Konsistensi Ibadah: Antara Murabbi dan Mutarabbi

Date:

Seorang dai baik berstatus sebagai murabbi atau mutarabbi harus rajin dan konsisten beribadah kepada Allah Ta’ala dengan berbagai jenis ibadah yang disyariatkan oleh-Nya, dan dengan tata cara yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, sebab ini salah satu konsekuensi dari syahadat “Muhammad Rasulullah.” Juga karena semua amal ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam akan tertolak dan pelakunya akan mendapatkan dosa, sebagaimana dalam hadis Ibunda kita Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

Artinya: “Siapa saja yang membuat-buat perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak.” (HR Bukhari: 2697, dan Muslim: 1718).

Dalam riwayat lain:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

Artinya: “Siapa yang melakukan suatu amalan (dalam agama) yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak.” (HR Muslim: 17 dan 18).

Dalam meniti jalan pembenahan kesalihan diri, tarbiyah dan dakwah mesti ada perbaikan amal ibadah sesuai dengan sunah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, bukan beribadah dengan amalan-amalan bid’ah atau amalan warisan budaya dari nenek moyang kita yang sama sekali tak bersumber dari Al-Quran atau Sunah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

Seorang murabbi dan mutarabbi hendaknya tidak hanya konsisten menjalankan ibadah-ibadah wajib, namun juga harus konsisten dan mentarbiyah dirinya agar bisa melaksanakan amalan-amalan sunat. Sebab, amalan-amalan wajib itu merupakan titik persamaan antara dirinya dengan masyarakat umum, dan ia sebagai “muslim khusus” hendaknya memiliki nilai plus dan kelebihan yang tampak dalam aplikasi amalan-amalan sunat; baik salat-salat sunat, puasa sunat, sedekah, zikir, rajin membaca Al-Quran, dan lainnya. Tentang fadilah amalan-amalan sunat ini, dalam suatu hadis qudsi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Allah Ta’ala berfirman:

ما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه وما يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به وبصره الذي يبصر به ويده التي يبطش بها ورجله التي يمشي بها وإن سألني لأعطينه ولئن استعاذني لأعيذنه

Artinya: “Tidak ada ibadah yang dipersembahkan hamba-Ku yang paling Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibakan kepadanya, dan tidaklah hamba-ku senangtiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sampai aku mencintainya. Dan jika aku mencintainya, maka Aku sebagai pendengaran yang ia pakai mendengar, penglihatan yang ia pakai melihat, tangan yang ia pakai memegang, dan kaki yang ia pakai berjalan, dan jika ia meminta kepada-Ku akan Aku berikan, dan jika ia minta perlindungan dari-Ku akan Aku lindungi”. (HR Bukhari: 6502).

Konsistensi ibadah wajib sekaligus ibadah sunah ini sangat urgen perannya dalam peningkatan kwalitas diri seorang muslim, terkhusus yang berstatus sebagai dai, murabbi, atau mutarabbi. Ia merupakan bekal dan senjata seorang dai atau murabbi dalam mengemban beratnya amanah dakwah dan tarbiyah. Ibadah akan menanamkan sikap kesabaran dalam menghadapi berbagai rintangan dakwah dan tarbiyah, serta menambahnya keteguhan dalam mengarungi lautan fitnah yang terpampang di hadapannya. Konsistensi ibadah adalah tujuan utama dari sebuah dakwah dan tarbiyah, sehingga sangat tidak pantas bila seorang dai atau murabbi tidak menghiraukannya, atau bahkan melalaikannya; karena bagaimana ia bisa mewujudkan konsistensi ibadah ini dalam diri objek dakwah atau mutarabbinya sedangkan ia sendiri lalai darinya?! Allah telah mengecam ulama-ulama Yahudi yang menyeru pada kebaikan sedangkan mereka sendiri lalai dari melakukannya, sebagaimana dalam firman-Nya:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ [البقرة: 44]

Artinya: “Mengapa kalian menyuruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kalian melupakan (kewajiban) diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?” (QS Al-Baqarah: 44).

Selain itu, ibadah juga akan menambah cahaya pada wajahnya, serta menjadikan dirinya sebagai insan yang patut diteladani, yang dengannya para objek dakwah dan mutarabbinya akan selalu mencintai dan menerima nasehat dan wejangan yang ia sampaikan; karena pengaruh positif dari sikap teladan seorang dai atau murabbi lebih besar dibandingkan sekedar pengaruh positif dari ucapannya. Maimun bin Mahran rahimahullah menegaskan kaedah ini dalam ungkapan indahnya: “Seandainya ahli Al-Quran itu baik (menjadi orang-orang teladan), niscaya manusia akan juga turut menjadi baik (karena meneladani mereka).” (Akhlaaq Ahli Al-Quraan: 104).

Adapun pada diri mutarabbi, konsistensi ibadah ini akan membentuk kepribadiannya sebagai mukmin sejati, membenahi hatinya agar tetap istiqamah dan semangat dalam mengerjakan amal saleh, membuatnya tegar dalam menghadapi rintangan dan musibah, serta membentengi dirinya dari fitnah syubhat dan syahwat. Syaikh Abdul’Azizi Ath-Tharifi hafidzhahullah berkata: “Konsistensi ibadah membentengi seorang mukmin dari berbagai syahwat, dengan dalil:

أليس الله بكاف عبده

Artinya: “Bukankah Allah telah cukup sebagai pelindung bagi hamba-Nya (yang beribadah pada-Nya)?!” (QS Az-Zumar: 36)

Tentu ada kaitan antara ibadah kepada Allah dan perlindungan-Nya; yaitu setiap insan yang bertambah ibadahnya kepada Allah, maka perlindungan Allah pada dirinya (dari berbagai fitnah syahwat) akan juga bertambah…” (Asthur: 64)

Ibadah juga sebagai langkah paling urgen dalam mentazkiyah dirinya, mendekatkan dirinya kepada Allah dan merasukkan dalam hatinya rasa takut dan khusyu’ kepada Allah Ta’ala. Karena inilah tujuan utama ia ditarbiyah dan dibina dalam sebuah wadah tarbiyah dan ta’lim. Tarbiyah yang tidak dirasuki nilai-nilai konsistensi ibadah beserta mutabaahnya di dalamnya adalah program tarbiyah yang bernilai minus dan dikhawatirkan tidak akan melahirkan mutarabbi-mutarabbi yang handal.

Seorang murabbi atau mutarabbi juga hendaknya selalu banyak berkhalwat dan bermunajat secara sendiri di hadapan Allah Ta’ala, serta mengkhususkan beberapa ibadah sunah yang tidak diketahui oleh seorang pun selain Allah dan dirinya, baik berupa salat malam, zikir sendiri, sedekah, puasa, menjaga wudhu atau amal ibadah lainnya; karena hal ini akan sangat memberikan dampak positif pada penerimaan dakwahnya di masyarakat, serta meningkatkan kwalitas ibadah dan keikhlasannya kepada Allah Ta’ala, karena derajat ikhlas yang paling tinggi adalah berusaha merahasiakan amalan ketaatannya, sebagaimana ia berusaha merahasiakan amalan maksiatnya.

Dalam suatu hadis terdapat anjuran untuk ini, sebagaimana dalam riwayat Az-Zubair bin Awam radhiyallahu’anhu:

من استطاع منكم أن تكون له خبيئة من عمل صالح فليفعل

Artinya: “Siapa yang sanggup memiliki amal-amal saleh yang disembunyikan (dari pengetahuan orang lain) maka hendaknya ia melakukannya.” (HR Nasai dalam Sunan Kubra: 11834, Adh-Dhiya’ dalam Al-Mukhtarah: 3/77), dll. Hadis ini juga diriwayatkan secara marfu’ dari ucapan Nabi shallallahu’alaihi wasallam, namun yang benar ia hanya mauquf dari ucapan Az-Zubair bin Awam radhiyallahu’anhu).

Amalan tersembunyi inilah yang menjadikan Bilal radhiyallahu’anhu memiliki keutamaan luar biasa, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu:

أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لبلال عند صلاة الفجر: “يا بلال حدثني بأرجى عمل عملته في الإسلام، فإني سمعت دف نعليك بين يدي في الجنة”, قال: ما عملت عملا أرجى عندي: أني لم أتطهر طهورا، في ساعة ليل أو نهار، إلا صليت بذلك الطهور ما كتب لي أن أصلي”

Artinya: “Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepada Bilal radhiyallahu’anhu setelah shalat subuh: “Wahai Bilal, ceritakan padaku tentang amalan yang paling engkau harapkan (pahalanya) dalam islam! Karena sungguh saya mendengar suara gerakan kedua sandalmu di hadapanku dalam surga.” Bilal menjawab: “Saya tidaklah mengamalkan suatu amalan yang paling saya harapkan (pahalanya) kecuali tidaklah saya bersuci (berwudhu) di waktu malam atau siang melainkan saya melakukan setelahnya ibadah shalat semampuku.” (HR Bukhari: 1149 dan Muslim: 2458).

Tentang hadis ini, Al-Muhallab rahimahullah berkomentar: “Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa Allah Ta’ala memperbesar ganjaran pahala pada amalan saleh antara seorang hamba dengan tuhannya yang ia rahasiakan dari orang lain. Oleh sebab itu, para ulama rahimahumullah menyunatkan adanya amalan ketaatan tersembunyi antara hamba dengan tuhannya; di mana ia menabung pahala amalan itu hanya pada Allah Ta’ala. Hal yang menunjukkan bahwa amalan Bilal (dalam hadis ini) merupakan rahasia antara ia dan tuhannya adalah karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak mengetahui perihal amalan itu hingga beliau menanyakannya pada Bilal.” (Syarah Shahih Bukhari karya Ibnu Baththal: 3/143).

Syaikh Ath-Tharifi hafidzhahullah: “Ibadah yang dilakukan secara rahasia adalah laksana pagar kokoh yang diletakkan seorang insan di sekitar hatinya. Tidaklah seorang insan suka mengeluh kecuali ibadah berkhalwatnya dengan Allah Ta’ala begitu jarang. Sebab itu bekal Nabi shallallahu’alaihi wasallam adalah beribadah secara menyendiri di malam hari. Ibadah tersembunyi merupakan amalan yang paling meneguhkan hati seorang hamba di atas agamanya. Kebanyakan orang-orang yang tersingkir dari jalan kebenaran adalah orang-orang yang hanya suka beribadah secara tampak oleh manusia… Olehnya itu, semakin derajat seseorang mulia, ia semakin butuh amalan rahasia yang meneguhkan dirinya…” (Asthur: 67)

Sungguh, begitu indah nasehat beliau, semoga kita semua yang berstatus sebagai dai; murabbi dan mutarabbi bisa menjadikan ini sebagai prioritas kita dalam meniti jalan ini, jalan perjuangan dakwah dan tarbiyah. Semoga Allah meneguhkan kita semua di atas konsistensi ibadah. Aamiin.

Oleh: Maulana La Eda, Lc. MA.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Perkuat Bangsa Lewat Kolaborasi, Wahdah Islamiyah Ajak Ormas Islam Bersatu

MAKASSAR, wahdah.or.id - Dalam momentum Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas)...

Wahdah Islamiyah Tawarkan Program Pembinaan Intensif Sebagai Solusi Ketahanan Keluarga Di Era Globalisasi

MAKASSAR, wahdah.or.id - Pimpinan Umum Wahdah Islamiyah ustaz Muhammad...

Gerakan Sejuta Dai, Langkah Wahdah Islamiyah Dalam Penguatan Umat dan Ketahanan Bangsa

MAKASSAR, wahdah.or.id - Pemimpi Umum Wahdah Islamiyah, Ustaz Muhammad...

Berkontribusi Dalam Islahul Ummah, Pemprov Sulsel Apresiasi Peran Wahdah Islamiyah

MAKASSAR, wahdah.or.id – Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memberikan apresiasi...