“buah jatuh, tak jauh dari pohonnya” pepatah ini sangat masyhur ditelinga kita. Meskipun pepatah ini diperumpamakan seperti orangtua dan anak, namun tidak mengapa mungkin kita mengatakan bahwa murid itu takkan jauh pula karakternya dari sang guru. Keberhasilan sang murid sangat dipengaruhi oleh kesugguhan sang guru dalam mendidik, mengajar dan mengarahkan murid-muridnya.
Jika ada pertanyaan, “berapa guru anda dalam belajar?” Mungkin ada yang mejawab guru saya berjumlah sekian dan sekian. Namun tidak akan ada yang menjawab bahwa gurunya lebih dari seribuan.
Edisi kali ini kita akan menikmati sajian lanjutan terkait biografi Imam Al-Bukhari, karya-karya beliau, ibadah serta pujian para ulama terhadap penulis kitab tersahih kedua ini setelah al-qur’an.
A. Guru-guru Imam Al-Bukhārī
Dari panjangnya safar Imam Al-Bukhārī dalam menuntut ilmu, ia menjumpai guru-guru terbaik dari setiap negeri yang didatanginya. Guru-guru Imam Al-Bukhārī bukan saja baik kredibilitas dan dedikasinya, namun juga banyak jumlahnya. Al-Zahabī menukilkan perkataan Imam Al-Bukhārī ketika menjelaskan guru-gurunya:
كَتَبْتُ عَنْ أَلْفٍ وَ ثَمَانِيْنَ رَجُلاً، لَيْسَ فِيْهِمْ إِلاَّ صَاحِبُ حَدِيْثٍ، كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ الإِيْمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيْدُ وَيَنْقُصُ، وَالقُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ
Aku telah menuliskan ilmu dari 1.080 guru, sumuanya adalah pakar di bidang hadīṡ, mereka berpendapat bahwa perkara iman mencakup perkataan dan perbuatan, bisa bertambah bisa pula berkurang, dan bahwa al-Quran itu adalah kalām Allah.
Dari sekian banyak guru Imam Al-Bukhārī, Ibnu Hajar al-Asqalānī mengklasifikasi seluruh gurunya dalam 5 level, yaitu:
Pertama: guru-gurunya yang pernah belajar dari para tābiīn,
Kedua: guru-gurunya yang tidak meriwayatkan dari tsiqāt tābiīn,
Ketiga: guru-gurunya yang pernah belajar dari senior taba’u al-atbā’,
Keempat: guru-gurunya sekaligus teman-temannya yang selevel dengannya dalam menuntut ilmu,
Kelima: guru-gurunya yang merupakan murid-muridnya yang pernah ia mengambil hadis dari mereka.
Oleh karena itu, ada dua kata hikmah dari Imam Wakī’ dan Al-Bukārī:
عَن وَكِيعٍ قَالَ: لاَ يَكُوْنُ الرَّجُلُ عَالِمًا حَتَّى يُحَدِّثَ عَمَّنْ هُوَ فَوْقَهُ وَعَمَّنْ هُوَ مِثْلَهُ وَعَمَّنْ هُوَ دُوْنَهُ
وَعَن البُخَارِيّ أَنَّهُ قَالَ:لَا يَكُوْنُ الْمُحَدِّثُ كَامِلاً حَتَّى يَكْتُبَ عَمَّنْ هُوَ فَوْقَهُ وَعَمَّنْ هُوَ مِثْلَهُ وَعَمَّنْ هُوَ دُوْنَهُ
Imam Wakī’ berkata, “seseorang tidak akan mencapai puncak keilmuan, kecuali jika ia belajar dari orang yang di atas levelnya, orang yang selevel dengannya, bahkan orang yang di bawah levelnya.”
Imam Al-Bukhārī berkata, “seseorang tidak akan menjadi ahli hadis yang sempurna, kecuali jika ia belajar dari orang yang di atas levelnya, orang yang selevel dengannya, bahkan orang yang di bawah levelnya.”
Dalam tulisan singkat ini hanya akan disebutkan beberapa saja dari mereka, yaitu: Muhammad bin Abdillah al-anshārī, Makkī bin Ibrāhīm, Sulaimān bin Harb, Qutaibah bin Sa’īd, Ahmad bin Hambal (w. 241 H), Ishāq bi Ibrāhīm bin Rāhawaih (w. 248 H), Ali bin al-Madīnī (w. 234 H), dan masih banyak lainnya.
B. Karya-karya Imam Al-Bukhārī
Dari kesungguhan menuntut ilmu, banyaknya negeri ilmu yang dijelajahi, serta banyaknya guru yang dijumpai, Allah ﷻ mengaruniakan Imam Al-Bukhārī ilmu yang luas, pengetahun yang mendalam tentang ilmu agama, khususnya di konsentrasi hadīṡ.
Sudah menjadi tradisi di kalangan ulama terdahulu, bahwa ilmu yang mereka miliki merupakan amanah ilmiah dari Allah ﷻ yang harus dituangkan dalam sebuah karya ilmiah. Itulah yang dilakukan oleh Imam Al-Bukhārī terhadap ilmunya, sehingga lahir dari tangannya karya-karya ilmiah yang menjadi rujukan utama dari abad ke 3 hijriah hingga abad ini (abad ke 15 hijriah).
Di antara karya ilmiah Imam Al-Bukhārī adalah: Al-Jāmi’ al-shahīh al-Mukhtasar min umūr al-Rasūlillāh ﷺ wa sunanihi wa ayyāmihi (kitab ini dikenal dengan nama Shahīh al-Bukhārī), kitab ini masa penyelesaiannya adalah 16 tahun. Al-Tārīkh al-Kabīr, Al-dhu’afā’ al-shaghīr, Al-adab al-Mufrad, Al-qira’atu khalfa al-imām dan yang lainnya.
C. Ibadah dan Wara’ Imam Al-Bukhārī
Imam Al-Bukhārī merupakan seorang ulama rabbānī yang ilmu dan amalnya berjalan selaras, perbuatannya mencerminkan ketundukan yang sempurna kepada Allah ﷻ, memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi, ia peduli dengan orang disekitarnya dan suka membantu murit-muritnya.
Ketika karyanya al-tārīkh al-kabīr dikritisi sebagai kitab yang mengandung ghibah di dalamnya, ia menjawab:
إِنَّمَا رُوِّيْنَا ذَلِكَ رِوَايَةً لَمْ نَقُلْهُ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِنَا
أَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلاَ يُحَاسِبُنِي أَنِّي اِغْتَبْتُ أَحَدًا
Sesungguhnya kami menukil dalam kitab ini apa yang diriwayatkan dari ulama sebelum kami, kami tidak mengatakan satu kalimatpun berdasarkan hawa nafsu kami sendiri, aku berharap, Allah tidak akan menghisabku dengan kesalahan ghibah atas seorangpun.
Muhammad bin Abi Hātim al-warrāq berkata: Muhammad bin Ismā’īl selalu melakukan shalat malam 13 raka’at di penghujung malam, ia tidak mengganggu kami murid-muridnya.
Imam Al-Bukhārī berkata: tidaklah aku menulis satu hadis dalam kitab sahihku, kecuali aku mandi terlebih dahulu lalu aku mendirikan shalat 2 rakaat.
D. Apresiasi ulama terhadap Imam Al-Bukhārī
Muhammad bin Salām (salah satu guru Al-Bukhārī) berkata: setiap kali anak ini – maksudnya Al-Bukhārī- masuk dalam majlisku, aku selalu berhati-hati dalam menyampaikan pelajaran hadisku, aku khawatir jangan sampai salah, hingga selesai pelajaran dan anak ini pulang.
Muhammad bin Yusuf al-Farabrī berkisah, “ketika kami tengah berada di majlis Qutaibah bin Sa’īd l-Balkhī Abū Rajā’, ia ditanya, “apa hukum talak seorang yang dalam pengaruh khamar? Ia mengatakan, “tanyakanlah kepada orang ini – sambil menunjuk ke arah Al-Bukhārī- karena dalam dirinya telah terhimpun ilmu Ahmad bin Hambal, Ali bin al-Madīnī dan Ishaq bin Rahawaih.”
Imam Ahmad bin Hambal (guru Al-Bukhārī) berkata, “Khurasan tidak pernah melahirkan seorang ahli seperti Muhammad bin Isma’il.”
E. Wafatnya Imam Al-Bukhārī
Setelah menjalani tugas keilmuannya, mulai dari penjelajahannya dalam menuntut ilmu, lalu mengajarkan ilmunya, kemudian menuangkan ilmnya dalam karya ilmiah, Imam Al-Bukhārī kembli ke kampung halamannya, yaitu di Bukhārā.
Pada umurnya yang ke 62 tahun, Imam Al-Bukhārī mulai sakit karena umur yang sudah tua. Allah ﷻ menakdirkan Imam Al-Bukhārī menutup usia di malam sabtu, malam idul fitri 1 syawal di tahun 256 H. Di hari idul fitri kaum muslimin bersedih melepas kepergian Imam besar yang sangat dicintai.
Al-Zahabī meriwaytkan dari Abdul Wahid bin Adam al-Thawāwisī ia berkata: aku mimpi melihat Nabi ﷺ sedang berdiri bersama jamaah dari sahabatnya. Setelah aku memberi salam, aku bertanya: apa yang engkau tunggu di sini wahai Rasulullah? Ia menjawab: aku sedang menunggu Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī. Setelah beberapa hari, Imam Al-Bukhārī meninggal dunia, tepat di waktu yang sama ketika ku melihat Rasulullah ﷺ dalam mimpiku.
Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang tiada batas.
Oleh: Ust. Surahman Yatie, Lc
(Lulusan Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah, Dosen STIBA dan Anggota Dewan Syariah WI)