Kekuatan Kaum Muslimin
(Al Balagh Ed.58/Th.2/12 Sya’ban 1427)

Sesungguhnya kekuatan kaum muslimin akan berbanding lurus dengan kekuatan iman mereka. Untuk mensukseskan tujuan perjuangan, perlu mempersatukan barisan kaum muslimin dalam satu jama’ah yang solid.
Perintah Allah untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam dan larangan-Nya untuk berpecah belah, menunjukkan bahwa hal itu mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan kekuatan kaum Muslimin. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, (QS Ali Imran : 103 )

Menumbuhkan kesadaran kaum muslimin terhadap pentingnya persatuan adalah sesuatu yang sudah sangat mendesak untuk segera dilaksanakan. Fakta perpecahan yang melanda sebagian besar kaum Muslimin dewasa ini, jika tidak mendapat perhatian yang serius akan menjadi bom waktu yang suatu saat akan meledak dan memporak-porandakan barisan kaum Muslimin. Konsekuensi logisnya akan melemahkan perjuangan ummat Islam. Elemen penting persatuan ummat yang perlu dipahami adalah kesadaran yang tinggi tentang hakekat persaudaraan dalam Islam.

Ukhuwah (persaudaraan ) dalam Islam dibangun di atas landasan iman, bukan berdasarkan pertalian darah, suku, hubungan kekerabatan, apalagi nasionalisme kebangsaan yang semu. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-Hujarat : 10 )
Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, “ ukhuwah (persaudaraan) Islamiyah dibangun di atas landasan persamaan agama bukan nasab ( hubungan darah)”, karena itu dapat dikatakan bahwa persaudaraan berdasarkan agama lebih kokoh dan tsabit (tetap) dibanding persaudaraan yang dibangun di atas landasan nasab atau hubungan darah, karena sesungguhnya persaudaraan karena nasab akan terputus dengan sendirinya karena perbedaan agama, sementara persaudaraan karena agama tidak terputus dengan terputusnya nasab. Sementara itu Rasulullah T bersabda, artinya: ”Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara, muslim itu saudara bagi muslim yang lain. ( H.R. Bukhari-Muslim )
Jelaslah sekarang bahwa setiap muslim pada asalnya adalah saudara bagi muslim yang lain. Oleh karena itu hak-hak ukhuwah diantara mereka harus dijaga dengan baik agar tidak menimbulkan kesalah fahaman yang dapat menumbuhkan benih-benih perpecahan yang sekaligus melemahkan barisan perjuangan kaum muslimin.

Adapun maratibul ukhuwah (tingkatan- ukhuwah) dalam Islam ada tiga, yaitu :
Pertama: Selamat dan terjaganya kaum Muslimin dari gangguan tangan dan lisan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Artinya : Muslim itu adalah siapa saja yang saudaranya Muslim selamat dari gangguan  lidah dan tangannya. ( H.R. Ahmad.)
Setiap muslim harus mampu menjaga tangan dan lidahnya agar jangan sampai menyakiti saudaranya seiman. Menyakiti sesama Muslim dengan tangan berimplikasi pula menyakiti fisik mereka dengan jalan apapun. Oleh sebab itu mengganggu kaum Muslimin dengan tangan mewakili seluruh bentuk gangguan secara jasmani. Sedangkan menyakiti muslim dengan lidah adalah menyakiti perasaan mereka, karena menyakiti kaum muslimin dengan lidah mewakili seluruh bentuk gangguan ruhani.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Artinya : “Janganlah kalian saling hasad, saling menipu, saling benci, saling memboikot, dan jangan pula sebahagian kalian menjual di atas jualan saudaranya yang lain, dan jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara, Muslim itu saudara bagi muslim yang lain : Dia tidak mendzaliminya, tidak membiarkannya dalam kesulitan, tidak meremehkannya. Takwa itu di sini – sambil menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali – cukuplah bagi seseorang dianggap berbuat jahat jika dia meremehkan saudaranya Muslim, setiap Muslim terhadap Muslim yang lain haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya. ( H.R. Muslim ).

Kedua : Mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Artinya : “Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga dia mencintai sesuatu bagi saudaranya sebagaimana mencintai sesuatu bagi dirinya sendiri” ( H.R. Bukhari-Muslim )
Seorang muslim tidak akan sempurna keimanannya hingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri. Seorang muslim yang mencintai saudaranya akan memperlakukan saudaranya seperti dia memperlakukan dirinya sendiri. Dia suka jika saudaranya turut merasakan kesenangan yang dia rasakan dan tidak suka jika saudaranya tertimpa suatu musibah, yang mana jika musibah tersebut menimpa dirinya dia pun tidak menyukainya. Dia berusaha menasehati saudaranya, jika melihatnya dalam keadaan yang membutuhkan nasehat, sebagaimana dia berusaha meminta nasehat saudaranya jika dia membutuhkan nasehat. Namun satu hal yang harus digaris bawahi bahwa yang menjadi tolak ukur dari perasaan cinta dan benci adalah semata-mata karena Allah subhaanahu wa ta’ala.
Sesungguhnya martabat Iman yang paling kokoh adalah cinta dan benci karena Allah subhaanahu wa ta’ala. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu :” Barang siapa yang cinta dan benci karena Allah subhaanahu wa ta’ala, menolong dan memerangi karena Allah subhaanahu wa ta’ala, maka sungguh dia telah berhak mendapat derajat wali Allah Subhaanahu wa ta’ala, dan seorang hamba tidak akan mendapatkan manisnya Iman, walaupun banyak ibadah Shalat dan Puasanya, hingga dia melakukan hal tersebut”. (H.R. At-Thabrani).

Ketiga : Mengutamakan saudara seiman di atas kepentingan pribadi.
Allah  subhaanahu wa ta’ala berfirman, Arinya :”Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah  orang-orang  yang beruntung”.(Qs. Al-Hasyr :9)
Ayat di atas mengisahkan apa yang pernah terjadi antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Keberhasilan Islam dalam menebarkan wangi aroma syariat Allah SWT sampai ke seantero bumi sangat ditentukan oleh kesadaran yang tinggi terhadap hakikat persaudaraan atau ukhuwah diantara mereka. Di  masa-masa awal pertumbuhannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berhasil menanamkan pada diri para sahabat d sikap itsar ( mengutamakan kepentingan saudara seiman di atas kepentingan diri sendiri ) secara merata. Hal inilah yang kelak menjelma menjadi sebuah kekuatan raksasa lalu memporak-porandakan benteng pertahanan kaum kuffar dan musuh-musuh Allah  yang lain.

Artikulli paraprakWahdah Adakan Baksos
Artikulli tjetërSyarah Hadits Ke-11 Arbain

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini