutup Aurat.
Muslimah berjilbab lebar pada waktu itu sangat langka di kota Bireuen. Ujian dan rintangan tak dapat dielakkan. Karena itu adalah pilihan hati maka konsekuensinya harus dijalani. Iman bukan kata-kata yang diumbar tapi ia adalah hakikat yang punya beban, amanah yang punya cobaan, perjuangan yang memerlukan kesabaran dan kesungguhan yang memerlukan penanggungan. Namun, saat-saat itulah, manisnya iman begitu terasa. Segala puji bagi Allah atas Hidayah dan Kasih Sayang-Nya. Saya belajar dan dididik oleh Ustadz dan Ustadzah untuk peka dengan kondisi kaum muslimin yang berada pada keadaan lemah di berbagai sisi kehidupan. Semangat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar ditumbuhkan secara konsisten dalam jiwa saya dan teman-teman. Kami pun dilatih untuk berani tampil mengisi kajian-kajian di sekolah.
Setelah tamat SMA pada tahun 2000, saya diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh melalui jalur undangan (USMU). Saya pindah ke Banda Aceh bersama teman-teman yang juga melanjutkan pendidikannya di Banda Aceh. Kami dititipkan kepada murabbi (binaan Ustadz) untuk melanjutkan liqa pekanan. Ustadz –Ustadz juga secara rutin ke Banda Aceh untuk mengisi kajian pekanan. Semangat para Ustadz dalam dakwah dan pembinaan sungguh luar biasa. Keikhlasan terpancar dari jiwa mereka yang tanpa pamrih. Tidak hanya mengorbankan hartanya dalam dakwah tapi mereka pun siap mengorbankan jiwanya. Kondisi Aceh pada waktu itu yang sangat mencekam akibat konflik yang terjadi antara pihak TNI dan GAM bukanlah hal mudah untuk mengadakan perjalanan darat.
Memasuki kampus kedokteran, saya menemukan teman-teman sevisi dan seperjuangan. Bersama mereka, dalam mengikuti kajian pekanan yang diisi oleh Ustadz-Ustadz dari Bireuen di Mesjid Jami’ Kampus Unsyiah. Bersama mereka, menyelesaikan tugas-tugas kuliah dan belajar bersama ketika menghadapi ujian mid semester dan final. Bersama dalam membangun keta’atan dalam bingkai Ukhuwah yang indah. Kenangan itu tak akan pernah bisa saya lupakan. Namun, jalan hidup ini adalah rahasia Allah yang tak seorang pun dapat menduga. Keretakan ukhuwah itu pun terjadi, saat sebuah pemahaman mulai berubah.
Sekitar tahun 2002, ikhwah dan akhwat yang dikirimkan oleh Ustadz untuk belajar ke Yogyakarta pulang ke Banda Aceh. Mereka memulai dakwahnya dengan mengoreksi kesalahan Ustadz dalam Manhaj Dakwah sesuai ilmu yang mereka dapatkan saat belajar. Mereka mulai meninggalkan pengajian Ustadz dan membentuk pengajian baru. Seolah-olah bagi mereka, tidak ada lagi kebaikan Ustadz sehingga silaturrahim pun mereka putuskan. Dan mulailah terjadi kebimbangan diantara kader-kader Ustadz yang lain. Sebagian memilih bergabung dengan pengajian baru tersebut termasuk teman-teman saya di Fakultas Kedokteran. Saya memilih tetap dalam pengajian Ustadz meski kebimbangan juga melanda saya. Teman-teman sefakultas, terus berupaya mengajak saya untuk bergabung bersama mereka. Namun, hati kecil saya tidak dapat menerima sikap mereka dalam bergaul dengan orang-orang yang mereka anggap tidak sepemahaman meski saya iri dengan ilmu yang mereka dapatkan. Hingga akhirnya saya diboikot oleh teman-teman ini. Mereka tidak lagi mengajak saya berbicara dan tidak lagi mau menjawab panggilan saya.
Di saat kesedihan dan kebimbangan melanda jiwa ini, saya pasrahkan diri kepada Allah. Saya memohon kepada Allah agar diberi kesabaran, keikhlasan dan kebesaran hati menghadapi sikap teman-teman yang saya cintai. Saya memohon kepada Allah agar dipertemukan dengan sebuah jama’ah yang berada di atas manhaj Salafus Shalih namun memiliki akhlaq yang mulia. Sebuah harapan yang juga tumbuh dalam jiwa saya untuk mendapatkan seorang suami yang memiliki keilmuan dan akhlaq mulia yang dapat membimbing saya meniti jalan ke syurga.
Waktu terus bergulir, hingga seorang ummahat memperkenalkan Wahdah Islamiyah kepada saya. Suaminya baru saja kembali dari studi banding ke Wahdah Islamiyah. Ummahat tersebut menceritakan betapa hebatnya Wahdah Islamiyah, memiliki pendidikan dari jenjang TK sampai Perguruan Tinggi, memiliki kader yang begitu banyak khususnya kader muslimahnya yang tertata dengan program kerja yang rapi. Sebuah pertanyaan muncul dalam pikiran saya, inikah jama’ah yang saya harapkan dalam do’a-do’a saya? Dilandasi keyakinan dan kestiqahan Ustadz (suami ummahat tersebut) kepada Wahdah Islamiyah, beliau mengirimkan beberapa ikhwah Aceh belajar ke STIBA Makasar.
Musibah gempa dan tsunami menggoncang bumi Aceh pada bulan desember tahun 2004. Berbagai bantuan dan perhatian lembaga-lembaga baik Nasional maupun Internasional mengalir ke Aceh. Para Ustadz dari berbagai lembaga hadir ke Aceh, termasuk Ustadz-Ustadz dari Wahdah Islamiyah yang tergabung dalam Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI). Ternyata Tsunami menjadi jalan hadirnya Ustadz-Ustadz dari Wahdah Islamiyah ke Banda Aceh. Namun pada waktu itu, saya bersama 15 orang mahasiswa kedokteran ditakdirkan Allah berangkat ke Makasar kira-kira seminggu setelah tsunami bersama rombongan Pemda Sulawesi Selatan untuk melanjutkan program Coas di Unhas. Pada waktu itu, Pemda Sulsel bermarkas di RSU Zainoel Abidin dan berfokus pada rehabilitasi RSU Zainoel Abidin yang rusak karena gempa dan tsunami. Mereka juga prihatin kepada para Coas yang tidak dapat melanjutkan kegiatan pendidikan. Unhas memprakarsai program pendidikan Coas bagi mahasiswa kedokteran Unsyiah yang diikuti oleh Universitas lainnya di Indonesia.
Kami tiba di Makasar dengan sambutan yang begitu hangat oleh Pemda Sulawesi Selatan dan masyarakatnya. Kami diberikan fasilitas tempat tinggal di Rusunawa Tamalanrea dan seluruh biaya pendidikan gratis. Bapak Syahrul Yasin Limpo yang pada waktu itu menjabat sebagai Wakil Gubernur Sulawesi Selatan menjadi Bapak angkat mahasiswa kedokteran Aceh. Di samping misi melanjutkan pendidikan Coas di Makasar, saya memiliki harapan untuk mengenal dakwah Wahdah Islamiyah di kota Makasar ini. Namun, harapan ini tidak kesampaian.
Setelah beberapa bulan berada di Makasar, Saya dikunjungi oleh seorang teman, adik letting di SMA yang sedang menemani suaminya belajar di STIBA. Teman tersebut mengenalkan seorang ikhwah (teman suaminya yang juga mahasiswa STIBA asal Aceh) bernama Muhammad Hatta dengan biodata singkat serta menanyakan kesiapan saya untuk masuk ke jenjang pernikahan. Setelah istikharah, saya menyatakan kesiapan untuk diproses ke tahap selanjutnya. Semuanya berproses jarak jauh, karena ikhwah tersebut ikut bersama relawan makasar lainnya ke Banda Aceh. Meski saya tidak bertemu langsung dengan ikhwah tersebut saat ta’aruf, tapi saya sudah merasa yakin dan menyerahkan urusan selanjutnya kepada keluarga saya. Sebuah kalimat yang diutarakan oleh ikhwah tersebut semakin memantapkan hati saya, yaitu “ Saya tidak memiliki apa-apa tapi saya akan berusaha dengan sungguh-sungguh mengantarkan keluarga saya ke Syurga”. Dengan izin Allah semuanya berjalan cepat, akad nikah pun telah ditetapkan waktunya. Setelah khitbah, ikhwah tersebut menerima pengumuman kelulusannya di Universitas Islam Madinah. Sehingga waktu akad yang telah disepakati harus dimajukan. Saya pun kembali ke Aceh setelah 6 bulan menjalani Coas di Makasar.
Satu bulan setelah akad, suami berangkat ke Madinah dan saya melanjutkan Coas di Banda Aceh karena RSU Zainoel Abidin telah berfungsi kembali. Saya bertemu dengan teman-teman semasa SMA dan bergabung dengan mereka dalam taklim serta pembinaan yang ditangani oleh Ustadz Aswanto, Lc (Da’i dari Wahdah) dan Ummu Unaisah. Ustadz Aswanto menjalin hubungan baik dengan Ustadz-Ustadz yang pertama sekali membina kami. Bahkan beliau dan istrinya senantiasa mengarahkan saya dan teman-teman agar menjaga silaturrahim dengan para Ustadz. Hal inilah yang membuat saya yakin akan keilmuan dan akhlaq Ustadz Aswanto yang mencerminkan keilmuan dan akhlaq lembaga yang menaunginya. Segala puji bagi Allah atas segala nikmat dan karunia-Nya. Saya menemukan sesuatu yang saya impikan selama ini. Allah mempertemukan saya dengan pasangan hidup yang memiliki cita-cita tinggi dalam menuntut ilmu syar’i. Dalam waktu yang berdekatan, saya juga bertemu dengan seorang Ustadz dan Ummahat yang konsisten dengan manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dengan mengedepankan semangat persatuan ummat. Ternyata, mereka berasal dari lembaga yang sama. Namun menarik, mereka tidak pernah mengangkat-ngangkat dan membesarkan nama lembaganya, akan tetapi yang selalu disinggung adalah bagaimana mengenalkan Islam dan menggiring ummat kepada syari’at Islam. Bagi mereka, lembaga itu hanya sarana dalam menyusun dan memudahkan kerja-kerja dakwah.
Ternyata, Ustadz Aswanto dan Ummu Unaisah ditugaskan berdakwah di Banda Aceh hanya 1 tahun. Saat akan berakhir waktu tersebut, Ummu Unaisah menyampaikan kepada saya bahwa mereka akan kembali ke Makasar. Saya dan teman-teman sangat terkejut dengan kabar itu, rasanya kami belum siap untuk ditinggalkan. Saya dan teman-teman mengirimkan email kepada Ustadz Zaitun, memohon perpanjangan masa tugas Ustadz Aswan di Banda Aceh. Alhamdulillah, Ustadz Zaitun sangat bijak merespon permohonan kami dan mengabulkankannya. Kegiatan- kegiatan taklim dan tarbiyah bersama Ustadz Aswanto dan Ummu Unaisah terus berlanjut hingga 2 tahun kemudian. Selama rentang waktu tersebut, kami dipahamkan akan pentingnya sebuah jama’ah yang terorganisir dengan rapi sehingga islam dapat tersebar secara luas. Pada tahun 2007, atas kesadaran sendiri, akhirnya kami membentuk sebuah Forum Muslimah Azkiyah (FMA). Kami merasakan manfaat hadirnya forum tersebut sehingga dapat mengelola kegiatan-kegiatan seminar nasional dan menghadirkan dai’yah dari makasar. Penyebaran dakwah serta peningkatan kuantitas dan kualitas kader dakwah meningkat secara nyata. Tidak hanya semangat dakwah dan pembinaan yang ditumbuhkan kepada kami tetapi kami juga dibekali dengan keilmuan dan skill dalam mengelola dakwah tersebut.
Ustadz Aswanto dan keluarganya meninggalkan Aceh pada tahun 2009 karena melanjutkan pendidikan S-2 di Riyadh. Kami harus merelakan kepergian Ustadz dan keluarganya meski kesedihan menerpa jiwa kami. Sungguh, begitu besar pengorbanan beliau dan keluarganya dalam dakwah dan pembinaan di Banda Aceh. Ujian dan rintangan telah beliau lewati. Barangkali saatnya Allah memuliakan beliau atas usaha dakwahnya dengan kelulusan S-2 nya di Riyadh. Alhamdulillah, Allah gantikan Ustadz Aswanto dengan Ustadz Nur Ihsan dan keluarganya untuk melanjutkan perjuangan dakwah di Banda Aceh. Kesadaran kami akan pentingnya sebuah lembaga dakwah yang terorganisir dengan rapi dan memiliki legalitas formal semakin tumbuh. Dengan kesepakatan ikhwah dan akhwat serta bantuan Ustadz Nur Ihsan dan Ummu Atha maka DPD Wahdah Islamiyah dan Lembaga Muslimah di Banda Aceh resmi dikukuhkan pada tahun 2011. Pada saat itu sedang heboh-hebohnya Millata Abraham di Banda Aceh, sehingga pilihan untuk segera membentuk Wahdah di Banda Aceh adalah sebuah pilihan yang tepat. Upaya-upaya penyebaran dakwah dapat berjalan dengan lebih baik tanpa mendatangkan kecurigaan dari pihak-pihak lain.
Di Wahdah Islamiyah, saya menemukan sosok-sosok teladan yang sangat patuh kepada pemimpinnya, sangat tinggi rasa kasih sayangnya dan semangat kerjasamanya. Sosok-sosok sederhana dengan keilmuannya yang tinggi, sangat santun dan penuh pengorbanan dalam mengemban amanah dakwah. Mereka siap ditugaskan di mana saja dalam medan dakwah tanpa adanya iming-iming dunia. Mereka tidak membangga-banggakan lembaganya atau menganggap lembaganya lah yang paling benar dan sangat besar kesabarannya dalam menghadapi tudingan orang-orang yang tidak senang kepada lembaganya. Cita-cita mereka dalam mewujudkan persatuan ummat tercermin dalam sikap dan upaya dakwahnya. Semoga Allah senantiasa merahmati lembaga ini dan menuntunnya dalam kebaikan sampai berakhirnya kehidupan dunia ini.