Pada tulisan sebelumnya penulis telah menceritakan sebab Ibnu Fadlan memulai perjalanan dari Bagdad ke Eropa. Ia diperintahkan oleh Khalifah Al-Muqtadir Billah setelah khalifah menerima surat dari Raja Saqalibah yang meminta dikirimkan orang yang bisa mengajari mereka Islam. Saqalibah adalah negeri yang pada hari ini merupakan negara Bulgaria dan sekitarnya. Raja dan rakyatnya telah memeluk Islam dan tunduk kepada khalifah di Bagdad.
***
Kisah Ibnu Fadlan di Saqalibah
Di awal berada di Saqalibah, Ibnu Fadlan pernah ketinggalan shalat Isya. Di malam itu setelah shalat Magrib, Ibnu Fadlan berbincang-bincang dengan penjahit raja yang berasal dari Bagdad tapi sudah menetap di Saqalibah. Durasi perbincangan mereka tidak begitu lama, tiba-tiba adzan berkumandang.
Betapa kagetnya Ibnu Fadlan ketika keluar dari tenda melihat fajar telah terbit. Ibnu Fadlan mendatangi sang muadzin dan bertanya, “Kamu adzan apa?” “Adzan fajar (Subuh),”jawab muadzin.
Sang muadzin mengabarkan kepadanya bahwa sebelumnya orang-orang telah shalat Isya sesaat setelah shalat Magrib. Ibnu Fadlan baru memahami ternyata waktu malam di Saqalibah sangat singkat dibandingkan waktu siangnya. “Saya melihat waktu siang mereka sangat panjang dan waktu malamnya pendek. Ini akan berlangsung dalam beberapa waktu tertentu di setiap tahunnya. Selang beberapa waktu, malamnya akan menjadi panjang dan waktu siangnya menjadi pendek.” Demikian tulis Ibnu Fadlan.
Raja Saqalibah mengisahkan kepada Ibnu Fadlan bahwa ada sebuah negeri yang berjarak tiga bulan perjalanan dari Saqalibah, negeri itu dihuni oleh sebuah kaum bernama Wisu (1). Kata raja, waktu malam di wilayah tersebut kurang dari satu jam.
Saqalibah merupakan negeri dengan intensitas petir yang banyak. Ibnu Fadlan berkata, “Saya tidak pernah melihat sebuah negeri yang jumlah petirnya lebih banyak daripada yang terjadi di negeri ini. Ketika ada petir yang jatuh di suatu rumah, mereka tidak akan mendekati rumah itu. Mereka berkata, ‘Rumah ini telah dimurkai oleh Tuhan.’”
***
Ibnu Fadlan menyebutkan bahwa di Saqalibah terdapat banyak ular. Ia melihat sebuah cabang pohon dililit oleh sepuluh ular atau lebih. Penduduk tidak membunuh ular-ular itu dan ular-ular itu tidak membahayakan mereka. Ia juga mengisahkan perjumpaannya dengan seekor ular besar:
“Suatu waktu, saya melihat sebuah pohon di suatu tempat yang tingginya lebih dari seratus hasta. Pohon ini telah tumbang dan memiliki batang yang besar. Saya berhenti untuk melihatnya karena ada sesuatu yang bergerak yang membuat saya takut. Saya mengamatinya dari dekat dan saya melihat seekor ular yang tebal dan panjangnya menutupi batang pohon itu. Ketika ular tersebut menatapku, ia turun dari pohon itu dan menghilang di antara pepohonan. Saya sangat ketakutan. Kemudan saya datang dan melaporkan kejadian itu kepada raja dan orang-orang yang ada di ruangan raja. Ternyata mereka tidak menaruh perhatian terhadap ceritaku. Raja berkata, ‘Jangan khawatir, mereka tidak akan membahayakanmu.’”
***
Ibnu Fadlan mengisahkan kebiasaan orang-orang Saqalibah mandi. Laki-laki dan perempuan biasa mandi di sungai bersama-sama, dan -maaf- tanpa busana atas. Sebagian dari mereka tidak menutupi dirinya dari sebagian yang lain. Ibnu Fadlan berusaha mendakwahi para perempuan agar menutupi aurat mereka di hadapan para lelaki ketika mandi, tapi upayanya belum berhasil.
Akan tetapi, kata Ibnu Fadlan, mereka tidak melakukan perbuatan zina. Jika di antara mereka ada yang berzina, mereka akan menyiapkan empat pancang untuknya dan mengikat kedua tangan dan kakinya pada pancang tersebut. Setelah itu, mereka akan membelah pelaku zina itu dengan menggunakan sebuah kapak mulai dari tengguk leher sampai kedua pahanya. Hukuman ini juga ditimpakan kepada pihak perempuannya. Kemudian mereka akan menggantung setiap potongan tubuh laki-laki dan perempuan pelaku zina itu di sebuah pohon. “Mereka juga membunuh pelaku pencuri sebagaimana mereka membunuh pelaku zina,” terang Ibnu Fadlan.
***
Di suatu desa, Ibnu Fadlan menemukan sekelompok orang yang terdiri dari 5.000 laki-laki dan perempuan yang seluruhnya telah memeluk Islam. Mereka membangun sebuah masjid dari kayu sebagai tempat untuk shalat. Mereka belum bisa membaca Al-Qur’an. Suatu ketika, Ibnu Fadlan didatangi seorang lelaki bernama Thalut menyatakan diri untuk masuk Islam.
Setelah bersyahadat, Ibnu Fadlan mengganti nama Thalut menjadi Abdullah. Tapi Thalut ingin agar namanya diganti menjadi Muhammad. Ibnu Fadlan menyetujuinya. Ia juga mengislamkan istri, ibu, dan anak-anak Thalut. Semua anak laki-lakinya mengubah nama menjadi Muhammad. Setelah itu Ibnu Fadlan mengajarkan kepada mereka surat Al-Fatihah dan Al-Ikhlas. Kata Ibnu Fadlan, “Rasa bahagianya mengetahui dua surat Al-Qur’an ini lebih besar dibandingkan rasa bahagianya jika dia menjadi raja Saqalibah.”
Referensi: Rihlah Ibnu Fadlan
- Dalam Mu’jam al-Buldan dijelaskan, Wisu adalah sebuah negara di samping Bulgaria yang berjarak tiga bulan perjalanan. Menurut Fraehn, seorang orientalis, Wisu adalah Rusia putih atau Bielo Russe, sebuah wilayah yang sekarang berada di dekat Moskow.
Penulis: Mahardy Purnama, penulis dan pemerhati sejarah Islam
Bagian Ke-1 https://wahdah.or.id/kisah-kisah-menakjubkan-dari-ekspedisi-ibnu-fadlan-ke-eropa-abad-10-bagian-1/