Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan dambaan pada umumnya manusia. Sehingga wajar, bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya itu, banyak calon pemimpin dari golongan elit politik atau pun selainnya yang tidak segan-segan menguras harta benda yang mereka miliki.
Sungguh benar sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu ,
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR. Al-Bukhârî).
Hal ini lebih diperjelas oleh riwayat dari Al Bazzâr dan Ath-Thabrânî dengan sanad yang shahih dari ‘Auf bin Mâlik Radhiyallahu ‘Anhu dengan lafazh, “Awalnya adalah cercaan, selanjutnya adalah penyesalan dan siksaan pada hari kiamat, kecuali bagi yang berbuat adil.” (Lihat : Fathul Bârî, 13/134).
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, “Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin ketinggian di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83).
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr dalam tafsirnya mengatakan, “Allah mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka.” (Tafsîr Ibnu Katsîr, 3/412).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Seseorang yang meminta jabatan sering bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintahnya dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat. Oleh karena itu seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyâdhus Shâlihîn, 2/469).
Tercelanya Meminta Jabatan
Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu ‘Anhu :
“Wahai, Abdurrahmân bin Samurah! Janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” (HR. Bukhârî dan Muslim).
Masih berkaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abû Dzâr Al Ghifârî Radhiyallahu ‘Anhu , ia berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut beliau menepuk pundakku seraya bersabda,
“Wahai Abû Dzâr, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Wahai, Abû Dzâr! Aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim.” (HR. Muslim).
Dari Abû Mûsâ Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Aku masuk menemui Nabi shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersamaku dua orang dari kaumku. Maka salah seorang dari kedua orang tersebut berkata, “Jadikanlah kami pemimpin wahai Rasulullah!” Seorang yang lain pun berkata demikian. Maka Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya kami tidak menjadikan pemimpin dalam urusan ini orang yang memintanya. Tidak pula bagi orang yang berambisi terhadapnya.” (HR. Bukhârî).
Sifat Seorang Pemimpin
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Makna ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Abû Dzâr adalah beliau melarang Abû Dzâr menjadi seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan yang didengar/ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa baginya kehormatan di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikit pun. Akan tetapi bila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah, tidak melampaui batasan-batasannya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki.” (Syarh Riyâdhush Shâlihîn, 2/472)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menyatakan kepada Abû Dzâr bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah amanah. Karena memang kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah, hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah dengan dalil, “ Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashash: 26(.
Penguasa Mesir berkata kepada Yusuf Alaihissalam, “Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” (QS. Yusuf: 54).
Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat Jibril dengan menyatakan, “Sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang memiliki ‘Arsy, yang ditaati di kalangan malaikat lagi dipercaya.” (QS. At-Takwir: 19-21).
Beliau—rahimahullâh—berkata, “Amanah itu kembalinya kepada rasa takut pada Allah, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah tetapkan terhadap setiap orang yang memutuskan hukuman atas manusia. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka janganlah kalian takut kepada manusia, tapi takutlah kepada-Ku. Dan jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Mâidah: 44) (As-Siyâsah Asy-Syar’iyyah, hal. 12-13).
Al-Imam Al-Qurthubi menyebutkan beberapa sifat dari seorang pemimpin ketika menafsirkan ayat 124 dari surah Al Baqarah, beliau berkata, “Sekelompok ulama mengambil dalil dengan ayat ini untuk menyatakan seorang imam (pemimpin) itu harus dari kalangan orang yang adil, memiliki kebaikan dan keutamaan juga dengan kekuatan yang dimilikinya untuk menunaikan tugas kepemimpinan tersebut.” (Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, 2/74).
Ulama Salaf dan Kezuhudan Mereka terhadap Kepemimpinan
Dari Sufyan diriwayatkan bahwa ia berkata, “Al Ahnaf berkata, “Umar bin Khattâb pernah mengatakan kepada kami, “Pelajarilah ilmu agama sebelum kalian memegang kekuasaan.”
Sufyan berkomentar, “Karena kalau seseorang telah mempelajari ilmu agama (Islam), ia tak akan berhasrat lagi mengejar kekuasaan.” (Shifatush Shafwah, II/236).
Dari Yusuf bin Asbath, diriwayatkan bahwa ia berkata, “Aku pernah mendengar Sufyan berkata, “Aku tidak pernah melihat kezuhudan yang lebih sulit daripada kezuhudan terhadap kekuasaan. Kita bisa dapati orang yang zuhud dalam hal makanan, minuman, harta, dan pakaian, namun bila disaingi dalam hal kekuasaan, ia akan mempertahankannya dan berani bermusuhan (dengan siapa saja) demi membelanya.” (Siyar A’lâmin Nubalâ’, VII/262).
Untuk Para Pemimpin dan Calon Pemimpin
Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena hal tersebut akan menimbulkan kerusakan dan kehancuran.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda,
” Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya, “Wahai, Rasulullah! Apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?” Beliau menjawab, “Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat”.” (HR. Al-Bukhârî).
Ketika Kekuasaan Jadi Ambisi
(Al Fikrah No.04 Tahun VIII/19 Shafar 1428 H)