Allah SWT mewajibkan puasa Ramadhan atas kaum muslimin, wajib dilaksanakan bagi yang tidak ada udzur dan menggantinya (qadha) bagi yang ada udzur, bagi yang bisa qadha/ganti maka di hari-hari yang lain (selain bulan Ramadhan). Dan ada golongan ke tiga yang tidak bisa melakukan puasa dan tidak mampu qadha/ganti puasanya, yaitu karena tua renta dan sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhan/kebaikannya, maka golongan ini telah Allah ringankan baginya, maka wajib atasnya untuk mengganti puasanya dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang digantikannya, dengan 1/2 (setengah) sha’ dari makanan pokok.
Allah SWT berfirman:
“لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا”
“Dan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya”,
dan Allah SWT berfirman:
“وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ”
“Dan wajib atas yang kesulitan (berpuasa Ramadhan) untuk menggantinya dengan denda (berupa) memberi makan orang miskin”.
Berkata Ibnu ‘Abbas RA (radhiyallahu ‘anhuma): “Dia karena renta yang tidak akan sanggup puasa” (HR. Bukhari).
Dan bagi yang sakit dan tidak dapat diharapkan kesembuhannya dari sakitnya itu, maka dihukumi seperti orang yang tua renta tadi, maka dia memberikan setiap hari ganti puasanya dengan memberi makan seorang miskin. Dan bagi yang berbuka (membatalkan puasanya) karena udzur yang bisa diharapkan hilang udzurnya, seperti: musafir, sakit biasa/umum yang bisa sembuh, wanita hamil dan wanita menyusui -jika dia takut akan keselamatan dirinya atau keselamatan bayi di kandungannya-, wanita haid, dan wanita nifas; maka kesemuanya wajib qadha/ganti puasanya, dengan cara berpuasa di hari-hari yang lain (di luar bulan Ramadhan) untuk setiap hari yang dia tidak puasa (atau berbuka), berkata Allah SWT
“وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ”
“Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka (menggantinya) di hari-hari yang lain (selain bulan Ramadhan)”.
Dan bagi yang sakit yang dengan puasa ini membahayakan dirinya maka dia batalkan puasanya (atau tidak berpuasa), dan juga bagi musafir yang boleh memendekkan salatnya (qashar, dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat), sesuai dengan firman Allah SWT atas hak mereka:
“فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ”,
yang berarti: berbukalah dan gantilah hari-hari lain (yang dia berbuka itu, berfifman Allah SWT:
“يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر”
“Allah menginginkan kemudahan untuk kalian dan tidak menginginkan kesulitan atas kalian”,
dan Nabi SAW tidaklah memilih satu dari dua urusan, kecuali memilih yang paling mudah darikeduanya, dan dalam Dua Kitab Shahih [Shahih Bukhari dan Shahih Muslim]:
“ليس من البر الصيام في السفر”
“Bukanlah merupakan kebaikan untuk berpuasa dalam keadaan safar/bepergian”.
Dan berpuasanya orang yang musafir atau sakit yang (tetap puasa dan) kepayahan atas puasanya, maka puasanya sah dengan makruh (tidak disukai). Sementara yang haid dan nifas, maka haram untuk berpuasa dalam kondisinya itu, dan tidak sah .
Dan wanita menyusui dan hamil, wajib atasnya qadha/ganti hari-hari yang mereka tidak puasa itu di hari lain, dan wajib qadha/ganti bagi yang khawatir akan keselamatan anaknya, juga memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya itu.
Berkata Al-‘Allaamah Ibnul Qayyim (semoga Allah merahmatinya) rahimahullah: “Ibnu ‘Abbas dan selainnya dari para sahabat berfatwa bahwa jika kondisi hamil dan menyusui dan takut atas keselamatan anaknya, maka hendaklah dia berbuka dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan, sebagai ganti puasanya”, dan tetap wajib qadha/ganti puasanya itu.
Dan wajib berbuka/batal bagi yang berpuasa bagi yang membutuhkannya, untuk membebaskan diri dari kecelakaan, seperti tenggelam dan sebagainya.
Berkata Ibnu al-Qayyim: “Dan sebab-sebab berbuka (di waktu puasa) ada 4 hal: musafir, menyusui, haid, ketakutan/kekhawatiran dari kecelakaan. Siapa yang merasa takut dengan berpuasa, seperti: menyusui dan hamil, dan serupa itu untuk masalah tenggelam”.
Wajib atas setiap muslim untuk menetapkan niat sebelum puasa sejak malamnya, seperti puasa Ramadhan, puasa kaffarah, puasa nadzar, dengan meyakinkan dirinya apa yang mau mereka lakukan untuk , sesuai dengan sabda Rasul SAW:
“إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى”
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu sesuai dengan niatnya, dan bagi setiap manusia adalah apa yang diniatkannya”.
Dan dari ‘Aisyah yang disampaikan secara marfu’ [sanadnya sampai ke Rasulullah SAW]:
“من لم يبيت الصيام قبل طلوع الفجر , فلا صيام له”
“Siapa yang tidak bangun malam untuk puasa sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya”.
Maka wajib berniat untuk puasa yang wajib pada malam harinya, siapa yang berniat ketika siang harinya (kecuali untuk puasa yang sunnah), maka puasa wajib jika berniat di siang hari tidak dihitung, karena seluruh siangnya itu wajib puasa, dan niat tidak bisa mundur ke masa lalu.
Sementara puasa nafilah/sunnah, maka boleh berniatnya dari siang hari, sesuai dengan hadis dari ‘Aisyah RA:
“دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم ذات يوم , فقال : هل عندكم من شيء , فقلنا : لا , قال : فإني إذا صائم”
Suatu hari datang Nabi SAW kepadaku, dan berkata: “Apakah kalian ada sesuatu (yang bisa dimakan)?”, kami menjawab: Tidak, berkata Rasulullah SAW: “Maka saya puasa”. (HR. Jama’ah kecuali Bukhari).
Maka di hadis ini Rasulullah SAW sebelumnya belum puasa, karena meminta makanan, dari di sini dalil akan bolehnya mengakhirkan niat puasa jika puasa sunnah.
Maka syarat sahnya puasa nafilah/sunnah dengan niat di siang hari, adalah dengan tidak terdapat pembatal-pembatal puasa sebelum niat tersebut, seperti: makan, minum, dan sejenisnya. Jika sudah melakukan (hal-hal pembatal puasa ini), maka puasa nafilahnya itu tidak sah, dan para ulama tidak ada perbedaan pendapat soal ini.
** Selesai, atas kebaikan dan rahmat Allah SWT **
Penerjemah: Yumarsono Muhyi, ST, MM
Sumber: Al-Mulakkhash Al-Fiqhy (Shaleh ibn Fauzan Al-Fauzan)