Cuplikan naskah peserta lomba menulis Wahdah Islamiyah 2016
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al-Hujuraat:6).
Kisah ini bermula ketika aku mulai mendaftarkan diri pada sebuah perguruan tinggi ternama di Sulawesi Tenggara, tepatnya adalah Universitas Halu Oleo pada tahun 2008. Pada awalnya aku sempat dihinggapi kebingungan terhadap kampus yang aku tuju, hal ini dikarenakan banyaknya informasi negative yang menggambarkan tentang kondisi dan suasana kampus tersebut. Diantara informasi yang paling menakutkan bahwasanya di kampus tersebut sering terjadi kekacauan bahkan peperangan antar suku. Informasi ini semakin tertanam dalam pikiranku sehingga mendorong aku untuk mempersiapkan diri sebelum memasuki era perkuliahan. Ada beberapa hal yang aku persipkan untuk menghadapi momen “kekacauan atau peperangan” di kampus tersebut diantaranya belajar silat dan ilmu kebal. Namun, ada yang aneh dalam diriku ketika menjalani proses belajar silat dan ilmu kebal tersebut. Semakin lama aku belajar, maka semakin memudar rasa ingin kuliah, justru perasaan yang mendominasi pikiran dan batinku adalah ingin menjadi raja preman di kampus. Perasaan ini semakin membara seiring dengan bergulirnya waktu, sehingga aku memutuskan untuk menjadi raja preman saat berada di tempat perkuliahan.
Setelah selesai pengumuman kelulusan SMA pada bulan Juni 2008, dimana aku sebagai salah satu dari sekian banyak siswa yang dinyatakan lulus, maka sepekan kemudian aku mulai berangkat bersama dengan para alumni (teman-teman) se-SMAku menuju Kota Kendari untuk mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Universitas Halu Oleo. Dalam perjalanan yang mengasyikan tersebut, tak lupa salah seorang guruku yang inspirator, namanya adalah Ust. Hadiman mengiringi dan menemani perjalanan kami. Ketika tiba di Kota Kendari, Ust. Hadiman mengajak aku untuk bermalam bahkan tinggal di salah satu pondokan yang letaknya tepat di depan gerbang kampus Universitas Halu Oleo. Pondok tersebut adalah “Pondok Al-Fityah” milik DPD Wahdah Islamiyah Kendari yang sangat unik dengan kesederhanaan tampilanya, namun di dalamnya terdapat banyak pemuda yang sangat semangat dan antusias dalam mempelajari al-qur’an demi mencetak generasi pejuang umat.
Sejak hari pertama ketika aku tinggal di Pondok Al-Fityah, aku merasa heran dengan aktivitas teman-teman yang juga tinggal di pondok tersebut. Bagaimana tidak heran, setiap pagi, sore maupun malam, mereka senantiasa berupaya menyisihkan waktu untuk membaca al-qur’an, meskipun hanya 2 lembar sebelum melangkah pada aktivitas lainnya. Hal tersebut membuat aku penasaran dan bertanya-tanya “apakah mungkin ada mahasiswa yang membaca al-quran?” karena menurut informasi yang aku dapatkan, “dunia kampus adalah dunia kenakalan dan peperangan”.
Kejadian berikutnya yang tidak kalah pentingnya yaitu ketika aku menyaksikan orang-orang melaksanakan shalat Jum’at di Masjid Abu Bakar yang letaknya di samping Pondok Al-Fityah. Dalam pelaksanaan shalat Jum’at tersebut, aku sempat dibuat terkesima karena saking banyaknya jama’ah, masjid sampai tidak muat untuk menampung seluruh jama’ah sehingga sebagian dari mereka harus membentangkan karpet di depan teras WC demi melaksanakan shalat jum’at secara berjamaah. Pada awalnya aku tidak percaya bahwasanya ada orang yang shalat sebanyak itu, dimana kebanyakan mereka adalah mahasiswa, sehingga aku memutuskan untuk menyaksikan orang yang akan shalat pada jum’at berikutnya. Namun, ketika jum’at berikutnya yang aku tunggu tiba, aku semakin terperangah dengan keadaan jamaah sholat jum’at yang semakin membludak, bahkan sampai mereka harus sholat di samping masjid tanpa ada karpet yang digunakan sebagai pengalas.
Beberapa fenomena di atas semakin membuatku penasaran untuk mencari tahu tentang apa sebenarnya aktivitas mahasiswa. Apakah shalat, mengaji, berbuat baik, belajar, atau “berperang” (sebagaimana yang ada dalam pikiranku)!?. Dalam proses pertualangan “ingin mencari tahu”, aku berusaha untuk gabung dalam sebuah kelompok diskusi yang diistilahkan dengan “Tarbiyah”, dimana para anggotanya adalah kebanyakan teman-teman mahasiswa yang satu tempat tinggal denganku yaitu di Pondok Al-Fityah. Tanpa terduga dan terbayangkan sebelumnya, ternyata proses interaksi dalam tarbiyah yang diselenggarakan DPD Wahdah Islamiyah Kendari ini menjadi momen bersejarah yang mengubah hidupku, dimana didalamnya aku mendapatkan hidayah (kembali kepada Allah) yang aku jadikan sebagai modal selama menjalani perkuliahan di Universitas Halu Oleo. Cita-citaku yang semula adalah ingin menjadi raja preman di kampus Universitas Halu Oleo berubah secara drastis. Semakin sering aku mengikuti tarbiyah, maka keinginanku untuk mempelajari al-qur’an semakin meningkat, bahkan aku sampai lupa dengan tujuan utamaku masuk perkuliahan yaitu ingin jadi raja preman.
Pada periode awal mengikuti tarbiyah, aku merasa pertemuannya biasa-biasa saja, sangat tidak signifikan, tidak ada yang “luar biasa ataupun WOW” karena pertamuanya hanya dilakukan sekali dalam sepekan. Aku berpikir bahwasanya pertemuan ini tidak akan mungkin mampu mencetak generasi “pejuang” sebagaimana yang sering disampaikan oleh murobbi-ku yaitu Ust. Zahir. Namun, pelan tapi pasti, setelah mengikuti tarbiyah secara intens, perubahan ke arah yang positif mulai nampak pada diriku setahap demi setahap. Bahkan dengan adanya tarbiyah tersebut menuntut aku untuk berbuat yang terbaik, bukan hanya pada diri sendiri melainkan juga pada orang lain.
Melalui tarbiyah, aku belajar banyak hal, diantaranya adalah …
Tentang bagaimana mengesakan Allah Sang Khalik secara tepat …
Tentang bagaimana meneladani Rasulullah secara benar …
Tentang bagaimana menghargai diri sendiri dan menghormati orang lain…
Tentang bagaimana menghindari sikap mencela, baik pada orang lain maupun pada diri sendiri…
Tentang bagaimana mensyukuri apa yang dimiliki, tanpa merasa risau dengan sesuatu yang belum ada…
Tentang bagaimana indahnya berbagi dengan siapapun, entah pada mereka yang menyayangi maupun yang membenci …
Tentang bagaimana memberikan yang terbaik kepada mereka yang membutuhkan, baik dalam keadaan lapang maupun sempit …
Dan tentang bagaimana mengucapkan syukur kepada Allah atas hidayah yang diberikan-NYA…
Nuansa tarbiyah telah mengajarkan aku arti kehidupan yang hakiki yaitu berbuat demi kebahagiaan yang bersifat holistic, berbuat demi menjaga kehormatan diri, orang lain, dan agama (khususnya agama Islam).
Sebagai kesimpulan dari kisah ini, aku sangat mengharapkan kepada mereka yang bergabung dalam kelompok tarbiyah, manfaatkanlah kesempatanmu dengan sebaik-baiknya. Perhatikanlah waktu tarbiyah secara cermat sebagaimana engkau memperhatikan harta yang kau miliki. Karena, boleh jadi, suatu saat engkau akan menyesalinya ketika momen tarbiyah tersebut lenyap dari tanganmu. Yakinilah dan syukurilah bahwasanya tarbiyah itu adalah jalan hidupmu yang terbaik. Jangan sampai engkau kehilangan segalanya, sebelum mampu menyukurinya. Dan buktikan kepada dunia bahwasanya melalui tarbiyah, engkau akan berbuat yang terbaik demi menggapai kejayaan umat Islam yang sesungguhnya.