“Ketoehanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja.”
Begitu dulu bunyi sila pertama dasar negara kita, Pancasila, ketika pertama kali dirumuskan pada Piagam Djakarta 22 Juni 1945. Sebelum akhirnya dihilangkan sebab ada pihak yang tidak setuju “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dicantumkan dalam sila pertama. Di antara mereka yang paling keras agar dihapus tujuh kata tersebut adalah Drs. Mohammad Hatta, sang wakil presiden.
Saat itu, sehari setelah teks proklamasi dibacakan Presiden Soekarno, 18 Agustus 1945 bertepatan dengan 10 Ramadhan 1364, diadakan pertemuan awal untuk merumuskan dasar ideologi bangsa dan negara, Pancasila, serta konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pertemuan super penting tersebut ada 5 perwakilan yang ditunjuk menurut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tiga wakil dari Pulau Jawa dan Dua dari Sumatera. Mereka adalah: Abdul Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Mohammad Hatta, dan Teuku Muhammad Hasan.
Perlu diketahui bahwa Wahid Hasyim adalah tokoh Nahdhatul Ulama (NU), sedangkan Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo merupakan wakil dari Muhammadiyah. Tiga orang inilah yang menolak perubahan sila pertama Pancasila yang telah ditetapkan sebelumnya pada Piagam Djakarta 22 Juni.
Meski akhirnya Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo memilih mengalah, tidak demikian dengan Ki Bagus Hadikusumo. Ki Bagus bersikeras agar tujuh kata tersebut dicantumkan dalam sila pertama Pancasila. Namun Ki Bagus bisa melunak setelah didekati oleh Kasman Singodimedjo yang sama-sama dari Persyarikatan Muhammadiyah. Pemimpin Pusat Persyarikatan Muhammadiyah dan juga Komandan Batalyon Tentara Pembela Tanah Air (PETA) Jakarta itu berbicara dengan Ki Bagus menggunakan bahasa Jawa halus yang begini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia:
“Kyai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara dan masih banyak yang harus ditetapkan siapa Presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?” (Suryanegara, 2016: 165)
Ki Bagus Hadikusumo kemudian setuju penghapusan tujuh kata dengan syarat “Ketuhanan” ditambah dengan “Yang Maha Esa.” Usul ini disetujui semua perwakilan. Dengan demikian jadilah “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama.
Sebenarnya, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus, mau mengalah sementara sebab Soekarno menjanjikannya bahwa akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 6 bulan kemudian yang akan membuat UUD yang baru dan permanen. Dalam sidang tersebut tujuh kata itu bisa didiskusikan atau dicantumkan kembali dalam sila pertama kita. Sayangnya, janji tersebut tidak ditepati hingga Ki Bagus meninggal dunia.
Pada 2 Desember 1957, dalam sidang Dewan Konstituante, Kasman Singodimedjo menagih janji Soekarno tersebut. Janji yang diucapkannya 12 tahun sebelumnya. Kasman berpidato di hadapan peserta sidang:
“…Saudara ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan ke dalam muqaddimah dan Undang-Undang Dasar 1945. Begitu ngotot Saudara Ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta tidak dapat mengatasinya sampai-sampai Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr. Teuku Mohammad Hassan sebagai putera Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna meneteramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam UUD, yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo menanti.
Saudara ketua, kini Juru Bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, karena telah berpulang ke Rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai wafatnya…” (Djaelani, 2016: 148)
Begitulah bagaimana hingga merdekapun para tokoh-tokoh Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara kita. Dan generasi kita belakangan sama sekali tidak mengenal bahkan nama-nama mereka. Pernahkah kita mendengar nama Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo dua mantan pemimpin pusat Muhammadiyah? Mereka adalah orang-orang yang memperjuangkan agar syariat Allah ditegakkan sebagai dasar negara di bumi pertiwi.
Oleh: Mahardy Purnama
Bacaan:
1.Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah II.
2.M Anwar Djaelani, 50 Pendakwah Pengubah Sejarah