1.Berlebih-lebihan ketika madhmadhah (berkumur-kumur) dan istinsyaaq (menghirup air kedalam hidung) . Berlebih-lebihan dalam kedua amalan ini disunatkan bagi orang yang berwudhu namun dimakruhkan ketika sedang puasa karena dikhawatirkan bisa membuat air masuk kedalam kerongkongan sehingga dapat membatalkan puasanya. Sebab itu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صائما
Artinya : “Dan berlebih-lebihlah dalam istinsyaq kecuali kalau engkau sedang puasa”. (HR Tirmidzi : 788, Nasai : 1/66, dan Ibnu Majah : 407 : derajatnya shahih, dinilai shahih oleh Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Al Hakim, Al Albani dan selain mereka).
Bersiwak juga masuk dalam hukum istinsyaq ini yaitu makruhnya bersiwak secara berlebih-lebihan.
2.Melakukan ciuman atau cumbuan dengan diiringi syahwat. Ciuman ini makruh hukumnya jika dilakukan dengan diiringi syahwat karena dapat menyebabkan seseorang melakukan pembatal puasa seperti jimak, onani atau mengeluarkan mani.
Adapun kalau mencium dengan tidak diiringi syahwat atau dengan keyakinan tidak akan menimbulkan syahwat maka hal ini tidaklah mengapa sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ,Aisyah radhiyallahu’anha mengisahkan :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
Artinya: ” Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah mencium (istrinya) sedang beliau puasa, juga mencumbu sedang beliau puasa, namun beliau paling kuasa menahan syahwatnya”. (HR Bukhari: 1927 dan Muslim: 1106).
3.Mengecap makanan tanpa ada hajat. Ini juga dimakruhkan kalau tanpa hajat tertentu karena dikhawatirkan bisa masuk kedalam kerongkongan, adapun kalau ada hajat tertentu seperti tukang masak maka tidak mengapa melakukannya namun harus hati-hati agar tidak masuk kedalam kerongkongan.
4.Hijamah (Bekam) jika dapat melemahkan tubuh .Sebagian ulama seperti Ishaq bin Rahuwiyah, Para Ulama Madzhab Hanabilah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayim menyatakan bahwa bekam ; membatalkan puasa dengan dalil hadis Syaddad bin Aus radhiyallahu’anhu :
أفطر الحاجم والمحجوم
Artinya: “Yang membekam dan yang dibekam telah batal puasanya”. (HR Ahmad: 4/123 , Abu Daud: 3369 dan selainnya dan dinilai shahih oleh Ahmad, Ishaq bin Rahuwiyah, Ibnul Madini dan selain mereka).
Walaupun hadis ini shahih dan diklaim sebagai hadis mutawatir namun banyak hadis yang menegaskan bahwa hadis ini mansukh/ hukumnya dihapus, diantaranya :
a)- Hadis Ibnu Abbas dalam Shahih Bukhari (1938 dan 1939) :
أن النبي صلى الله عليه وسلم احتجم وهو محرم واحتجم وهو صائم
Artinya: “bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berbekam sedang beliau sedang ihram, dan berbekam sedang beliau sedang puasa”.
b)-Hadis mawquf/Ucapan Abu Sa’id Al Khudri dengan sanad shahih dalam Shahih Ibnu Khuzaimah (1966) :
رخص للصائم في القبلة والحجامة
Artinya: “Diberikan tarkhis / keringanan bagi orang berpuasa untuk mencium dan berbekam”.
Walaupun hadis ini mawquf / merupakan ucapan Abu Sa’id namun ia memiliki hukum marfu’ / disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini menunjukkan bahwa pada mulanya hijamah/bekam dan qublah/ciuman ini dilarang ketika puasa,namun setelah itu dibolehkan karena rukhshah / keringanan atas suatu amalan dalam islam biasanya ditetapkan setelah adanya tahrim / pengharaman terhadapnya.
c)-Hadis Anas bin Malik radhiyallahu’anhu dalam Shahih Bukhari (1940), dari Tsabit Al Bunani bahwa Anas ditanya :
أكنتم تكرهون الحجامة للصائم؟ فقال: لا, إلا من أجل الضعف
Artinya: “Apakah kalian dulu (pada masa Nabi) melihat makruhnya (haramnya) hijamah/bekam bagi orang yang puasa?”, beliau menjawab : “Tidak, kecuali kalau dapat membuat lemas”.
Walaupun hadis ini mawquf / ucapan Anas namun hukumnya adalah hukum marfu’ /disandarkan pada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam karena sang penanya bertanya tentang hukum bekam pada zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Ini sebagai dalil jelas bahwa larangan bekam hanyalah bagi yang khawatir akan membuat dirinya lemas.
d)-Hadis Anas bahwa ia berkata :
أول ما كرهت الحجامة للصائم : أن جعفر بن أبي طالب احتجم وهو صائم فمر به النبي صلى الله عليه وسلم فقال: أفطر هذان. ثم رخص النبي صلى الله عليه وسلم بعد في الحجامة للصائم. وكان أنس يحتجم وهو صائم كلهم ثقات ولا أعلم له علة
Artinya: “Pertamakali hijamah/bekam dimakruhkan (diharamkan) bagi orang yang berpuasa adalah ketika Ja’far bin Abu Thalib berbekam sedangkan ia berpuasa, lalu Nabi shallallahu’alaihi wasallam melewatinya dan bersabda : “Dua orang ini (yang membekam dan dibekam) telah batal puasanya”. Kemudian setelah itu Nabi shallallahu’alaihi wasallam memberikan keringanan/ tarkhis bekam terhadap orang berpuasa”. Perawi dari Anas berkata : “Dan dulu Anas berbekam sedangkan ia puasa”.(HR Daruquthni : 2/182 dan Ia berkata; “Semua perawinya tsiqah dan saya tidak tahu adanya ‘illah/sisi cacat darinya”).
Walaupun hadis riwayat Daruquthni ini memiliki cacat menurut sebagian ulama namun dalil-dalil sebelumnya telah cukup sebagai hujjah.
e)-Sebab itu Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma yang terkenal sebagai sahabat yang paling kuat ittiba’-nya terhadap amalan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, melakukan hijamah pada siang hari ketika puasa, dan tatkala beliau telah melemah karena tua, beliau melakukan hijamah pada malam hari.
Bahkan pendapat bolehnya berbekam bagi orang berpuasa ; merupakan madzhab jumhur para sahabat radhiyallahu’anhum seperti Aisyah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Anas, Abu sa’id, Zaid bin Arqam, Ummu Salamah, serta jumhur tabi’in dan para ulama setelah mereka.
Oleh karena itu disiang hari puasa tetap dibolehkan untuk berbekam, atau donor darah jika hal ini tidak dikhawatirkan akan membuat tubuh lemas, dan inilah pendapat yang shahih. Adapun tes darah atau keluarnya darah dari hidung atau karena batuk maka sama sekali bukan perkara yang makruh.
5.Muntah secara sengaja. Barangsiapa yang muntah secara tidak sengaja, maka puasanya tidaklah batal, demikian pula kalau secara sengaja .Inilah pendapat Abu Hurairah, Ibnu Abbas , Ikrimah, dan sekelompok tabiin dan para imam. Namun jumhur ulama menyatakan bahwa muntah secara sengaja membatalkan puasa sesuai hadis ‘Isa bin Yunus dari Hisyam bin Hassan dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu :
من ذرعه القيء فلا قضاء عليه ومن استقاء فعليه القضاء
Artinya : “Barangsiapa yang muntah secara tidak sengaja maka ia tidak wajib qadha (karena puasanya tidak batal), dan barangsiapa yang muntah secara sengaja maka ia wajib mengqadha puasanya (karena puasanya telah batal)”. (HR Ahmad 2/498 , Abu Daud : 2380 dan selainnya).
Namun hadis ini ma’lul / memiliki cacat yaitu :
1.Tafarrud ‘Isa bin Yunus terhadap hadis ini dari jalur Hisyam, dan tafarrud (periwayatan secara sendiri) oleh ‘Isa tidak bisa dijadikan hujjah karena ‘Isa tidak bisa diterima riwayat tafarrud-nya, dan jelas yang salah dalam periwayatan hadis ini adalah ‘Isa bin Yunus, sebab itu Imam Tirmidzi berkomentar setelah meriwayatkan hadis ini dalam kitab Jami’-nya (720) : “Hadis Abu Hurairah ini ; hadis hasan gharib, dan kami tidak mengetahuinya dari jalur Hisyam dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam kecuali dari jalur ‘Isa bin Yunus, dan Muhammad (Imam Bukhari) berkata : “Saya tidak memandang hadis ini sebagai hadis mahfudzh (shahih periwayatannya)”.
Ucapan Tirmidzi : “hadis hasan gharib” : menunjukkan dhoif-nya hadis ini, demikian pula ucapan Imam Bukhari yang menilai hadis ini tidak mahfudzh alias syaadz. Hadis ini juga telah diingkari oleh Ulama Ahli Bashrah1.
2.Seandainya hadis ini shahih maka tentu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tidak akan menyelisihinya, namun ternyata Abu Hurairah menyelisihi hadis ini, ini menunjukkan dhoif-nya hadis ini sebagaimana dalam Shahih Bukhari (Bab Al-Qayi’ wal Hijaamah : no.32) dengan sanadnya bahwa Abu Hurairah berkata : “Jika ia muntah maka ia tidak batal puasanya karena ia cuma mengeluarkan dan tidak memasukkan (makanan)”, Al Bukhari rahimahullah berkomentar : “Juga dinukil dari Abu Hurairah bahwa muntah ini membatalkan puasa, namun yang shahih dari beliau adalah yang pertama (bahwa muntah tidak membatalkan puasa secara mutlak –pent), Ibnu Abbas dan Ikrimah berkata : “Pembatal puasa adalah apa-apa yang masuk bukan yang keluar”.
Kesimpulannya , muntah secara sengaja tidak membatalkan puasa namun makruh hukumnya karena merupakan sebab melemasnya tubuh yang dapat membuatnya membatalkan puasanya. Wallaahu a’lam.
Catatan Kaki :
1 .Juga ada dalam hadis Tsauban dan selainnya (bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam muntah lalu beliau berbuka puasa), namun lafadz hadis ini berbeda-beda, diantaranya ada lafadz (bahwa beliau muntah lalu berwudhu) dan bukan berbuka, dan khilaf /perbedaan pendapat dalam merajihkan antara dua lafadz ini sangat kuat, bahkan andai yang raajih adalah lafadz pertama, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau berbuka puasa karena muntah , sebab itu Tirmidzi berkata : “Hadis ini telah diriwayatkan lebih dari satu jalur dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, akan tetapi sanadnya tidak shahih, dan juga telah diriwayatkan dari abu Darda , Tsauban dan Fadhalah bin ‘Ubaid “bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam muntah lalu berbuka puasa”, namun makna hadis ini adalah bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam waktu itu sedang puasa sunat, lalu beliau muntah sehingga tubuhnya lemah, maka beliaupun berbuka, sebab itu seperti makna inilah yang diriwayatkan dalam sebagian hadis yaitu secara terperinci…”. (Jami’ Tirmidzi : 720)