Jika seorang muslim wafat dan meninggalkan utang puasa wajib (yaitu puasa ramadhan, kaffaarah, qadha, atau puasa nadzar) yang belum ia tunaikan, maka para ulama berbeda pendapat, apakah puasa tersebut harus dilunasi / diqadha oleh keluarga yang ditinggalkan ataukah tidak ? ;
Pendapat pertama ;
Tidak perlu dilunasi atau diganti / diqadha. Ini pendapat Madzhab Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri, Imam Malik dan salah satu madzhab Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Jadid (pendapat barunya ketika di Mesir). Mereka berdalil dengan ayat ;
وأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (النجم : 39)
Artinya ; “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya”. (QS An-Najm ; 39)
Mereka juga berdalil dengan ucapan Ibnu Abbas (HR AlBaihaqi dalam AlKubra ; 4/257) dan juga Ibnu Umar radhiyallahu’anhum (HR Malik dalam Al Muwaththa’ ; 1/200) ;
لا يصل أحد عن أحد ولا يصم أحد عن أحد
Artinya ; “Tidak boleh seseorang shalat untuk (mengqadha shalatnya) orang lain, dan tidak boleh puasa untuk (mengqadha puasanya) orang lain”.
Pendapat kedua ;
Kalau puasanya tersebut adalah puasa yang ia wajibkan untuk dirinya sendiri seperti puasa nadzar atau puasa kaffaarah (denda) ; maka keluarganya harus menggantikannya untuknya. Namun jika puasanya hanyalah puasa yang diwajibkan syariat secara langsung seperti puasa ramadhan, maka tidak perlu diganti atau diqadha. Pendapat ini adalah Madzhab Imam Ahmad, Ishaq bin Rahuwiyah, dan selain mereka serta dipilih oleh Ibnul-Qayyim rahimahumullah.
Mereka berdalil dengan hadis Aisyah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum. Hadis Aisyah tersebut adalah ;
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من مات وعليه صيام , صام عنه وليه
Artinya ; Bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda ; “Barangsiapa yang wafat sedangkan ia meninggalkan utang puasa wajib, maka walinyalah yang mengqadha puasanya”. (HR Bukhari ; 1952 dan Muslim ; 1147).
Sedangkan hadis Ibnu Abbas adalah ;
(( جَاءَتِ امْرَأَةٌ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ , إنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ . أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟
فَقَالَ : أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ , أَكَانَ ذَلِكَ يُؤَدِّي عَنْهَا ؟
فَقَالَتْ : نَعَمْ .
قَالَ : فَصُومِي عَنْ أُمِّكِ )) .
Artinya ; Seorang wanita mendatangi nabi shallallahu’alaihi wasallam dan berkata ; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah wafat, sedangkan ia masih memiliki utang puasa nadzar, maka apakah saya harus mengqadhanya ?
Beliau bersabda ; “Bagaimana menurutmu, seandainya ibumu memiliki utang (berupa harta) lalu kamu melunasinya ,maka apakah hal ini dapat melunasi utangnya ?”
Ia menjawab ; “Ya”.
Maka beliau bersabda ; “Berpuasalah untuk ibumu”. (HR Bukhari 1953 dan Muslim ; 1148)
Dalam lafadz lain yaitu riwayat Ibnu Khuzaimah (2055) dan Ibnu Majah (1758) :
جاءت امرأة إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقالت : إن أختي ماتت و عليها صيام شهرين متتابعين .
قال : أرأيت إن كان على أختك دين أكنت قضيته ؟
قالت : نعم
قال : فحق الله أحق .
Artinya : Seorang wanita mendatangi Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan berkata ; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saudariku telah wafat, sedangkan ia masih memiliki utang puasa dua bulan berturut-turut,(maka apakah saya harus mengqadhanya) ?
Beliau bersabda ; “Bagaimana menurutmu, seandainya saudarimu memiliki utang (berupa harta) ,apakah kamu harus melunasinya ?
Ia menjawab ; “Ya”.
Maka beliau bersabda ; “Kewajiban Allah lebih berhak (untuk dilunasi/diqadha).”
(Maksud“puasa dua bulan berturut-turut” dalam hadis ini adalah puasa kaffarat karena hanya puasa kaffarat saja yang bisa dilakukan dua bulan berturut-turut).
Secara zahir, hadis Aisyah diatas menunjukkan keharusan mengganti/ mengqadha puasa wajib yang ditinggalkan sang mayit secara umum –baik puasa nadzar atau puasa wajib lainnya- karena redaksinya umum pada semua jenis puasa wajib , sedangkan hadis Ibnu Abbas –dengan kedua riwayatnya- menunjukkan keharusan mengganti puasa nadzar dan kaffarah saja tanpa puasa wajib lainnya sebagaimana lafadz “nadzar” dan “dua bulan berturut-turut” alias puasa kaffarat . Hal ini sangat jelas dalam redaksi kedua hadis tersebut.
Namun para ulama yang berpendapat dengan pendapat kedua ini menyatakan bahwa Hadis Aisyah yang redaksinya umum ini terikat (muqayyad) atau dikhususkan oleh hadis Ibnu Abbas yang redaksinya khusus pada puasa nadzar dan kaffaarah. Kesimpulannya, maksud puasa wajib dalam hadis Aisyah dan Ibnu abbas diatas adalah puasa nadzar dan kaffaarah yang disebutkan dalam kedua hadis Ibnu Abbas.
Pendapat ketiga ;
Seorang mayit yang meninggalkan utang puasa wajib, baik puasa nadzar atau puasa yang diwajibkan syariat secara langsung maka harus ditunaikan / diqadha oleh keluarga atau sahabat-sahabat yang ditinggalkan. Pendapat ini adalah madzhab Ahli Hadis, Madzhab Asy-Syafi’i dalam Al-Qadim (pendapat lamanya ketika di Iraq), Sekelompok ahli hadis dari madzhab Syafi’iyah, dan dipilih oleh Ibnu Hazm, dan Ibnu Taimiyah rahimahumullah. Mereka juga berdalil dengan hadis Aisyah dan hadis Ibnu Abbas diatas , namun sisi pendalilannya adalah bahwa dua hadis diatas adalah dua dalil yang masing-masing menunjukkan makna berbeda dan peristiwa berbeda.
Hadis Ibnu Abbas yang membatasi qadha pada puasa nadzar atau kaffaarah sama sekali tidak bisa mengkhususkan keumuman hadis Aisyah yang mencakup semua jenis puasa wajib karena hadis Aisyah merupakan penegasan akan sebuah kaidah umum, sedangkan hadis Ibnu Abbas adalah sebagai jawaban khusus atas orang yang menanyakan perkara khusus yang terjadi pada dirinya (yaitu menggantikan puasa nadzar dan kaffaarah), sehingga jawaban Rasulullah-pun sebatas apa yang ia tanyakan.
Pendapat ini dikuatkan juga oleh salah satu riwayat atau lafadz hadis Ibnu Abbas yang mana penyebutan puasa wajib didalamnya dengan lafadz umum tanpa ada pengkhususan jenis puasa wajib tertentu, yaitu hadis ;
(( جَاءَ رَجُلٌ إلَى النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ , إنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ . أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا ؟
فَقَالَ : لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا ؟
قَالَ : نَعَمْ .
قَالَ : فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى )) .
Artinya ; Seseorang mendatangi Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan berkata ; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah wafat, sedangkan ia meninggalkan utang puasa satu bulan, maka apakah saya harus mengqadhanya/melunasinya untuknya ? Beliau menjawab : “Seandainya ibumu memiliki tanggungan utang (berupa harta) ,maka apakah kamu akan melunasinya untuknya ?”
Ia menjawab : “ya”.
Maka Rasulullahpun bersabda : “(Jika demikian), maka utang terhadap Allah lebih berhak untuk dilunasi”. (HR Bukhari 1953 dan Muslim ; 1148)
Pendapat ketiga inilah yang lebih benar –menurut hemat penulis-. Namun para ulama yang memegang pendapat ketiga ini berbeda pendapat ;
Apakah hukum keharusan menggantikan / meng-qadha puasa mayit ini sunat atau wajib ?
Madzhab Dzhohiriyah menilai ; wajibnya menggantikan puasanya, ini berdasarkan konteks hadis-hadis diatas yang secara zahir mewajibkannya.
Adapun Jumhur atau kebanyakan para ulama, mereka menyatakan bahwa hukumnya hanyalah sunat, karena kewajiban ibadah yang ditinggalkan sang mayit sama sekali tidak wajib ditanggung oleh orang yang masih hidup –sebagaimana orang yang hidup tidak wajib menanggung utang sang mayit- ,dan juga bahwasanya hadis diatas yang seakan menunjukkan wajibnya mengganti puasa sang mayit tergeser hukumnya menjadi sunat oleh ayat ;
وأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (النجم : 39)
Artinya ; “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya”. (QS An-Najm ; 39)
Permasalahan lain ; Apakah yang menggantikan puasa ini khusus bagi wali atau keluarga sang mayit –sebagaimana dalam redaksi hadis diatas- atau umum bagi siapa saja ?
Jawabannya ; yang benar adalah umum bagi siapa saja, baik wali, keluarga, sahabat-sahabatnya atau orang lain karena lafadz “wali” yang bermakna ahli waris atau keluarga dalam hadis diatas hanyalah perkara awlawiyyah atau yang lebih utama untuk melakukan qadha puasanya. Sebab itu, diharapkan bagi setiap muslim yang memiliki sahabat yang telah wafat namun ia tahu bahwa tidak sempat melunasi utang –baik utang puasa atau uang- maka hendaknya berusaha semaksimal mungkin untuk melunasinya untuknya karena menunaikan utang kewajiban-kewajiban sang mayit yang belum ia laksanakan sewaktu hidup adalah perkara yang sangat agung dan mulia, karena merupakan perwujudan ukhuwwah/ persaudaraan seiman, dan sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya .
Catatan Penting ;
1. Maksud dari puasa yang ditinggalkan sang mayit adalah utang puasa yang ketika hidupnya ia tidak sempat menggantinya, misalnya ia meninggal pada hari ke 20 dari bulan ramadhan dan dari 20 hari puasa tersebut ia memiliki utang 3 hari puasa, maka yang harus diganti oleh wali atau sahabatnya adalah utang puasa 3 hari tersebut, bukan 10 hari yang tersisa dari ramadhan karena 10 hari ini bukan lagi merupakan kewajiban atas dirinya.
2. Jika seorang mayit memiliki utang puasa wajib -baik qadha puasa ramadhan atau nadzar- 30 hari ,maka boleh bagi teman-temannya atau keluarganya yang berjumlah 30 orang untuk berpuasa pada hari yang sama demi menggantikan utang puasa sang mayit, dan puasa 30 orang ini telah menggantikan 30 hari dari utang puasanya. Kebolehan hal ini telah difatwakan oleh Al Hasan Al Bashri dan para imam besar –sebagaimana yang disebutkan Imam Bukhari dalam Shahihnya (sebelum hadis no. 1952)-.
Adapun kalau puasa kaffaarah 2 bulan berturut-turut maka tidak bisa digantikan dengan puasa 30 atau 60 orang secara serentak –sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Hazm dan sekelompok ulama- karena puasa kaffaarah disyaratkan harus berturut-turut pelaksanaannya. Namun mereka harus bersepakat dan membagi waktu masing-masing agar bisa melunasi puasa kaffaarah ini secara berturut-turut.
3. Syarat sang mayit yang dilunasi utang puasanya ini adalah ketika masih hidup ia benar-benar berniat atau ingin melunasi utang puasanya tersebut –walaupun ia mungkin menunda-nunda- karena ia tidak sengaja untuk meninggalkan utang kewajibannya ini, adapun orang yang diketahui tidak mau atau enggan melunasinya sewaktu hidupnya ,maka ia tidak perlu dilunaskan untuknya, karena ia sengaja meremehkan utang kewajiban yang menjadi tanggungannya.
4. Masalah puasa ini tidak bisa diqiyaskan atau disamakan dengan masalah shalat karena puasa merupakan ibadah yang tidak memiliki sebab (ghairu mu’allalah) yang mana jenis ibadah ini tidak bisa diqiyaskan dengan jenis ibadah lainnya, sebab itu Ahli Fiqh menyatakan ; “Tidak sah melakukan qiyas dalam permasalahan ibadah”.
Adapun ibadah yang mu’allalah / memiliki sebab tertentu ,maka boleh diqiyaskan dengan ibadah lainnya.
Sebab itu, kalau ada seorang muslim wafat dan belum sempat menunaikan shalat tertentu maka tidak boleh digantikan shalatnya karena hal ini memerlukan dalil tersendiri, adapun mengqiyaskan atau menyamakannya dengan qadha puasa diatas, maka ini tidak boleh sebagaimana telah dijelaskan alasannya. Wallaahu a’lam.
Oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc, MA