Kasus pelanggaran Syari’at Islam di Aceh Menurun Drastis 

Jumlah pelanggaran syari’at Islam di Nangoe Aceh Darussalam (NAD) kini cukup mengalami penurunan cukup drastis

Kabar dari Serambi Mekah ini disampaikan oleh, Kepala Kantor Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (HW) Kota Lhokseumawe, Ridwan Jalil. Menurut Ridwan,  jumlah kasus pelanggaran Syari’at Islam turun drastis, dibanding tahun pertama dibelakukan Syari’at Islam di Aceh.”Di tahun 2002 jumlah pelanggaran Syari’at Islam cukup banyak, mencapai ratusan kasus. Bahkan waktu itu, para pelanggar tidak segan-segan melakukan perbuatan tak senonoh di depan umum, contoh di tempat rekreasi. Namun pada 2004 hingga 2008, jumlahnya perlahan-lahan dapat ditekan, dan di tahun 2009 berhasil kita tekan hingga 90 persen,” jelas Ridwan.

Untuk tahun 2009, jumlah kasus yang diterima masing-masing qanun no. 11 tahun 2002, bidang Ibadah, Aqidah, dan Syi’ar Islam 49 kasus. Pelanggaran qanun no. 12 tahun 2003 tentang Khamar dan sejenisnya 5 kasus. Selanjutnya pelanggaran kasus qanun no. 13 tahun 2003 bidang meisir 16 kasus, dan terakhir pelanggaran qanun no. 14 tahun 2003 tentang khalwat 63 kasus.

“Ke semua kasus yang masuk Satpol PP dan WH dominan diselesaikan dengan cara pembinaan, dan rata-rata cara penyelesaian kasus seperti ini sangat efektif dibanding cara penegakan hukum (cambuk). Karena saat dibina, semua keluarga yang bersangkutan kita panggil. Dalam proses pembinaan, di situ berlaku hukum adat. Bagi mereka yang tidak mematuhi maka akan dikucilkan dalam lingkungan masyarakat. Salah satu desa yang berhasil menerapkan cara ini yaitu Desa Pusong Baru. Di sana sekarang jarang terjadi permainan judi,” sebut Ridwan.

Ridwan mengatakan, untuk menerapkan Syari’at Islam kaffah di Bumi Aceh sementara masih sulit dicapai, karena sebagian masih menolak hukum tersebut. Dan rata-rata para tokoh desa seperti geusyik, kepala lorong dan lainnya, dengan tegas meminta WH membatalkan penegakan hukum Islam terhadap warganya yang melanggar. Mereka minta diselesaikan dengan cara pembinaan.

“Ini kerap terjadi di Lhokseumawe,” katanya.

Begitu pun, khusus untuk kasus Ibadah, Aqidah dan Syi’ar Islam, WH mampu menekan hingga 90 persen. Dan sekarang di Lhokseumawe sudah jarang kaum perempuan tidak memakai jilbab. Mereka khawatir terjaring razia Satpol PP dan WH di jalanan.

Belum maksimalnya penerapan Syari’at Islam di Aceh, karena sampai hari ini belum ada qanun yang jelas tentang boleh melakukan penjemputan bagi para pelanggar untuk dieksekusi cambuk. Sehingga selama ini kerap terjadi, para terhukum gagal dieksekusi karena tidak berhadir di panggung pencambukan.

“Kita tidak boleh menjemput terhukum ke rumahnya atau kemana saja, karena tidak diatur dalam qanun. Untuk itu, pihak berwenang harus memikirkan persoalan itu dengan tegaknya Syari’at Islam di bumi Aceh,” tambah Ridwan.

Berhasilnya petugas WH menurunkan jumlah kasus pelanggaran Syari’at Islam di Kota Lhokseuamwe tidak luput dari bantuan media, baik cetak mapun elektronik. Sehingga penerapan hukum Islam dapat diketahui masyarakat di seluruh pelosok kota Petro Dolar bahkan untuk wilayah Provinsi Aceh. “Tanpa media kita kesulitan melakukan sosialisasi penerapan Syari’at Islam di Aceh, khususnya Lhokseumawe,” demikian Kepala Kantor Satpol PP-WH Lhokseumawe. [was/www.hidayatullah.com]

 

Artikulli paraprakPenelitian: Berbuat Baik Memperpanjang Umur
Artikulli tjetërAbubakar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini