Kalau Anda jalan-jalan ke Roma atau Paris kemudian melihat perempuan Eropa mengenakan jilbab atau kerudung, besar kemungkinan perempuan yang Anda lihat itu adalah seorang Muslimah. Sulit dibayangkan jika perempuan Eropa itu adalah perempuan Kristen yang berpikir jilbab merupakan pakaian yang lagi tren sehingga ia tergila-gila untuk mengenakannya. Sulit membayangkannya di zaman ini.
Namun, di masa lalu itu terjadi. Masa ketika Islam memimpin peradaban dunia. Perempuan-perempuan Kristen Eropa mengenakan jilbab layaknya perempuan Muslimah karena menganggap pakaian Muslimah lebih baik, lebih tren, lebih fashionable, ketimbang pakaiannya asli daerah mereka. Ibnu Jubair, seorang penjelajah asal Valencia-Andalusia, pernah mengunjungi Sisilia pada 1184. Sisilia adalah pulau terbesar di Laut Mediteran, masuk dalam wilayah Italia saat ini. Di Palermo, ibu kota Sisilia, Ibnu Jubair mencatat dalam Rihlah-nya bahwa ia menyaksikan beberapa perempuan Kristen mengenakan jilbab layaknya para Muslimah.
Pemerintahan Islam Dinasti Aghlabiyah pernah berkuasa di Sisilia hampir seratus tahun. Selama itu, tidak sedikit umat Kristiani mengikuti gaya hidup dan cara berpakaian orang-orang Islam, tanpa mereka masuk Islam. Ketika Ibnu Jubair singgah di Sisilia, negeri tersebut telah dikuasai oleh bangsa Normandia dari Eropa Utara.
Raja-raja Norman meski beragama Kristen, sangat mengagumi orang-orang Arab-Muslim dan budayanya. Hal itu bisa dilihat dari cara raja berpakaian: mengenakan sorban, jubah dengan motif Islami, dan menghiasi ruang istana dengan kaligrafi ala kufiy. Raja Roger II biasa mengundang dan mempekerjakan ilmuwan Muslim seperti Al-Idrisi, sarjana Muslim terkemuka di masa itu.
Putra Roger II, Raja William, bahkan pandai menulis dan berbahasa Arab. Raja berikutnya, Frederick II memberi perhatian khusus kepada penerjemahan karya-karya ilmuwan Muslim hingga mendirikan Universitas Napoli yang menjadi jembatan ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Eropa. Raja-raja Kristen Norman inilah yang disebut sebagai sultan-sultan yang dibaptis.
Tetangga jauh Sisilia, yakni Andalusia, budaya dan peradaban Arab-Islam jauh lebih dulu masuk ke dalam sendi kehidupan penduduk asli Andalusia. Penduduk Kristen Andalusia lebih khusus di ibu kota pemerintahan: Kordova, lebih pandai berbahasa Arab ketimbang bahasa ibu mereka. Mereka bangga berbahasa Arab dan merasa ketinggalan zaman jika berbicara dengan bahasa asli Andalusia. Perempuan-perempuan Kristen Andalusia juga banyak mengenakan hijab seperti Muslimah. Para lelakinya ikut berkhitan, mengenakan jubah dan sorban khas Arab. Fenomena ini menimbulkan keresahan di kalangan sebagian pemuka agama Kristen sehingga muncullah para martir di Kordova (lihat tulisan saya: https://wahdah.or.id/fenomena-martir-cordova-di-andalusia/).
Keresahan yang dirasakan sebagian umat Kristen Andalusia dan -mungkin- warga Sisilia terhadap saudara-saudara Kristen mereka rasanya wajar. Khawatir jika saudara-saudara mereka akan melupakan budaya asli bahkan meninggalkan agama mereka beralih menjadi penganut agama Muhammad.
Yang sulit dipahami adalah jika hari ini sebagian umat Islam merasa khawatir kepada saudaranya yang mengenakan pakaian keislaman: hijab, cadar, atau jubah. Sementara di lain sisi, mereka terkesan tidak peduli kepada Muslimah dengan pakaian ketat menampakkan aurat yang berasal dari Barat. Juga acuh ketika melihat Muslim mengenakan pakaian dan aksesoris perempuan karena mengikuti budaya para Idol dari Korea Selatan. Padahal jelas mengenakan pakaian seperti itu bisa mendatangkan penyakit dan sangat tidak elok dipandang mata.
Jika melapisi tubuh dengan balutan jilbab atau cadar mampu melindungi kulit perempuan dari penyakit akibat sinar ultraviolet serta menjaga diri dari pandangan buruk lelaki, meski itu -misalnya- hanya budaya Arab, apa salahnya jika itu baik ketimbang mengikuti budaya lain yang jelas-jelas merusak? Pengguna jilbab dan cadar dikecam dengan alasan tidak sesuai dengan budaya Indonesia, sementara pakaian terbuka ala miss universe dipuji dan dipaksakan agar cocok dengan budaya kita.
Oleh: Mahardy Purnama