Jangan Sampai Tergadai

Date:

Memasuki pertengahan hingga akhir bulan Desember setiap tahunnya, kita akan merasakan atmosfir yang terbentuk di sekitar kita yang ditujukan untuk memperingati dan menyambut datangnya perayaan Natal. Di jalan-jalan dan pusat perbelanjaan, kita disuguhi dengan pernak-pernik perayaannya. Media, juga tidak lupa untuk mem-blow-up perayaan Natal ini. Inilah fakta dari sebuah bangsa yang mengatasnamakan dirinya sebagai bangsa dengan populasi muslim terbesar di dunia.

Natal, sebenarnya merupakan perayaan yang (seharusnya) dikhususkan hanya untuk kaum Nasrani saja. Itu yang kita pahami. Tetapi di Indonesia, ini berbeda. Natal kerap diopinikan oleh sebagian orang sebagai sebuah ritual bersama bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa melihat ia seorang yang beragama Nasrani atau bukan. Entah karena ketidaktahuan atau kesengajaan yang dilakukan dengan berbagai tujuan politis dan jabatan, sebagian pejabat dan orang-orang terkemuka di negeri ini menyeru untuk ikut meramaikannya. Tidak sampai di situ, umat muslim juga diseru untuk mengucapkan “Selamat Natal” dan bila perlu juga ikut memfasilitasinya. Ya, semua itu dibungkus dengan pujian bahwa umat muslim adalah umat yang toleransinya tinggi dan benar-benar berperan nyata dalam menjaga kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Jika umat muslim tidak melakukannya, maka tunggu saja, cap anti non-muslim dan intoleran akan dilekatkan dengan cepatnya.

Padahal, jika kita coba untuk lebih jeli dan memahaminya lebih dalam, mempromosikan perayaan ini dengan model sedemikian rupa dan memberlakukannya untuk dan agar diikuti oleh semua rakyat Indonesia baik ia beragama Nasrani atau bukan, justru pada hakikatnya adalah tindakan intoleran terhadap umat muslim. Ya, umat muslim-lah yang justru disikapi intoleran oleh penganut agama lainnya.

Mengapa demikian? Mari kita lihat. Jika kita merujuk kepada sunnah Nabawiyah, ucapan selamat, ikut merayakan dan mendukung hari raya Natal adalah terlarang dan bukan bagian dalam agama ini. Dalam sebuah haditsnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada sahabatnya, Abu Bakar radhiyallahu anhu pada hari raya Idul Fitri, “Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita (Idul Fithri).” (HR. Bukhari dan Muslim). Jika merujuk pada hadits ini, berarti setiap kaum di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, yaitu ketika hadits ini diucapkan, telah memiliki hari raya masing-masing, termasuk Ahlul Kitab (Nasrani dan Yahudi) di waktu itu. Jika hari raya mereka sudah ada saat itu, apakah ada dari sunnah, contoh atau riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para Khulafaur-Rasyidin, serta ijma’ para sahabat radhiallahu anhum di masa hidup mereka pernah mengucapkan “Selamat Natal”? Atau apakah mereka pernah (sekedar) mengucapkan, “Selamat Hari Raya Ahli Kitab”? Tentu, kita tidak akan menemukannya. Jadi, andaikan ada yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”, maka jelas hal tersebut adalah perbuatan baru dalam syariat; atau dapat dikatakan sebagai unsur luar agama yang hendak diislamisasikan. Ya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengajarkannya.

Anas bin Malik radhiyallahu anhu menceritakan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bermain-main di hari raya itu pada masa jahiliyyah. Melihat hal tersebut, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku datang kepada kalian sedangkan kalian memiliki dua hari raya yang kalian bermain di hari itu pada masa jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya Idul Adha dan idul Fitri” (Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’I, dan Al-Baghawi).

Dari dua riwayat hadits di atas, dapat kita pahami bahwa perayaan hari raya keagamaan sebuah agama merupakan bagian dari agama tersebut, tidak terkecuali Natal. Artinya, ketika Natal itu menjadi hari raya keagamaan bagi kaum Nasrani, maka seharusnya umat Islam tidak ikut di dalamnya, tidak ikut meramaikannya, apalagi memfasilitasinya. Hal ini karena setiap agama telah ada aturan dan koridornya, termasuk Islam sebagai agama yang jelas batas-batasnya. Jadi, sekali lagi, ketika umat Islam dipaksa, baik secara langsung atau tidak, untuk ikut serta dalam perayaan Natal atau hari-hari raya agama di luar Islam lainnya, maka ia adalah sebuah tindak intoleran yang jelas kepada Islam dan umatnya.

Apa yang telah difatwakan oleh MUI baru-baru ini terkait pelarangan atribut-atribut Natal bagi pekerja muslim adalah sebuah fatwa yang sangat tepat dan tegas. Menurut hemat kami, MUI telah menjalankan tugas utamanya dalam memelihara dan membina keyakinan dan praktik keagamaan umat Islam di Indonesia. Walillaahil-hamdu. Semoga Allah senantiasa menjaga para ulama kita. Amin.

Lagipula, sekedar ucapan selamat untuk hari raya ini, sebenarnya menyimpan masalah yang tidak sepele. Mari kita lihat kembali. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “selamat” berarti terhindar dari bencana; aman sentosa; sejahtera tidak kurang suatu apa; sehat; tidak mendapat gangguan, kerusakan; beruntung; tercapai maksudnya; tidak gagal dsb. Dengan makna dan definisi seperti itu, maka ucapan selamat berarti doa. Adapun kata “natal”, sebagaimana yang kita pahami, adalah istilah untuk sebuah istilah untuk kelahiran Yesus Kristus yang dalam pandangan dan pemahaman umat Nasrani saat ini ia adalah anak Tuhan sebagai bagian dalam konsep atau ajaran Trinitas.

Jika demikian pengertiannya, bagaimana bisa seorang muslim mendoakan keselamatan atas apa yang mereka pahami tersebut? Padahal dengan sangat jelas dan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan mereka sebagai orang kafir karena pemahaman tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan : “Bahwasanya Allah adalah salah seorang dari yang tiga (trinitas-pen)”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa” (QS. Al Maidah :73).

Bahkan, Ibnul-Qayyim rahimahullah pernah berkata, “Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.” (Lihat Ahkam Ahli Dzimmah, 1:441).

Mengapa beliau rahimahullah mengatakan bahwa ucapan ini lebih dibenci daripada ucapan selamat kepada maksiat lainnya? Bukan berarti bahwa maksiat-maksiat seperti khamr, zina, dan lainnya boleh dan tidak masalah, bukan, bukan begitu. Tetapi hal ini karena ucapan “Selamat Natal” adalah pengakuan selamat atas kesyirikan, sementara syirik adalah sebesar-besar dosa. Di atas dosa-dosa lainnya. Wallahul-Musta’an.

Apakah dengan tidak mengucapkan “Selamat Natal”, itu berarti kita telah menutup pintu-pintu perbuatan baik kepada mereka? Tidak, jelas tidak demikian. Kita tentu boleh berbuat sopan, santun dan ramah kepada mereka. Kita boleh bertetangga dan bergaul dengan mereka. Kita tentu boleh menghormati ibadah dan ritual mereka. Kita boleh berjual-beli (muamalah) dengan mereka. Kita tentu boleh saling bantu-membantu dan bekerjasama dalam menghadapi tantangan bersama, dan lain-lain. Semua ini boleh dilakukan dan kita tidak akan kehilangan kesempatan untuk melakukannya, meskipun ucapan “Selamat Natal” tidak diucapkan. Hal ini jelas adalah alasan logis bagi manusia berakal. Selama dalam perkara keduniaan dan muamalah, kita tentu bisa bergaul dan berbuat baik kepada mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari kampung halaman kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil” (QS. Al-Mumtahanah : 8).

Dengan tegas kita katakan, bukan berarti Islam tidak toleran terhadap agama yang lain. Bukan. Islam (hanyalah) melakukan sebuah tindakan penjagaan aqidah umatnya yang memang menjadi ruh dan pondasi dari agama itu sendiri. Islam tidak akan pernah memaksakan keyakinannya kepada pemeluk agama lain, bahkan sekedar mengganggunya. Karena sesungguhnya, tidak ada paksaan untuk masuk Islam dan meyakininya. Bahkan dalam sistem negara Islam yakni Khilafah Islamiyah yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh, mereka-mereka yang beragama selain Islam menerima perlakuan yang baik dan penghargaan yang luar biasa. Diperbolehkan bagi mereka melaksanakan keyakinan beragama mereka tanpa ada gangguan sedikitpun, tentunya dengan aturan dan batas-batasnya. Karena itu, Islam adalah agama yang toleran dan paling menghargai agama selain Islam, namun tentu menolak pemahaman Pluralisme dan Sinkretisme yang merupakan pemahaman sesat dan tak layak diterima.

Oleh karenanya, kita harus meneguhkan dan meyakini satu pendapat kuat di kalangan Salafus-Shalih termasuk empat Imam Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para Khulafaur-Rasyidin, dan ulama-ulama lainnya, tak satu pun dari mereka yang pernah mengucapkan “Selamat Natal” atau “Selamat Hari Raya Yahudi-Nashrani” atau semisalnya. Sehingga, jika saja Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya tidak pernah melakukan perbuatan itu, maka darimana sumber pensyariatan akan kebolehannya?

Jika sekedar ucapan “Selamat Natal” saja tidak dibolehkan, tentu saja ikut serta dalam perayaan atau segala sesuatu yang dapat mendukung dan menghidupkannya lebih dilarang. Alasan terpaksa karena pekerjaan atau takut dipecat menjadi alasan klasik yang kerap kali menjadi pembenaran dari sebagian kaum muslimin hingga ikut dalam perayaan hari Natal ini. Padahal, rezeki setiap manusia bahkan binatang dan tumbuhan, semuanya di tangan Allah subhanahu wa ta’ala. Apakah demi beberapa lembar uang kita rela menggadaikan aqidah kita yang teramat berharga? Apakah demi kedudukan yang sempit kita akan kehilangan kedudukan yang luas tak bertepi di surgaNya? Jangan, jangan sampai hal itu terjadi. Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan mempermudah jalan hambaNya yang berusaha sekuat tenaga untuk taat pada aturanNya, termasuk mempermudah rezekinya. Itu yang kita yakini. Wallahu a’lam.***(Naskah Buletin Al-Munir Edisi 253/23 Desember 2016)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Tutup Mukernas XVII Wahdah Islamiyah, Ustaz Zaitun Rasmin: Terima Kasih Bapak Prabowo Kami Doakan Bapak Sehat Selalu

MAKASSAR, wahdah.or.id - Mukernas ke-XVII Wahdah Islamiyah yang digelar...

Pendidikan Karakter Membangun Generasi Emas 2045: Komitmen Wahdah Islamiyah Mendukung Program Mendikdasmen RI

MAKASSAR, wahdah.or.id - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik...

Ketua Komisi 7 DPR-RI Ajak Wahdah Islamiyah Aktif di Politik untuk Kesejahteraan Umat

MAKASSAR, wahdah.or.id - Ketua Komisi & Dewan Perwakilan Rakyat...

Wahdah Islamiyah Perluas Jangkauan Dakwah di 253 Daerah Indonesia dan 5 Negara Di Dunia

MAKASSAR, wahdah.or.id - Wahdah Islamiyah, organisasi dakwah yang terus...