Ketika Keikhlasan Mesti Diuji

Perih, ketika sepupu sendiri yang sangat beliau cintai, tak menjawab salam beliau radhiyallahu ‘anhu. Dengan nada protes, beliau kemudian bertanya, “Wahai Abu Qatadah, saya bertanya padamu dengan nama Allah, bukankah engkau tahu kalau saya masih tetap mencintai Allah dan Rasulullah?” Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu hanya terdiam.

Setelah pertanyaan itu beliau ulangi untuk ketiga kalinya, Abu Qatadah pun kemudian menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu.” Jawaban Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu ini, tak mampu lagi membendung bening air mata beliau yang melinang. Sedih, karena yang memperlakukan beliau, sepupu sendiri yang sangat beliau cintai. Tanpa salam lagi, beliau kemudian keluar dari rumah Abu Qatadah.

Tak lama, datang surat raja Ghassan yang intinya berisi agar beliau meninggalkan saja sahabat-sahabat yang telah “mengecewakan” beliau di Madinah, dan bergabung dengan raja Ghassan. Tapi dengan tegar beliau berkata, “ini juga ujian.” Beliau kemudian membakar surat itu.

Sepenggal kisah kehidupan Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu di atas, setidaknya menyisakan satu pelajaran berharga; mempertahankan keikhlasan.

Kita bersyukur bahwa kita lahir dari sepasang anak manusia yang muslim, jelas. Bahkan kesyukuran itu sampai pada tingkat yang hanya mampu termaknakan dengan menyungkur sujud kepada Allah Rabbul ‘Izzah, ketika keislaman kita tidak “sekedar” Islam, bahkan menjadi seorang muslim yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang hamba. Menjadi muslim yang dengan ikhlas, siap menjalankan apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. As-sam’u wa ath-tha’ah.
Tapi satu ha­l yang perlu dicatat dan dijadikan renungan, bahwa keikhlasan dalam menjalankan din ini, suatu ketika akan ditempa dengan berbagai cerita kehidupan. Keikhlasan itu akan diuji, akankah ia tegar dalam ujian ataukah berakhir dengan cerita yang menyedihkan?
Kekecewaan, adalah satu contoh kecil yang mesti dihadapi oleh keikhlasan. Karena ia tantangan sekaligus ujian. Yang tersisa, betulkah kita telah siap menghadapinya?

Saudaraku… Renungkanlah!
Adakah nikmat Allah yang lebih besar, lebih agung, melebihi nikmat keimanan, yang Allah hanya memberi kesempatan kepada hamba-Nya yang terpilih? Nikmat yang sungguh para sahabat Rasulullah lebih rela menahan berbagai siksaan kafir Quraisy, agar nikmat itu tak lepas dari dekapan. Nikmat yang demi Allah, Khubaib bin ‘Adiy radhiyallahu ‘anhu lebih suka berjumpa dengan kematian daripada nikmat itu hilang dari hati beliau. Nikmat yang Ka’ab bin Malik  radhiyallahu ‘anhu lebih memilih dikucilkan saudara sendiri, yang penting jangan sampai nikmat itu tercerabut dari dada beliau. Itulah nikmat yang terlalu tinggi untuk dihargai dengan dunia; nikmat keimanan.
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian istiqamah dalam pengakuan, maka tidak ada ketakutan dan kesedihan bagi mereka. Mereka ahli surga yang kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan” (QS Al-Ahqaaf : 12-13).

Memilih Futur Ketika Dikecewakan?
Sebelumnya, sedikit telah disinggung bagaimana kekecewaan menjadi sebuah ujian keikhlasan. Sekedar mengingatkan, saat ini, bukan sekali dua kali kita mendengar saudara seiman lebih memilih kembali menjadi muslim yang awam, daripada melanjutkan perjalanan bersama di atas jalan dakwah ini. Dan sebagian (entah kecil atau besar) sikap “mengundurkan diri” itu lahir karena merasa dikecewakan.

Tapi beberapa hal yang mengganjal di hati saya, yang karenanya tulisan ini lahir. Dan semoga mereka yang memilih futur bisa memberikan jawaban yang melegakan.

Pertama, kenapa ketika diri kita “dikecewakan” oleh saudara seiman, yang kita jauhi justru Allah ar-Rahman ar-Rahim? Bukankah yang “mengecewakan” kita hanyalah mereka yang kita anggap teman sejalan? Kalau memang sakit karena dikecewakan, bukankah cukup dengan menjauh dari mereka yang selama ini kita anggap lebih bernilai dari saudara kandung sendiri, tanpa perlu menjauh dari Allah? Terlalu dini, kalau kepada Allah pun kita menjauh.
Karena…siapa di antara kita yang tak butuh dengan Allah? Siapa di antara kita yang tak mau mendapatkan naungan Allah, disaat tak ada lagi naungan kecuali naungan-Nya. Yang diantara yang mendapatkannya adalah rajulun dzakarallaaha khaliyan fa faadhat ‘ainaahu, seorang yang mengingat Allah dalam kesendirian, lalu menitiklah air matanya.

Kedua,
bahwa hidup bersama saudara, itu artinya kita hidup bersama dengan orang yang memiliki ragam karakter kepribadian. Mungkin saudara yang satu senang dengan senyuman kita, tapi saudara yang lain justru tidak suka. Itulah hidup. Dan kita tidak bisa menjadikan semua manusia suka dengan kita. Bukankah manusia yang terbaik yang pernah dilahirkan ke muka bumi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga manusia yang dibenci oleh sebagian manusia yang lain? Sederhananya, ada yang senang dengan kita, jelas ada pula yang kurang senang, atau bahkan tidak senang.

Ketiga,
saudara kita adalah manusia biasa yang kesalahan jelas tak bisa lepas dari diri mereka. Bukan manusia namanya kalau tak pernah melakukan kesalahan. Andaikata hal ini betul-betul direnungkan, maka sebenarnya mudah untuk menghilangkan perasaan kecewa yang bersarang dalam dada, akibat sikap yang ditampakkan saudara kita. Cukuplah bagi kita untuk selalu mengingat, ah…mereka manusia biasa.

Keempat, kalau tak bisa memahami saudara yang telah mengecewakan kita, bukankah kita masih punya Allah, yang setiap saat mendengar rintihan hamba yang mengaduh kepada-Nya. Maka “curhat”-lah kepada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat keadaan hamba-Nya. Semoga dengan sikap semacam itu, tidak ada lagi alasan untuk bersedih hanya karena dikecewakan.

Kelima, ini yang perlu diwaspadai. Jangan sampai sikap memilih untuk berpisah dari saudara (bahasa kasarnya; futur) dengan alasan “telah dikecewakan”, ditunggangi oleh iblis dan tentaranya yang memang tidak senang melihat kita dekat dengan saudara seiman. Tabiat mereka la’natullaahi ‘alaihim yang demikian girangnya melihat kita menjauh dari saudara seiman, adalah umpan yang kita buat sendiri agar mereka bebas menggoda kita. Maka waspadalah! Karena ujian keimanan begitu terasa guncangannya di saat diri dalam kesendirian.

Keenam,  sebagaimana yang dikatakan sebelumnya, kekecewaan juga merupakan ujian keimanan. Allah ingin menguji, adakah kita termasuk hamba yang berjiwa tegar dengan ujian semacam ini, ataukah ternyata jiwa kita masih labil? Allah ingin menampakkannya di hadapan hamba-Nya yang lain, sehingga jelas, benarkah keimanan yang terakui lewat lafadz lidah, aku telah beriman?

Terakhir, agar selalu diingat, bidadari tak pernah jemu menanti kedatangan hamba yang telah lama dirindu. Bidadari; bening tubuhnya, indah bola matanya, menyejukkan dalam pandangan, dan…dan…maaf, saya tak seperti Syaikhul Islam Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu ta’aala yang mampu bercerita panjang tentang bidadari.

Saudaraku…tak ada yang kami rindukan saat ini kecuali kenangan akan kisah indah kita dahulu terulang kembali. Saat-saat ketika masih bersama dalam naungan cinta dan kasih-Nya …(MDK al Firdaus)

Artikulli paraprakTauhid Itu Indah
Artikulli tjetërLangkah Menguatkan Iman (Bag.2)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini