Kaidah Qur-aniyyah : Manusia Adalah Saksi Atas Dirinya Walaupun Suka Berdalih1

{بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ (14) وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ (15) } [القيامة: 14 – 15]

“Bahkan Manusia Menjadi Saksi Atas Dirinya Sendiri. Dan Meskipun Ia Mengemukakan Alasan-alasannya”

(Al-Qiyaamah : 14-15)

Kaidah ini berkaitan erat dengan kepribadian seorang hamba, ia merupakan sebuah cara untuk mengobati dan menghilangkan penyakit hati ,juga suatu tangga untuk mencapai penyucian diri (tazkiyatunnafs).

Makna Kaidah :

Bahwasanya walaupun seorang insan terus berusaha tidak mau mengakui kesalahan dan dosanya agar aibnya tidak tersebar, atau terus memberikan banyak alasan atas kesalahan-kesalahannya, tetap dirinyalah yang mengetahui hakikat ucapan dan perbuatannya tersebut ,apakah memang ia benar atau salah.

Contoh Penerapan Kaidah Ini :

Diantara contoh praktek dan penerapan kaidah ini adalah :

1.Penerapannya pada cara pandang seseorang terhadap dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah.

Kadang sebagian orang mendapati dalil jelas akan keharaman atau kewajiban tertentu yang disepakati oleh semua ulama ,namun hatinya terasa berat dan sulit menerimanya –karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya- sehingga iapun mencoba mencari alasan untuk bisa menolak dalil tersebut.

Ini sama sekali tidaklah bermanfaat bagi dirinya, sebab dirinya sendiri tahu akan kesalahan tersebut, padahal sikap seorang mukmin yang hakiki adalah sebagaimana firman Allah :

{فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا} [النساء: 65]

“Maka demi tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An-Nisa ; 65)

2. Penerapannya terhadap sikap kepribadian seseorang.

Sebagian orang memiliki kegemaran suka mencari-cari dan menguntit aib dan kesalahan orang lain, dan lalai dari merenungi dosa dan kesalahannya sendiri. Qatadah rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini : “Bahkan Manusia Menjadi Saksi Atas Dirinya Sendiri” ; Demi Allah, jika engkau mau (menyadari), engkau melihatnya (manusia) bisa melihat aib-aib dan dosa orang lain, dan lalai dari mengetahui dosa-dosanya sendiri2“.

Sikap buruk ini merupakan tanda suatu kehinaan atas orang tersebut, Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Telah sampai padaku bahwa AbdulMalik bin Marwan berkata kepada Hajjaj bin Yusuf : Tidak seorangpun kecuali ia tahu akan aib-aibnya, maka celalah dirimu dengan aib-aib tersebut dan sama sekali jangan menyembunyikannya”3.

Sebagian salaf juga berkata : “Kejujuran yang paling bermanfaat adalah mengakui adanya aib dan dosamu terhadap Allah ta’ala”.4

Diantara penerapan kaidah ini : engkau mungkin mendapati seseorang membantah dirinya sendiri atas dosa dan kesalahan yang diperbuatnya, padahal hati kecilnya mengakui bahwa ia salah dan berdosa. Dalam ayat ini : “Bahkan Manusia Menjadi Saksi Atas Dirinya Sendiri. Dan Meskipun Ia Mengemukakan Alasan-alasannya” Ibnu Taimiyah berkomentar : “Sungguh ia (manusia) mencari-cari alasan untuk dirinya dengan beberapa alasan dan mendebat (mengelak dari kesalahan) karenanya, sedangkan dirinya sendiri tahu bahwa ia memang salah”.5

Anjuran Yang Tersirat Dari Kaidah Ini ;

Hendaknya seseorang selalu mengoreksi dan mengintropeksi aib-aibnya sendiri, dan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menghilangkan dan merubahnya. Sebab ini merupakan salah satu jihad jiwa (jihaadunnafs) yang terpuji, sebaliknya ia tidak boleh terus menerus menutup mata dari aib dan dosa tersebut dengan dalih telah tumbuh atau terbiasa dengannya. Camkanlah ucapan Ibnu Hazm rahimahullah yang mengisahkan kehidupannya : “Dulu saya memiliki aib-aib, lalu saya terus menerus melakukan latihan (merubahnya), dan menelaah ucapan para Nabi shalawatullah wasalaamuhu ‘alaihim, juga ucapan orang-orang bijak dari kalangan pendahulu dan belakangan dalam perkara akhlak dan adab-adab diri, sayapun sangat lelah dalam proses menghilangkannya, sehingga Allah menolongku untuk merubah kebanyakan aib tersebut dengan taufiq dan nikmatNya. Dan kesempurnaan sikap adil. Latihan diri, dan perubahan krisis hakikat (aib-aib) adalah dengan mengakuinya (terlebih dahulu), agar suatu hari seseorang bisa mengambil pelajaran dan ibrah darinya –in sya Allah-“6.

Diantara Pelajaran Dari Kaidah Ini ; selama seorang insan merasa yakin, bahwa ia lebih tahu dengan kelebihan dan kekurangan dirinya, maka ia wajib menyadari bahwa kadang suatu saat ia dipuji dan disanjung, sebaliknya kadang ia juga dicela dan dihina. Jika ia dipuji, maka hendaknya jangan terlena dengan pujian yang tidak ada pada dirinya, atau jika ia dicela maka hendaknya jangan menjadikannya sebagai suatu musibah, namun dijadikan sebagai titik perbaikan dirinya jika celaan tersebut memang ada pada dirinya.

Faedah terbesar dari adanya kesaksian terhadap diri sendiri adalah ; jika seseorang diberikan taufiq untuk mengakui keberadaan aib dan dosa dalam dirinya, sebab hal ini adalah sikap para Nabi dan orang-orang shalih, sebaliknya sikap tidak mengakui dosa dan kesalahan merupakan sifatnya orang-orang munafiq. Renungkanlah doa kedua nenek moyang kita, Adam dan Hawa ketika mereka telah melakukan pelanggaran ;

{قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ} [الأعراف: 23]

“Keduanya berkata : Wahai Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri . Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi” (Al-A’raf : 23).

Juga renungkanlah kisah orang-orang munafiq yang berdosa dizaman nabi yang kemudian bertaubat :

{وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} [التوبة: 102]

“Dan (ada pula) orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencmpur adukkan pekerjaan yang baik dan pekerjaan lain yang buruk, mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (At Taubah : 102).

Dengan ayat ini, diketahui bahwasanya orang yang tidak mau mengakui dosanya maka termasuk golongan kaum munafiq.7

Saya memohon kepada Allah agar selalu memperlihatkan kita aib-aib kita, dan melindungi kita dari dampak keburukannya.


1 .Diringkas dan diterjemahkan dari Kitab Al-Qawa’id Al-Quraniyyah : Syaikh Umar Al-Muqbil hafidzhahullah.

2 .Tafsir Ath Thabari : 24/63

3 .Al Hilyah : 9/146

4 .Al Hilyah : 9/282

5 .Majmu’ Al Fatawa : 14/445

6 .Rasaail Ibnu Hazm 1/354

7 .lihat : Ash-Shorim Al-Maslul : 1/362

Artikulli paraprak10 Kewajiban Seorang Muslimah
Artikulli tjetërPembekalan Dai Pesantren Haji 1435 Hijriyah di Madinah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini